Ff. Jalan Muda FM : Confession

314 70 29
                                    

Menghabiskan sekitar 12 jam dalam hidupnya di toko adalah hal yang dulu tidak pernah Jani bayangkan akan dia alami. Siapa juga yang menyangka dirinya tiba-tiba disuruh mengelola bisnis ini? Keputusan Airin untuk melepaskan bisnis ini dan fokus mengurus keluarga benar-benar menjadi titik balik kehidupan Jani selama ini.

Kadang-kadang, Jani juga berkhayal sih kemungkinan-kemungkinan pekerjaan yang dia lakukan. Misalnya, mungkin gak sih dia jadi pekerja kantoran macam mbak-mbak SCBD? Mungkin lah ya, apa sih yang tidak mungkin di dunia ini?

"Ruko sebelah tuh sekarang kosong ya, Mbak?" tanya Rara entah untuk basa-basi atau memang bertanya.

Jani menangguk. "Iya, angkringan yang dulu nyewa disitu udah pulang kampung. Kemarin yang nyewa pamit waktu papasan di depan."

"Pantesan kok kemarin malem gak buka, eh tadi pagi aku udah liat banner 'DISEWAKAN' digantung tuh," ujar Rara. "Mbak Jani gak mau sewa tempatnya?"

Jani menaikkan alisnya mendengar pertanyaan Rara barusan. "Amortentia diluasin lagi maksud kamu?"

"Uhm, ya bukan sih, Mbak. Temen aku beberapa kali kesini, mereka tuh kayak menyayangkan gitu loh, Mbak, di sini gak sekalian buka cafe buat nongkrong. Di depan kan juga udah ada gazebo payung, nah katanya kalau ada makanan atau minuman dijual di sini, itu mereka juga mau nongkrong soalnya tempatnya enak," ujar Rara.

"Gitu ya?" tanya Jani jadi ikut kepikiran.

Rara mengangguk. "Iya, Mbak. Lumayan juga kan ada tambahan pemasukan selain dari florist."

Hal-hal seperti ini tuh harus Jani pikirkan dengan sangat matang. Sekarang dia harus punya otak bisnis, jadi gak bisa langsung menerima saran dengan mentah-mentah dan merealisasikannya begitu saja. Walau Jani akui ide dari teman-teman Rara bagus, tapi kan pasti akan ada keuntungan dan kerugiannya. Mau Jani lihat dulu, kalau memang lebih banyak keuntungannya mungkin bisa lah dia realisasikan.

"Excuse me..."

Jani dan Rara segera kembali ke peran masing-masing. Rara berjaga di mesin kasir, sementara Jani berdiri di belakang etalase. "Ya? May I help you?"

"Ah, saya mau buket premium, tapi request warna. Kira-kira boleh atau harus sesuai dengan yang ada di katalog?" tanya si pembeli laki-laki tersebut.

Jani tersenyum dan menggeleng. "Tidak harus sesuai katalog kok. Mau request warna apa?"

"Ungu? Bukan yang ungu gelap ya, tapi ungu pastel. Apa sih namanya?"

"Lilac?"

"Ya! Semacam itu."

"Mau pilih bunga sendiri atau dari kami?"

"Terserah mbaknya aja, saya gak pinter milih bunga."

Jani terkekeh. Dirinya lantas segera mengumpulkan beberapa bunga berwarna ungu, tentu saja dengan didampingi oleh si pembeli karena Jani gak mau pelanggannya tidak puas. Apapun yang dibeli dari tokonya, semua pembeli harus merasa puas ketika keluar dari toko.

"Masnya baru pertama kali kesini?" tanya Jani disela-sela kegiatannya merangkai buket.

Jani merangkainya di depan si pembeli langsung, jadi gak heran kalau sesekali Jani mengajak bicara pembelinya.

"Iya. Saya penasaran, soalnya temen saya ada yang kerja di sini."

"Loh iya? Siapa?" tanya Jani, bahkan sampai mendongakkan kepalanya untuk menatap sang lawan bicara.

"Han. Dia bilang dia kerja di florist paling bagus se-Indonesia, jadi kepo. Kebetulan memang saya baru balik ke Indonesia, makanya penasaran."

Jani mengangguk-angguk dengan mulut membulat. "Ohhhh, temennya Mas Han ya?"

Jalan Muda FM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang