U. Jatuh & Hati

457 108 54
                                    

Sekarang apa?

Sudah dua batang penuh nikotin Evan habiskan di malam yang tiba-tiba terasa panjang ini. Merokok bukan kewajiban sehari-harinya. Dua hal yang selalu menjadi alasan Evan merokok adalah teman-temannya (dalam hal ini adalah Radit dan Malik) dan ketika Evan merasa bosan (biasanya ketika menjadi sopir dadakan bagi maminya). Hanya dua hal itu, biasanya.

Namun sekarang, Evan punya tiga alasan. Satu alasan lainnya adalah Jani.

Jani tidak menyukai asap rokok, Evan jelas tau itu tanpa harus mencari tau. Tapi, kalau harus Evan akui, cewek itu kelihatan sangat menarik ketika menirukan gerak-geriknya dalam memegang batang rokok sampai menyelipkannya di bibir.

Evan kembali menghisap batang nikotinnya yang tinggal seujung kelingking, sembari memejamkan matanya. Angin sepoi-sepoi dan kilas balik di tangga darurat kembali terputar setiap kali Evan memenuhi paru-parunya dengan Marlboro terakhirnya. Iya, Evan berencana mengakhiri agendanya hari ini dan segera tidur, kalau bisa.

Sekarang apa?

Jani, secara fisik, menghindar darinya. Padahal, Evan tidak pernah keberatan. Maksudnya, Evan akan dengan senang hati membahas hal ini lebih lanjut jika memang Jani mau, atau tidak membahasnya sama sekali jika itu juga yang Jani inginkan. Tetapi, Jani tidak memberi kepastian. Cewek itu hanya terus menghindar, berlari, dan terus membuat jarak dengan Evan.

Dan hari ini tepat satu minggu. Satu minggu Evan dan Jani tidak saling berkabar. Satu minggu ketika Jani memilih pulang dari Solo lebih dahulu menggunakan kereta. Satu minggu.

"Mas, istighfar ya, Mas."

Evan menoleh, mendapati seorang satpam yang mendekat ke arahnya. Dirinya sedang ada di gedung kondominium papinya, sehingga bisa merokok dengan bebas begini. Itu juga Evan harus lari ke rooftop, karena papinya jelas akan meledek Evan jika mengetahui alasan Evan merokok adalah karena galau.

"Mas, kalau gak ada keperluan mending turun aja, Mas. Udah malem, takut kalo masnya kenapa-kenapa," kata satpam tadi.

Evan terkekeh. Tangannya menekan ujung bara rokoknya yang masih menyala ke tembok di depannya, kemudian melemparnya ke tempat sampah terdekat. "Terima kasih, Pak. Lagi muter ya, Pak?"

"Iya, Mas. Keliling dulu, sudah mau tengah malem soalnya."

Evan mengangguk-angguk. Maklum jika satpam di kondominium papinya tidak mengenal dia, karena Evan datang juga tidak rutin. Itu pun belum tentu setiap minggu Evan mampir. Kalau pun mampir, Evan hanya numpang tidur atau makan saja, tidak sempat bersosialisasi dengan para penghuni lainnya.

"Masnya unit mana?"

"Saya bukan penghuni sini, Pak. Saya anaknya Pak Nicolas Tanoe yangー"

"Ohhh, anaknya Pak Nicolas!" satpam tersebut menyahut sumringah.

Evan tersenyum. Dirinya lalu menyodorkan bungkus rokok miliknya. "Rokok, Pak?"

"Wah, gak ngerokok saya, Mas."

Evan mengangguk-angguk lagi.

"Kenapa gak di dalam unit saja, Mas? Penghuni sini aja jarang ke sini loh, Mas, ada yang bilang angker, ada yang bilang hawanya gak enak," jelas satpam tadi.

Evan menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Waduh, kalau itu gak tau, Pak. Saya cari angin aja, lagi sumpek pikirannya."

"Banyak pikiran ya, Mas?"

"Gak banyak sih, Pak, cuma satu aja. Tapi bikin pusing."

Satpam tadi malah kembali mendekat ke arah Evan yang berdiri di pinggir tembok pembatas setinggi dadanya. "Mas, jangan kepikiran lompat loh ya seberat apapun masalahnya. Istighfar coba."

Jalan Muda FM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang