02

370 46 0
                                    

"Yangyang!"

Earphone yang tadi menyumpal telinganya pun dia lepas, kepalanya tertoleh dengan kedua alis terangkat. Lagi, tidak ada senyum tersungging sekecil apa pun di wajahnya.

Melihat Renjun mendekat, sontak dia berdiri dan merenggangkan tubuhnya sejenak, mengambil kunci yang berada di tas bagian depan dengan membuat ritsleting terbuka, menggesernya lalu memberikan isinya. Renjun mengernyit, dia kebingungan sendiri, bukan maksud mendatangi saudaranya sebab meminta kunci motor, dia hanya menyapa dan hendak mengajaknya bicara.

"Lo keseringan ngusir gue, ya," katanya tak terima kemudian mendorong tangan Yangyang yang memberikan kunci padanya tadi. "Gue lagi kosong, bukan mau pulang. Lo bukannya udah kosong? Kenapa nggak pulang?"

"Malas."

"Lo itu kurang tidur." Renjun menjawil ujung hidung Yangyang dan menggerekannya sedikit hingga laki-laki itu memejamkan matanya amat erat.

"Nggak ngantuk," tangkasnya dengan nasal.

Tangannya terlepas, Yangyang langsung mengusap hidungnya yang sedikit memerah, diperiksanya lewat ponsel dengan layar gelap. "Lo nggak ada kelas lagi, kan? Langsung pulang aja, bawa motor, terus jemput bunda."

"Lo nanti‐--"

"Gue naik kendaraan umum," tukas Yangyang sebelum Renjun menyelesaikan pertanyaannya. "Gue baik-baik aja. Lo jalan aja sana, duluan. Gue mau ketemu Jeno, ada yang harus gue omongin sama dia. Lagian, sorean gue ada kelas, jadi otomatis baliknya agak malam."

"Tugas lo banyak?"

Dahi Yangyang berkerut. "Lumayan. Kenapa?"

"Kerjain bareng, yuk?"

Dia mengerjap mendengarnya, meski sudah lama tinggal di bawah atap yang sama, Yangyang tak berbohong jika dia merasa Renjun dengannya memiliki sedikit jarak untuk mengungkapkan kasih sayang. Lantas, kepalanya mengangguk pelan, disuguhkan senyum kecil di wajahnya untuk mengirimkan kesan ramah dan senang.

"Kalau gitu," dia menerima kunci motor yang tadi Yangyang berikan, "sampai ketemu nanti!"

"Hati-hati, ya."

"Iya!"

Laki-laki itu berbalik, membiarkan kedua kakinya mulai berlari kecil untuk menuju ke arah parkiran yang tak jauh dari mereka. Yangyang masih terdiam hingga dia melirik ke belakang lewat ekor matanya, merasa hawa lain yang berada di dekatnya dan dapat dia terima. Hal itu membuatnya berbalik, tak menyungging senyum dan mengajak laki-laki di hadapannya untuk duduk.

Dia tak banyak bicara saat memberikan kertas yang dia ambil dari binder yang berasal dari tas hitam serbaguna dan selalu dia bawa ke mana pun. Yangyang tidak berbohong, bahkan ada peta kertas di tasnya entah apa fungsinya. Mungkin dia hendak berpetualang sendirian tanpa ponsel, dia pun tak yakin.

"Gue nggak yakin lo paham sama yang gue maksud," katanya sembari bersandar ke punggung kursi yang dia tempati. "Kayaknya, mending lo yang cari tahu masalah ini. Lo juga yang mau, kan?"

"Iya, sih, gue yang mau," kata Jeno sedikit mencibir.

"Itu udah benar, kok. Gue nggak terlalu jago aja, jadinya bingung pas masuk ke sana."

"Bingung, atau ...?"

"Bingung." Yangyang mengembuskan napas panjang, enggan membiarkan Jeno dengan spekulasinya yang pasti akan membuatnya kembali merasa tidak enak hati. "Tempatnya agak jauh, kalau emang lo mau pergi sendiri, bakal susah."

"Gue kabarin bokap gue nanti. Makasih, ya." Jeno menerima kertas itu dan dimasukkannya ke dalam saku celana.

"Gue yang seharusnya bilang makasih."

"Santai aja. Lagian, yang mau juga gue, kan?"

"Rasanya ngerepotin."

"Lo kebiasaan," katanya sembari bersedekap dada. "Yang, gue nggak tahu kenapa lo bisa ada kaitannya sama hal itu, tapi emang masih banyak yang dicari soalnya, banyak yang bilang kalau mereka malah makin banyak dan makin jadi. Gue justru berterima kasih karena lo, bokap gue nggak pulang larut terus."

"Bukan apa-apa."

"Ingat hal buruk, pasti lo susah sendiri."

"Mimpi."

Jeno yang tadi menyungging senyum senang pun tak sadar jika raut wajahnya sedikit berubah. Dia mengangguk pelan kala mendengar kenyataannya. Wajar saja jika Yangyang tampak seperti orang kurang tidur, dia memang sengaja mengikis waktu tidurnya hanya demi menghindari mimpi buruk yang terus menghantuinya. Jeno tak banyak bertanya mengenai kejadian yang jelas memang merupakan bencana besar yang berhasil dilewatinya, sebab itu bukan hal yang perlu dia ketahui sampai Yangyang ingin cerita padanya.

Seperti kejadian di kantin tadi, Jeno lupa jika mereka perlu untuk bertemu dan membicarakan hal ini sejenak. Dia masih kebingungan dengan tatapan tajam dan tak bersahabat Yangyang pada Jaemin tadi, belum lagi dia sempat menepuk kepala Jaemin sebelum pergi. Dia sama sekali tidak mengerti harus mendefinisikan sikap Yangyang itu merupakan hal baik atau buruk.

Namun, melihat respon Jaemin tadi, sepertinya itu adalah hal baik.

"Udah, kan? Gue mau kelas sebentar lagi. Gue duluan, ya!"

Sebelum Jeno menahannya, Yangyang sudah melangkah cepat, berlari menuju fakultasnya yang cukup jauh dari sini. Dia mengerjap beberapa kali saat tersadar binder hitam yang berisikan kartu menaiki kereta, kartu identitas serta pena yang tergabung di dalam sana.

Jeno mengerjap beberapa kali, kemudian membawa buku tebal yang terjilid itu di tengannya. Mungkin nanti dia akan bertemu dengan Yangyang, meski dia tak yakin.

~○○○~

Mampus!

Yangyang mengkhawatirkan bagaimana dia pulang, bukan perihal isi binder yang tertera jelas hanya catatan kuliah yang terpotong pembatas sesuai warna kertas. Kini, kepalanya berdenyut, dia bisa mencatat lewat laptop sementara waktu, menggunakan aplikasi catatan yang dapat dia sebarkan dengan mengizinkan siapa pun mengaksesnya.

Semoga saja ada yang menemukannya dan itu adalah orang baik, sehingga barangnya dapat kembali.

"Jeno nggak balas lagi," gumamnya saat melihat ponsel yang layarnya menyala, tak ada satu pun notifikasi di sana.

Selang beberapa menit, ponsel di sakunya bergetar, Yangyang langsung merogoh dan membaca pesan yang tertera lewat notifikasi, hendak membalas tetapi dia lebih dulu mengeluh. Tengkuknya tidak gatal, tetapi dia menggaruknya untuk melampiaakan raa bingung dan cukup tertekan di saat seperti ini. Bisa-bisanya Jeno justru menitipkan benda ini pada seseorang yang selalu dia hindari setiap harinya.

Jeno
Binder lo gue titip ke Jaemin, soalnya dia ada kelas dan gue mau balik. Peace hehe.

Emang berengsek kadang ini manusia, batinnya sembari memijat batang hidungnya.

Dia kembali melirik jam lewat layar laptopnya, membiarkan benda pipih gelap yang tadi dia gunakan untuk berkomunikasi. Yangyang kembali sibuk dengan sesi catat mencatatnya di laptop, membiarkan pikiran yang hampir meledak karena amarahnya benar-benar terpancing saat ini. Kedua tangannya sibuk, jemarinya menari lihai di atas keyboard yang membuat satu per satu huruf mulai membentuk kata maupun kalimat di sana.

Usai ini, dia harus mencari Jaemin, demi bisa pulang ke rumahnya dan menghindari konflik berkepanjangan dengan Renjun kala dia sampai di rumah yang menjadi tempat istirahatnya. Semoga saja tak ada hal buruk terjadi padanya.

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang