"Boleh nggak kalau gue nginap‐--"
"Nggak."
Jawaban bersamaan dari Yangyang maupun Jeno membuat Jaemin kembali mengerucutkan bibirnya. Bahkan, hingga saat ini yang sudah satu pekan setelah kejadian di tempat menyeramkan itu, Yangyang masih tak bisa memberitahu Jaemin mengenai apa yang sebenarnya terjadi dan dipenuhi oleh tanda tanya besar sebab Wendy justru tertangkap oleh pihak kepolisian yang di telepon Jeno atas perintah ayahnya. Kini, melihat Jaemin yang sedang merebahkan kepalanya di atas kasur membuat Yangyang tersenyum sendiri.
Jeno angkat kaki lebih dulu, keluar dari ruangan dan menepuk pelan bahu Jaemin seolah memberitahu jika semua perlu diselesaikan dan dia tak akan mendengarnya sama sekali. Alhasil, dia menunggu di luar sedangkan Jaemin memejamkan mata dengan amat lembut, berpikir jika akhir hidupnya akan datang sebentar lagi karena Yangyang merupakan salah satu dari banyaknya penjahat seperti di film-film.
Semuanya sudah usai, tetapi perasaannya tetap menjanggal seperti ini sehingga dia berpikir untuk melakukan hal lain agar rasa bersalahnya mulai menghilang sedikit demi sedikit. Diusapnya puncak kepala Jaemin hingga sang empu menoleh ke arahnya, tatapan penuh tanda tanya itu membuat adanya beberapa garis di dahi karena kedua alisnya yang terangkat. Yangyang tertawa pelan sewaktu Jaemin semakin mendekatkan diri, duduk di pinggir ranjang dan membalas usapan Yangyang tadi tak lepas dari sunggingan senyum manis mematikan yang berhasil membuat laki-laki itu salah tingkah di tempat.
"Muka lo merah," goda Jaemin hingga mendapat tatapan sebal dari Yangyang sebelum kedua belah pipinya ditarik gemas. "Gue bersyukur lo tetap di depan gue kayak begini, Yang."
"Kenapa bersyukur?"
"Gue bisa gantian jagain lo di rumah sakit, bukan cuma lo doang, kan?" Jaemin memainkan kedua alisnya, naik turun jahil sebelum tawa pelannya keluar dari mulutnya. "Gue selalu takut kalau lihat lo begini. Kayak ... apa gunanya gue? Kenapa gue nggak bisa jaga lo? Kenapa selama ini gue bego banget sampai buat lo luka, lagi dan lagi. Lo selalu pergi dan berlagak kasar, padahal niat lo baik. Lo pura-pura berengsek, tapi hati lo justru jauh lebih baik daripada siapa pun."
Sewaktu Yangyang hendak bicara dan menyangkal semua perkataan itu, Jaemin menutup bibir laki-laki itu dengan jari telunjuknya yang ditempelkan di permukaan. "Lo nggak perlu ngebantah, terima aja. Kalau emang lo punya salah sama gue atau lo merasa nyakitin gue, nggak lo nggak ada. Makanya ... ayo, balikan."
Perkataan final itu membuat Yangyang kebingungan sendiri. Dia tak yakin jika harus menrima ajakan menjalin hubungan kembali dengan Jaemin, tetapi di sisi lain dia juga tak ingin melepaskannya lagi dan yakin jika nantinya mereka akan hidup lebih bahagia dibandingkan dengan sebelumnya. Sialnya pula dia hanya bisa berpikir sepintas karena kepalanya masih cukup sakit akan kejadian yang menimpa mereka beberapa hari lalu dan dikejutkan dengan hal yang berupa kebenaran.
"Gue sayang sama lo, Yang. Sayang banget. Dari dulu, sampai sekarang, perasaan gue nggak pernah berkurang, malah bertambah. Kehilangan lo di hidup gue justru buat gue makin takut buat mulai semuanya sendirian, tapi selama ada lo, gue selalu didorong sampai gue bisa dapat apa yang gue mau. Gue mohon, jangan pikirin hal apa pun selain jawaban yang gue butuh, Yangyang."
Jaemin meminta padanya, seharusnya dia yang meminta hal ini dan membiarkan mereka menjalin hubungan lebih lama dari yang siapa pun pikirkan. Sayangnya, dia tak seberani Jaemin yang masih menatapnya penuh dengan harapan, penuh dengan binar yang mengganggunya saat ini. Yangyang tak tahu apa yang harus dia lakukan selain mengangguk pelan, kemudian mengundang wajah itu tampak tak percaya dengan jawabannya.
"Lo ... apa?"
"Kalau lo ragu, gue bisa tarik lagi---"
"Bercanda!" Jaemin menyelanya sembari mendekatkan tubuhnya, membuat Yangyang terkesiap di tempat dan setengah mendelik. "Gue cuma terlalu bahagia, bukan gimana-gimana. Gue nggak ... nggak tahu! Aduh, gue sayang sama lo!"
Dekapan itu terlalu kuat hingga dia sesak sendiri. Walaupun Yangyang menepuk punggung Jaemin supaya dia menjauh dan merenggangkan sedikit tubuhnya, tetap saja hasilnya justru nihil. Terlalu bahagia dengan jawaban yang Yangyang berikan, diantak mengenal tempat untuk mempertanukan bibir mereka di tengah ruangan serba putih yang Yangyang jadikan sebagai rumah sementara selagi dia belum sembuh dengan benar.
Yangyang merekamnya dengan baik kala jemari Jaemin bermain di lehernya, menekan tengkuknya agar memperdalam ciuman mereka dan tak lari ke mana pun, saat tangan kirinya justru mendekap pinggang Yangyang yang terbalut pakaian khas rumah sakit, bahkan saat dia melepas dan kembali menyatukan utas liur mereka yang tak terputus sedari tadi. Berputarnya lidah untuk memeriksa dan mempresensi kehadiran anggota di dalam mulutnya, Yangyang tahu jika Jaemin memang menantikan hal ini hingga dia tak mau melihat sedang di mana mereka saat ini. Yang terpenting hanyalah perasaannya kembali terbebas tanpa ada yang mengaturnya.
Kedua mata Jaemin terbuka sewaktu dahi mereka bertemu di tengah aduan deru napas karena couman tadi terasa amat panas. Yangyang mengecup singkat puncak bibir laki-laki yang kini resmi menjadi kekasihnya kembali. Setidaknya ini adalah akhir yang membahagiakan bagi mereka.
"Kayaknya lo harus nahan diri," kata Yangyang sewaktu Jaemin melepas satu per satu kancing pakaian yang kekasihnya gunakan. "Pertama, kita masih di rumah sakit; kedua, kesehatan gue belum stabil; ketiga, rasanya nggak lazim soalnya ada yang nunggu di depan pintu."
"Sedikit aja."
"Jaemin, jangan sekarang," bisiknya semakin sengit. Dia mendelik sedikit hingga Jaemin kembali mengancingi pakaian Yangyang hingga dia bernapas lega.
"Kita tinggal satu rumah lagi?"
"Iya, kita satu rumah lagi---"
"Berarti nanti pas pulang, boleh?"
Tatapan Yangyang tak bersahabat dengannya, meskipun hawa mematikan itu keluar dari setiap sisi kekasihnya, Jaemin tidak peduli dan hanya menyungging senyum manis untuk dimaafkan. Alhasil, Yangyang mengembuskan napasnya kembali, kemudian mengangguk pelan dan menerima usapan gemas di wajahnya kembali.
Jaemin memperhatikan jari kekasihnya yang masih terbalut oleh kain kasa, tak sekotor saat itu, dan kini pendarahannya telah berhenti. Hanya saja, tetap saja dia ketakutan karena mengingat kejadian itu Yangyang tampak lemas dan tak bisa berbicara banyak, dia tertidur di dalam mobil yang Jaemin pikir napasnya tak terasa sama sekali.
"Jari gue ada yang hilang," gumam Yangyang sembari memperhatikan kedua tangannya. "Cari yang lain aja kali, Jaem? Jangan sama gue."
"Gue maunya lo."
"Walau cacat?"
Mata Jaemin mengerjap pelan, dia mengangguk cepat. "Gue sayang sama lo karena itu lo. Lagian, lo dulu juga nunggu gue, selalu di sebelah gue, belum lagi selalu berusaha yang terbaik buat gue, kan? Jadi, kenapa gue harus pergi ninggalin lo? Gue bukan orang yang nggak tahu diri."
Penjelasan itu membuat Yangyang tertawa pelan dengan kedua mata yang terpejam. Dia bersandar di bahu Jaemin sembari bergumam setuju dengan kalimat terakhir yang dilontarkan kekasihnya.
Benar, mana mungkin Jaemin meninggalkannya karena hal seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Katastrofe (JaemYang) ✔
Fanfiction[Warn! B×B] Pertemuan mereka kembali menghantui Yangyang. Melihat Jaemin yang sehat serta bahagia amat menyakitkan baginya, ini adalah bencana terburuk yang pernah menimpanya. Ingin sekali dia melawan ketakutannya, tetapi dia tak berhasil. Jaemin me...