01

544 53 0
                                    

Satu ..., dua ..., tiga!

Lagi, Jaemin berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan mudah, menunggu tigas terunggah ke website kampusnya. Dia merenggangkan tubuh, menaikkan kedua tangan untuk menarik beberapa bagian demi menghilangkan rasa linu di punggung. Pandangannya teralih ke arah jam dinding yang berada di depannya, tepat di atas meja belajar yang tengah dia tempati.

Hampir empat jam ..., ya?

Jaemin berdiri dari duduknya, membiarkan sepasang kaki mulai melangkah sesuai arahan otaknya yang memerintah. Meski matanya tak bisa diam melihat ke sana kemari, dia tak menghentikan langkahnya sama sekali sesampai di depan lemari pendingin. Jaemin sendiri mengerjap heran mengapa dia bisa ke sini dan apa yang ingin dia lakukan sekarang.

Kekosongan di dalam dirinya membuat dia selalu berjalan entah ke mana.

"Lo ngapain jam dua pagi bengong di depan kulkas?"

Xiaojun yang sedang asyik memakan sereal di meja makan pun angkat bicara, membuat Jaemin menoleh dan kembali mengerjap. Laki-laki yang lebih muda justru menggeleng pelan. "Entahlah?"

"Tugas lo udah selesai? Nanti ada kelas?"

"Ada, jam sepuluh."

"Bareng aja sama gue," katanya kemudian menyuap sesendok sereal susu dari mangkuk putih yang hangat. "Lo linglung banget hari ini. Mikirin apa?"

"Kosong."

Lagi? Xiaojun mengangguk pelan, dia berdiri dari duduknya untuk mendorong punggung Jaemin agar duduk berhadapan dengannya, tak lupa menyiapkan mangkuk serta sendok untuk pemuda itu ikut makan dengannya di dini hari yang dingin ini. Meskipun dia terlihat selalu diam, Xiaojun tak pernah sanggup melihat adiknya seperti ini.

Penuh kehampaan di tengah malam, sukar untuk menutup mata, dimakan ketakutan dan mimpi buruknya, Jaemin tidak pernah bercerita sebab itu bukanlah hal yang perlu dia beri tahu kepada siapa pun. Sontak, itu pula yang menggetil hati ketiga kakaknya yang tinggal di satu atap dengannya. Luka yang dia dapatkan mungkin tak akan dapat dirasakan siapa pun, meski pada akhirnya mereka hanya berusaha mengajak Jaemin bicara sampai ada senyum di wajahnya.

Suara sereal yang masuk ke dalam mangkuk menarik atensi Jaemin untuk menatapnya hingga usai, begitu pula susu cair yang masuk ke dalam sana. Dia tetap memandang kosong, kehampaan mengambil alih tubuhnya. Dia menengadah sedikit, menatap Xiaojun yang berdiri di sebelahnya dan sibuk membereskan sedikit kekacauan yang dibuatnya tadi.

"Makasih, Kak."

"Bukan apa-apa. Makan, ya?"

Perlahan dia mengangguk, menatap sejenak makanan di depannya kemudian memainkan sendok di sana untuk dibiarkan masuk ke dalam mulutnya, berkelahi dengan gigi maupun lidahnya sebelum memasuki kerongkongan yang akan menyampaikan ke lambung. Jaemin tak merasa adanya getaran apa pun di tubuhnya, lagi pula berdua dengan Xiaojun meski hanya saling melirik sembari makan bukanlah hal yang buruk.

"Lo punya gue," kata Xiaojun tiba-tiba yang membuat Jaemin menghentikan gerakan tangannya untuk mengarahkan sendok itu kembali ke dalam mulutnya. "Apa pun yang lo rasa, kalau pun lo nggak mau cerita, gue nggak akan maksa. Tapi, ajak aja gue ngomong, apa pun itu, gue pasti dengar," imbuhnya kemudian.

Kepala Jaemin hanya bisa naik turun secara teratur, dia mengerti apa yang Xiaojun katakan, tetapi dia juga tidak yakin apakah dia bisa melakukan hal tersebut atau tidak. Terlalu sering memendam sedari kecil, dipaksa tutup mulut, bahkan genggaman di tangannya terasa asing. Sendok itu tak terasa sama meski sudah lama dia melewati segala hal yang telah terjadi.

Bangkit, Jaemin. Bangkit.

Meskipun dia berusaha mengatur emosinya, Jaemin tetap hanya bisa tersenyum dan berusaha melupakan semuanya. Setidaknya ini, yang terbaik.

~○○○~

"Oke, jadi?"

"Kayaknya ada yang salah sama otak lo, deh, Jaem."

Jaemin mengernyit mendengarnya. "Gue ngerjainnya bener, ya, bajingan. Coba lo cek lagi buku lo, lo ngikutin cara yang mana, deh?"

"Oh iya, gue yang salah." Jeno tertawa canggung saat melihat wajah ketus Jaemin di depannya yang sibuk menyantap soto ayam kesukaannya di kantin. "Tapi, tumben? Lo nggak apa-apa pas ngerjain tugas ini? Maksudnya, nggak ke-trigger atau apa gitu?"

"Ke-trigger, kok," katanya saat tangannya selesai menyuapi diri dengan makanannya.

"Lalu?"

"Ya, sekarang udah baikan, sih---"

Kata-katanya terputus kala melihat sosok yang selalu menghindar bahkan menatapnya dengan wajah marah. Jaemin mengerjap saat melihat Yangyang menepuk pelan bahu Jeno untuk menyapa, tak ada pembicaraan yang terjadi, bahkan matanya tak tertuju ke arah Jaemin sedikit pun.

Ada alasan mengapa Jaemin tak lagi berbicara mengenai permasalahan hidupnya, sosok yang mengenalnya amat baik dan mengerti semua kesulitan yang dia alami, kini justru pergi dan menunjukkan wajah tak sukanya. Rasa bersalahnya semakin membesar kala Yangyang lewat begitu saja tanpa ingin menyapanya, dan dia pun sama, tak bisa bicara kala melihat sosok pemuda yang lebih muda beberapa hari darinya.

Jeno sering mengatakan jika Yangyang tidak seperti yang Jaemin lihat, mungkin saja keduanya tak dekat. Kenyataannya, mereka bertemu lebih dulu jauh sebelum Jeno mengenal mereka. Pandangan Jaemin kembali turun, merasa tak enak hati, bahkan keinginan untuknya kembali berbicara sembari mengenang masa lalu bersama sudah amat besar dan tak tertahankan.

Sekali saja, dia ingin Yangyang kembali menatapnya seperti dulu, melupakan apa yang telah membuat mereka berdua hancur seperti ini.

Dia rindu akan dekapannya, bahkan senyumnya. Ini tidak adil.

"Jaemin? Jaem, lo nggak apa-apa?"

Suara Jeno membuatnya menaikkan kedua alis heran, dia menggeleng pelan dan kembali sibuk dengan makanannya, menggenggam sendok yang sedari tadi dia diamkan di dalam mangkuk berkuah itu. Jaemin menelan salivanya sebelum mengembuskan napas panjang untuk menenangkan dirinya dari ketakutan yang kini justru mengambil alih sebagian tubuhnya.

"Kayaknya lo nggak baik," katanya dan hendak mengajak Jaemin pergi, tetapi dia menolaknya dengan kasar, menepis tangan Jeno yang hendak mengajaknya berdiri. "Jaemin, lo biasanya nggak akan begini, gue nggak terlalu paham ada apa sama lo, tapi kalau lo udah gemetar gini, mending berhenti dulu, atur napas lo."

Jaemin tak tahu apa yang hendak dia lakukan sebab kepalanya terus berputar di tempat, ratusan memori yang tertinggal sedari kecil itu justru menguasai penglihatannya, semua visual itu tampak nyata, semua sentuhan dan perilaku yang dia dapatkan pun terasa nyata. Dia kembali memejamkan matanya, menggunakan meja sebagai penumpu kedua siku karena tangannya sibuk meremas dan menarik paksa rambutnya untuk mengalihkan segalanya ke rasa sakit.

Dia tak tahu jika Yangyang melirik sejenak, merasa harus membantu meski dia merasa tak suka dengan hal tersebut. Lagi pula, salahnya menunggu teman dekatnya ke gedung fakultas sebelah yang lebih banyak memiliki pilihan makanan untuk siang hari panjangnya. Sontak, dia berdiri dari duduknya, menghampiri Jaemin dan menepuk pelan puncak kepalanya sebelum keluar dari tempat itu.

Entah apa yang dia lakukan, Yangyang juga tidak mengerti, otaknya memberi perintah untuk melakukan hal tersebut.

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang