Itu Jaemin!
"Jaemin?"
"O-oh, hai! Kenapa?"
Yangyang memiringkan kepalanya sedikit, tak bisa menggenggam tangan Jaemin sebab tangannya termakan jaket yang menutupi dari banyaknya perban yang melilit di sana. Dia menyungging senyum kecil, mendapat hadiah berupa delikan mata Jaemin karena sudah anat lama tak melihat Yangyang tersenyum ke arahnya.
"Sibuk? Gue mau makan sama lo. Siang ini lo ada kelas nggak? Jam dua nanti gue nggak ada kelas, ada lagi jam empat. Nanti gue ke sini lagi---"
"Tunggu," sela Jaemin sebelum Yangyang selesai berbicara. "Maaf, tapi kenapa? Kenapa lo mau makan sama gue dan tiba-tiba ada di sini?"
"Karena mau cari lo. Kira-kira, di mana gue harus cari lo selain ke Fakultas Kedokteran? Masa gue cari di Psikologi? Aneh-aneh aja lo," katanya kemudian tertawa.
Lagi, di hadapan Jaemin.
Manis ... nggak berubah ....
Bagaimana bisa dia pindah hati jika tingkah Yangyang di hadapannya tak terlihat seperti sosok yang berengsek? Wajah menggemaskan dan menghantuinya saat ini merupakan hal yang tak ingin Jaemin lupakan hingga kapan pun.
"Gue boleh minta nomor lo? Biar gue chat nanti kalau gue udah selesai."
"Boleh!"
Ada senyum manis yang menusuk sanubari Jaemin saat ini. Setiap kali Yangyang menyebutkan nomornya dan langsung diketik Jaemin di ponselnya, dia ingin sekali melirik wajah menggemaskan Yangyang sekarang, tetapi ketikannya bisa hancur berantakan dan entah nomor ponsel siapa yang dia catat nantinya.
"Nanti gue kabarin, ya," katanya sembari melambaikan tangan yang sedang menggenggam benda pipih hitam di sana.
"Sip."
Dia berbalik usai melambaikan tangan, berlari kecil untuk menjauh. Jaemin tidak tahu jika dia terus merintih kesakitan karena luka di kakinya belum sembuh sempurna. Perlahan Yangyang mengembuskan napasnya, memijat sedikit betis yang nyeri karena tusukan dari banyaknya pecahan kaca saat itu. Kepalanya sedikit pening, keputusannya untuk berdiam diri sejenak dan bersandar memang tidak salah.
Pelipisnya tak kenal lelah untuk memproduksi peluh yabg turun bergiliran tampa henti. Dia memaksa untuk melepas sepatunya dan menaikkan sedikit celananya. Memang sudah saatnya dia mengganti perban ini.
"Darahnya susah berhenti, apa karena gue terlalu aktif?" Dahinya berkerut saat melihat ada noda merah yang terlihat di matanya meski tidak banyak. "Nanggung, sih ... mau mulai juga kelasnya. Trabas aja kali, ya?" imbuhnya sembari memicingkan mata untuk melihat sebanyak apa langkah yang akan dia jalani sebentar lagi.
Alhasil, dengan banyak pertimbangan, Yangyang memakai kembali sepatunya lalu melangkah perlahan untuk cepat sampai ke gedung fakultas yang ingin dia singgahi. Bodoh sekali menjelang pukul sembilan justru masih sibuk menghampiri orang yang belum tentu ada di tempat itu.
Andaikan saja dia tak melakukan aktivitas yang membuat kakinya kesakitan, mungkin hari ini akan dilewati dengan mudah.
~○○○~
Makan ... bareng ...? Kayak dulu, dong? Atau lebih? Sebentar! Otak gue!
Jaemin menggeleng tengah di penjelasan dosen yang tertuju ke papan tulis, dia mengembuskan napasnya panjang dan kembali memangku wajah untuk berusaha fokus dengan kegiatan yang justru menyita waktunya-tanpa-dia-inginkan. Belum lagi, matanya terus terfokus ke jam dinding yang berada di atas papan tulis, masih menunjukkan pukul satu lewat empat puluh lima.
Lima belas menit lagi ..., batinnya kembali bercakap.
Masalah mengapa dan apa alasan Yangyang mengajaknya tak penting bagi Jaemin, dia sudah buta untuk kembali mendekat dan menjalani kisah yang dia yakini tak pernah usai ini. Katakanlah dia bodoh, bahkan jika Haechan atau Jeno mengetahui ini lebih dulu pasti keduanya akan berusaha menahan Jaemin agar tak melancarkan apa yang ada di pikirannya. Sejujurnya, itu amat mengganggunya.
Langkah kaki setiap orang mulai bergema di ruangan, dosen lebih dulu keluar kelas dan membuatnya merapikan meja. Meski sudah sering melihat Yangyang yang menampakkan wajah tak suka padanya, kini Jaemin justru mengetahui dan melihat langsung wajah senang Yangyang yang tertuju padanya. Ini amat membahagiakan hingga kapan pun, dia tidak tahu.
Jaemin mengembuskan napasnya pelan, tak pernah segugup ini baginya hanya untuk pergi ke kantin. Kakinya sedikit ragu, tetapi hatinya terus mendorong agar lebih cepat sampai ke sana. Dia tak melihat di mana Yangyang, mungkin karena waktu masih lewat lima menit dari usainya kelas yang laki-laki itu katakan.
Laki-laki itu merogoh saku celananya untuk mengirimkan pesan, sedikit ragu hingga tanda terkirim itu terganti menjadi terbaca, bahkan ada tanda jika orang di seberang sana sedang mengetik. Hal membahagiakan dan kecil ini amat istimewa. Jaemin menyukainya, amat menyukainya.
Yangyang
Gue mau sampai, sebentar.
Lo mau makan apa?
Eh, di sana ada ayam nggak, sih? Gue lagi mau ayam.
Atau mi ayam, soto, apa aja yang punya ayam.
Maksudnya, yang ada ayamnya.
Hehe.Dia menggemaskan, Jaemin tak sanggup.
Satu per satu pesan itu dibalasnya, tak luput dari senyum manis sembari langkahnya mencari tempat yang cukup untuk mereka berdua nanti. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari kursi dan meja kosong, saat menemukannya pun, Jaemin meletakkan tasnya di atas meja sebagai penanda jika tempat itu sudah ditempati.
Yangyang menoleh langsung ke tempat Jaemin duduk. Kantin saat ini tidak ramai, itu pula yang membuat mereka cukup nyaman untuk menghabiskan waktu seperti ini.
Seperti tadi, Yangyang masih menggunakan jaket biru muda kelabunya yang menutupi seluruh tangannya. Kaus putih polos di dalam sana tampak amat rapi dan masuk sedikit ke dalam celananya. Dia tampak amat kecil dan harus dijaga.
"Maaf, lama. Lo mau pesan apa? Biar gue yang pergi," katanya sembari mengambil barang di dalam tasnya. "Eh, yang enak apa? Menurut lo---Jaemin, muka gue aneh banget sampai lo lihatin begitu?" Yangyang memandanginya heran, sedikit mengernyit sesampai Jaemin tersenyum dan menggeleng.
"Gue aja. Gue yang hafal di sini. Lo mau makanan kayak gimana jadinya?"
"Lo bilang penyetnya enak, mau itu aja. Tapi, paha atas, ya."
"Oke. Mau apa lagi?"
"Mau gorengan juga," katanya sembari memangku wajah dengan tangan kirinya yang masih tertutup jaket. "Tapi, nggak jadi, deh! Itu aja."
"Sebentar, ya."
"Iya."
Sewaktu Jaemin melangkah menghampiri salah satu kedai di sana, Yangyang memperhatikannya tanpa berhenti tersenyum. Bayangan bagaimana Jaemin masih dengan seragam putih biru itu menghampirinya, tampak menggemaskan dan penuh semangat, tidak berbeda jauh dengannya saat ini. Jaemin tidak pernah berubah, seharusnya dia tahu akan hal itu.
Yangyang mengembuskan napas pelan dan kembali mengambil ponselnya, menyingsing sedikit lengan jaket untuk bisa menuliskan pesan di sana meski sedikit kesulitan. Dia tak sadar jika mulutnya terbuka perlahan, menahan kantuk di siang hari yang memang harus dia basmi sekarang juga.
"Tangan lo kena apa?"
"Jatuh," katanya tidak penuh berdusta.
Yangyang memang terjatuh usai insiden hampir menusukkan pecahan kaca ke wajah Wendy saat itu.
Jaemin mengangguk pelan mendengarnya. "Lain kali hati-hati. Lalu, kenapa ngajak makan bareng?"
"Mau aja. Kangen."
Jawaban di luar ekspektasi itu membuat kedua sudit bibir Jaemin tertarik paksa karena kebahagiaan yang semakin meletup di hatinya, dia sedikit menutup wajahnya dan Yangyang justru tertawa tanpa suara. "Lo aneh, ya."
"Iya, aneh."
Meskipun begitu, Jaemin tidak pernah menemukan hal menjanggal yang sedang Yangyang ingin lakukan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katastrofe (JaemYang) ✔
Fanfiction[Warn! B×B] Pertemuan mereka kembali menghantui Yangyang. Melihat Jaemin yang sehat serta bahagia amat menyakitkan baginya, ini adalah bencana terburuk yang pernah menimpanya. Ingin sekali dia melawan ketakutannya, tetapi dia tak berhasil. Jaemin me...