17

80 13 0
                                    

Dia tahu Jaemin mengingat dengan jelas perihal kejadian yang membuatnya terbaring di rumah sakit amat lama, tak bisa bergerak sedikit pun, lalu hanya ditemani suara monitor yang menyambungkan berbagai macam selang kepadanya. Namun, di titik itu Yangyang merasa amat bersalah sebab tetap melarikan diri meski mendengar suara ketakutan Jaemin yang masih berusia sepuluh tahun itu.

Hal yang terus menghantuinya setiap malam, rasa bersalahnya tak kunjung usai meski mereka justru saling jatuh cinta, amat bahagia meski luka di hatinya diabaikan begitu saja. Yangyang tak menyangka jika caranya yang mencampakkan Jaemin kali ini adalah hal yang salah, hidupnya tetap tak membaik, tetapi Jaemin juga merasa hidupnya semakin hancur tanpa dia inginkan.

Yangyang kembali mengembuskan napasnya, membiarkan udara membawa karbon itu pergi menjauh darinya. Dia tak menyangka jika ketukan jemarinya saat ini justru tak menghilangkan rasa cemas yang terus menggerogoti ketenangan hatinya. Bahkan, angin sepoi-sepoi yang menyapu kulitnya pun terasa hanya berputar dengan dia sebagai porosnya, tak ada yang berhasil melepas rasa takutnya meski dia hanya terdiam di tempat.

"Ah, sialan," umpatnya berbisik pada diri sendiri. Dia harus cepat menyadarkan diri untuk kembali tenang. Jika kabarnya polisi bisa menangkap kembali sosok pembunuh bodoh dengan pikiran pendek yang kabur dari penjara, seharusnya berita hilangnya anak-anak tak lagi tersebar begitu saja dengan mudah. Kini, dia kebingungan sendiri dengan keputusannya.

Meskipun Wendy mengizinkannya dengan berat hati, tetap saja masih ada rasa menjanggal yang tak dapat dia temukan apa hal itu. Dia kewalahan hanya dengan berpikir dan tak bergerak, tetapi jika dia asal bergerak pun tidak akan memengaruhi apa pun.

"Depan lo kosong nggak?"

"Kosong---eh?"

Jaemin menaikkan kedua alisnya tanpa merasa bersalah kala dia sudah duduk di kursi kosong yang berhadapan langsung dengan Yangyang. "Kenapa? Kalau lo keberatan, gue bisa pindah sekarang---"

"Nggak!" Yangyang menyelanya dengan cepat. "Duduk di sana aja, nggak ada yang nempatin."

"Lo ada pesan sesuatu? Atau belum? Atau lo baru mau pergi?"

Laki-laki itu menggeleng pelan. "Lo mau pesan? Kalau lo iya, gue juga berarti. Dari tadi, gue bingung mau pesan apa."

"Oh?" Jaemin tertawa pelan mendengarnya, dia menggeser sedikit buku menu agar Yangyang juga bisa melihatnya, membaca dalam diam untuk menentukan apa yang harus dia pesan untuk makan siangnya hari ini.

Namun, dia menaikkan sedikit pandangannya, melihat Yangyang yang masih kebingungan sesampai tak sadar jika rambutnya yang sedikit panjang justru mulai mengganggu pandangan laki-laki itu. Tangannya terangkat untuk menyalipkan sedikit rambut Yangyang ke belakang telinga pemuda tersebut.

Senyum manisnya tertuju kepada Yangyang yang masih bergeming. Meski Jaemin sudah menarik tangannya pun, dia masih mencerna apa yang baru saja terjadi sehingga wajahnya kepanasan sendiri. Dia tak tahu mengapa amat ragu mengangkat tangannya untuk merasakan perbedaan pada telinganya yang kini tengah menghangat. Senyum mulai tersungging, tetapi Jaemin tidak melihatnya sama sekali.

"Gue mau pesan ini aja," katanya saat menunjuk salah satu kopi dingin di buku menu. "Lo mau makan juga? Atau gimana?"

"Em, entahlah? Kata lo, makan aja apa nggak?"

Jika mereka masih tinggal di bawah atap yang sama, mungkin Jaemin bisa menjawabnya. Akan tetapi, kenyataannya adalah, dia tak tahu apakah Yangyang sudah makan atau belum saat ini sehingga dia tak tahu harus menjawab iya atau tidak.

"Lo udah makan di rumah? Kalau belum, sambil makan aja. Lagian, biasanya lo suka skip makan, kan?" Jaemin memangku wajahnya dengan meja bulat yang memisahkan mereka berdua. "Gue bakal tungguin sampai lo selesai makan, atau lo mau kita makan berdua kayak dulu?" tanyanya yang membuat Yangyang sedikit mengerucutkan bibirnya untuk berpikir.

"Makan bareng aja, ya?" Yangyang menyungging senyum manis saat melihat Jaemin mengangguk pelan.

Dia tidak berubah. Selalu seperti itu. Dia selalu menentukan apa yang baik untuknya tanpa membicarakannya lebih dulu. Belum lagi, kini tampilannya dengan sweter kebesaran membuatnya tampak seperti anak-anak. Jaemin tersadar jika senyumnya mulai luntur kala ingatan masa lalu melintas di kepalanya.

Yangyang adalah satu-satunya yang menunggunya membuka mata, sosok pertama yang Jaemin lihat kala dia siuman. Bahkan, dia adalah satu-satunya yang memanggil pertolongan di tempat tinggal yang tak jauh dari hutan di mana mereka dikumpulkan waktu itu. Pasti berat untuknya, anak sepuluh tahun yang hampir mati dan berhasil keluar dari neraka. Mengingat hal itu, Jaemin selalu merasa jika Yangyang justru selalu melakukannya sendiri, merancang dan melaksanakan apa yang ada di pikirannya. Imajinasi liar itu tak pernah sampai padanya.

Pandangan Yangyang kembali ke arahnya. Kedua matanya mengerjap menggemaskan, Jaemin tak tahu jika kedua sudut bibirnya justru tertarik paksa tanpa ada perintah darinya. Tangan kirinya berusaha meraih tangan kanan Yangyang yang berada di atas meja, diusapnya punggung tangan yang penuh dengan bekas luka.

"Gue tetap nggak bisa anggap hubungan kita selesai," katanya. Tatapannya masih tak lepas dari netra cokelat gelap Yangyang yang masih menampilkan refleksinya. "Kalau emang kita harus pisah, tandanya gue yang bodoh, Yang. Gue tahu jelas kalau lo pasti kesusahan, tapi gue merasa amat egois karena gue nggak bisa mengerti keputusan lo, sedangkan gue tetap mau lo itu jadi punya gue sampai kapan pun."

Jaemin menarik napasnya amat panjang sebelum mengembuskannya kembali. "Rasanya nyakitin banget pas lihat lo justru nunjukin lo benci sama gue. Emang benar, lo berhak dapat yang lebih baik dengan mental yang stabil pula, dan orang itu bukan gue. Tapi, gue tetap mau sama lo. Nggak ada satu orang pun yang berhasil ubah pikiran gue, meskipun itu lo. Nanti, kalau emang masalah kita selesai, ayo balikan. Ayo kita mulai awal baru dari nol."

"Jaemin, lo nggak akan bisa lepas dari trauma lo kalau lo tetap stuck di gue. Lo tahu, kan? Kita besar di tempat yang sama, kita korban penculikan juga. Lo luka karena nolong gue dan tetap nyuruh gue lari secepat yang gue bisa. Lo nolong gue keluar duluan dari neraka itu sedangkan lo kembali ketangkap, lo hampir mati karena itu. Gue nggak bisa berhenti nyalahin diri gue semenjak hal itu, Jaem." Yangyang membalasnya, tak kalah panjang dengan perkataan Jaemin tadi.

"Gue sayang sama lo," Yangyang berujar sembari menggenggam erat tangan Jaemin yang sedari tadi mengusap lembut punggung tangannya, "makanya, biarin gue pergi, ya? Bahkan, Kak Xiaojun dan Kak Hendery nggak pernah ... mereka nggak pernah nerima gue lagi semejak kejadian nggak enak di rumah. Papa juga, kan?" Dia tertawa pelan mengingat hal bodoh yang dia lakukan hingga melukai orang lain saat itu.

"Jaemin, lo harus relain gue, karena gue juga ngebunuh ibu kita."

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang