Wendy tahu, kesalahan yang dia buat adalah kesalahan terbesar hingga mendapat pancingan yang tidak-tidak. Menyelesaikan urusan keluarga, kata mereka seperti itu. Namun, wanita itu tahu jelas bagaimana aliran darah turun-temurun kini berakhir menjadi tempatnya berendam, menikmati bau anyir yang semakin akrab dengan penciumannya. Meskipun begitu, dia tetap tak bisa mengakhiri semuanya sendiri hingga dia butuh sosok terakhir.
Darah suci dari hubungan bersetubuh saudara kandung itu katanya tidak akan berhasil, karena adanya tabrakan genetika yang sama hingga menciptakan yang tak sempurna dan terancam mati. Sayangnya kala dia mengetahui Jaemin adalah anak dari hal buruk tersebut dan dia adalah anak yang sempurna, Wendy mengatur rencana agar dia tidak terlihat seperti ingin menghancurkan satu keluarga saja.
"Kamu mau anak kamu?"
Pertanyaan itu terus terngiang di kepalanya, di setiap malam dia meminta agar penderitaannya berakhir, di setiap hari napasnya amat berak karena tersadar jika dia tak boleh menurunkan hal ini kepada anak semata wayangnya yang kini hidup amat bahagia. Diberikannya ucapan yang berhasil diterima Haechan hingga mereka tak bertemu selama ini, menghindari rasa rindunya yang akan semakin membesar semakin hari nantinya. Menjadi buronan dan berhasil menutupi identitasnya, dia sering merasa bangga dengan dirinya. Wendy berharap pengorbanannya ini justru tak akan mengganggu Haechan di masa depan, meskipun dia akan dibenci oleh siapa pun itu.
Hingga dia datang untuk menjadi sosok yang amat hebat di tengah sibuknya menyusun rencana bodoh itu. Melukai dan merenggut nyawa satu per satu anak yang tak mengetahui kesalahan di hidup mereka, membuang ketakutannya sendiri, sesampai dia tersadar dari perbuatan yang dia lakukan justru melukai sosok anak yang ingin dia jadikan kambing hitam di dalam rencananya saat ini. Dia tak sanggup menahan diri setiap kali Yangyang ketakutan dan termakan oleh halusinasinya sendiri.
Dia ingin mengambil Jaemin, tepat saat itu. Akan tetapi, proteksi dari ayah angkat anak itu membuatnya memutuskan untuk mengambil Yangyang dan menarik Jaemin perlahan kepadanya, menuntaskan kutukan dan kembali mendapatkan Haechan di sisinya. Dia tahu ini adalah cara terkotor yang pernah dia pikirkan, tetapi mengetahui rasa sayang yang terjalin di antara dua anak muda itu seharusnya memudahkan dia untuk mendapat apa yang dia inginkan. Bodohnya pula, dia justru merasa tersentuh dengan cara Yangyang mencampakkan Jaemin dan berusaha tak memancing traumanya.
Dia melakukan hal baik, tetapi Wendy tidak pernah bisa melakukannya. Banyak hal yang justru dia dapatkan sebagai pelajaran karena melihat anak itu berusaha berdamai dengan masa lalunya, melewati kehidupan yang menyakitkan di masa kecil, lalu berusaha tampak baik-baik saja tanpa ingin menyakiti siapa pun. Rasa bersalah Yangyang amat besar saat tak sengaja melukai Wendy, wanita itu menyadarinya dan dia berpikir untuk menyelesaikannya dengan cara lain.
"Bunda bilang ke kamu jangan ke sini, kan, Yangyang?" Wendy bertanya kepadanya, tetapi Yangyang tak menjawab dan hanya memandangi wanita cantik itu. Wajah malaikat Wendy membuatnya terpana, dia enggan berkedip untuk melihat raut wajah bundanya sendiri. "Kenapa kamu tetap ke sini? Sakit bukannya? Kamu selalu berusaha buat lawan apa yang ada di diri kamu sendiri, tapi kamu nggak mau selesaiin itu perlahan."
Wendy mendekat ke arahnya, tersenyum manis ebari mengusap pelan peluh yang turun dari pelipis anaknya. "Padahal Bunda nggak tutupin atau bohongin kamu lagi, Sayang. Tapi, kenapa kamu tetap ke sini? Kamu masih mau ngerasa sakit yang sama? Kamu nggak puas sama luka yang udah kamu dapat?"
Wendy ingat jelas mengenai dirinya yang justru semakin cemas karena keputusan Yangyang hingga dia memberikan jalan berupa pemberitahuan, berupa kejujuran, berupa semua yang selama ini menutupi pandangan Yangyang supaya dia tahu siapa yang jahat sebenarnya di sini. Akan tetapi, dia tetap merasa gagal, dia tak bisa mengatakannya secara gamblang agar Yangyang menangkap semua itu dengan baik, hal ini yang membuatnya semakin ketakutan.
Jika suatu saat nanti dia mendapat hukuman setimpal, dia tidak akan segan untuk menerimanya.
"Bunda ... Bunda nggak pernah ngomongin tentang Bunda sama aku," katanya tanpa ingin berpaling dari netra sang ibunda yang mengelap, penuh dengan satu perasaan yang menguasai tubuhnya saat ini, cenderung bersalah tetapi dia tak dapat menyimpulkannya.
"Karena nggak ada yang penting, Yangyang. Kamu sama Renjun berhak ngerasain kebahagiaan, kan? Anak baik harus diperlakukan baik, bukan sebaliknya."
"Kenapa ...?"
Haechan menelan salivanya kala Wendy menoleh. Paras indahnya selalu membuat dia terkejut di usia Wendy yang jelas tak bisa dikatakan muda lagi. Dia selalu mempertanyakan hal itu, meskipun dia tahu banyak faktor yang mudah didapatnya untuk tampil amat muda dengan berbagai cara. Ada keraguan di lidah Haechan yang hendak berucap kembali, walau pada akhirnya dia gagal memberanikan dirinya.
Yangyang di sana pun mengernyit, menanti kelanjutan dari ucapan Haechan yang tergantung begitu saja. Dia mungkin bisa mengulur waktu agar tak ada kejadian buruk yang ada di hidupnya. Namun, dia juga mengerti jika ibunya akan amat marah jika dia tak menyelesaikan apa yang menurutnya itu berupa tugasnya dan tak perlu dibawa oleh anak yang amat dia sayangi. Walaupun Haechan tak bisa memaafkan apa pun yang Wendy lakukan sejauh ini dan kembali melunak, dia juga tak ingin kejadian buruk menimpa ibunya kembali.
"Kenapa ...," ulangnya di tengah gemetar yang semakin menguasai tubuhnya, penuh rasa ragu dan takut untuk berucap di tengah kelunya lidah yang dipaksanya untuk membiarkan pita suaranya bekerja. "Kenapa nggak ajak aku mati sekalian daripada harus begini?"
"Chan---"
"Kalau sakit, jangan sendirian. Aku ini anak, kan? Aku ini bukan anak yang bakal benci sama ibunya kalau ibu jujur. Kalau kayak begini, aku harus percaya siapa? Orang yang asuh aku dan bilang aku ditukar sama Renjun karena aku nggak bisa jaga mulut? Aku yang dicampakin sama ibunya karena ibu nggak sayang sama aku? Siapa yang harus aku percaya sekarang?!"
Suaranya meninggi, bukan karena dia marah, jelas sekali matanya menampakkan pecahan rasa sakit yang masih sanggup dibendungnya di dalam diri, enggan menunjukkan segalanya kepada sang ibu yang terdiam di depannya serta menunggu giliran untuk berbicara. Haechan membenci hal ini, menjadi anak yang tak mengetahui apa pun dan termakan omongan orang lain diberikan rasa bimbang karena penjelasan yang bertolak belakang mengenai nasib kehidupannya.
"Kenapa aku yang dibohongin di sini ...?" Pertanyaannya amat lirih, menyayat hati Wendy yang masih terdiam membelakangi Yangyang dan mengepal kedua tangannya.
"Kalau sayang sama aku, jangan pergi sendiri, jangan berjuang sendiri .... Itu bukannya udah cukup ...?"
Anaknya memang pintar, Wendy tahu hal itu. Namun, dia tak tahu jika Haechan akan dibesarkan dengan hati lapang hingga dapat berucap seperti itu.
Masih dianggap oleh anak semata wayangnya adalah hal terindah yang pernah terjadi di dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katastrofe (JaemYang) ✔
Fanfiction[Warn! B×B] Pertemuan mereka kembali menghantui Yangyang. Melihat Jaemin yang sehat serta bahagia amat menyakitkan baginya, ini adalah bencana terburuk yang pernah menimpanya. Ingin sekali dia melawan ketakutannya, tetapi dia tak berhasil. Jaemin me...