07

155 18 1
                                    

Mungkin bukan saat ini.

Kaki mereka masih berlomba untuk cepat sampai ke titik terang yang dapat mereka raih.

Mungkin seharusnya saat itu, dia tidak pergi.

Debaran jantung tak beraturan, mengalahkan dentuman khas dari bom meledak di sekitarnya, mengalahkan suara jeritan menyuruh mereka kembali dan hendak menarik tali yang masih tersangkut di leher mereka.

Mungkin seharusnya, tangan Jaemin tak terlepas darinya.

Kedua mata Yangyang terbuka paksa saat kejaidan memilukan dan menyeramkan itu datang kembali menghampirinya. Jelas kaca di yang memantulkan refleksinya dengan untaian tali tambang di leher serta kedua lengannya tampak jelas, belum lagi pakaian yang compang-camping hitam itu terlihat jelas di matanya. Namun, saat dia memeriksa dengan sentuhan tangannya, itu tak terasa sama sekali.

Dia benci visualisasi yang sudah dia lewati sebelumnya kembali datang.

Langkah kakinya gemetar, sebisa mungkin dia kumpulkan seluruh tenaga di kepalan tangan yang hendak menghantam bayangannya sendiri di sana. Kepingan kaca yang terbelah semakin lama justru tercerai-berai, tertimpa cairan plasma merahnya yang masih menetes dari kulit tulang jemarinya yang terbuka.

Deru napas berantakan setiap kali dia melihat pecahan kaca itu tetap memantulkan bayangannya. Luka di kakinya yang menginjak setiap kepingan itu pun tak dia hiraukan sama sekali.

"Yangyang!"

Jika bukan Wendy yang menghentikannya, mungkin tubuhnya sudah tidak memiliki bentuk yang sama seperti sebelumnya.

~○○○~

"Kalau Yangyang minta kamu di sana, datang aja, ya?"

Bukan keinginannya untuk menyerang sang ibunda. Yangyang masih berada di kamar satunya sembari menekuk kedua kakinya, dipeluk dengan gelisah dan penuh penyesalan. Luka di tubuhnya tak terasa sakit seperti sebelumnya, kini dia penasaran bagaimana keadaan Wendy di sana.

Pintu terbuka menampakkan Renjun yang menyungging senyum, tepat saat senyum itu tampak tulus, hati Yangyang hancur dibuatnya. Dia tak pantas mendapatkannya, seharusnya segala lontaran caci makin tertuju untuknya saat ini, bukan ketulusan dari orang lain. Dia tak ingin menatap Renjun sama sekali, dibenamkannya wajah di antara lututnya.

"Yang---"

"Pergi," katanya memotong ucapan Renjun. "Tolong ... pergi ...."

"Yangyang, bunda nggak apa-apa." Renjun tetap masuk ke dalam, melangkah perlahan sembari menelan liurnya yang berkumpul di mulut sedari tadi. "Kata bunda, lo butuh apa? Biar dibantu. Udah enakan sekarang? Masih ada yang sakit?"

"Gue hampir ngebunuh bunda lo."

"Bunda kita. Bunda juga bunda lo, Yangyang. Lo nggak sendirian. Lo kehilangan kendali, nggak apa-apa. Buktinya, bunda baik sekarang, besok udah bisa pulang, kok."

Tetap saja, Renjun mendekatinya sembari mengusap pelan puncak kepala laki-laki itu. "Yangyang, kita keluarga. Walaupun baru beberapa tahun kita tinggal bareng, kita tetap keluarga. Gue saudara lo dan sebaliknya. Lo anak bunda, sama kayak gue. Nggak ada yang nyisihin lo."

"Tapi---"

"Shht, nggak ada tapi-tapian," selanya cepat, "gue sayang sama lo, bunda pun sama. Lo nggak ngelukain bunda, lo bisa pelan-pelan membaik suatu saat nanti. Percaya sama gue, ya?"

Yangyang sadar jika Renjun mendekapnya hangat, mengusap pelan punggungnya dengan senyum manis yang tak dapat matanya lihat. Yangyang mengembuskan napasnya pelan, tetap merasa bersalah meski ucapan Renjun amat menyentuhnya, dia tetap tak sanggup menampakkan diri amat lama di hadapan keluarga barunya saat ini.

Atau mungkin dia perlu mengambil keputusan yang selama ini dia hindari?

Perlukah?

Berengsek banget, Liu Yangyang.

~○○○~

You
Minta kontak Jaemin. Nggak pake lama.

Pesan itu terkirim begitu saja saat dia sedang sendirian di ruangan putih penuh dengan aroma kesehatan yang memanjakan hidungnya. Ciri khas rumah sakit.

Matanya mengerjap saat melihat yang dia kirimi pesan justru datang dengan membawa keranjang berisikan beraneka ragam buah di dalamnya. Yangyang menyungging senyum saat dia duduk dan meletakkan keranjang itu di atas nakas.

"Chat lo masuk tadi, cuma nggak gue balas. Buat apa emangnya?"

"Buat balikan."

Mata pemuda itu mengerjap heran. "Kalau Jaemin yang minta dan bilang mau balikan, gue pasti kasih. Kalau lo, kayaknya nggak."

"Seberengsek itu gue di mata lo?" Yangyang menaikkan kedua alisnya.

"Sejujurnya, iya. Jaemin masih sayang sama lo, sayang banget. Lo seenaknya campakin dia dan berakhir kayak gini. Gue emang nggak tahu jelas hubungan kalian dulu gimana, tapi karena gue kenal Jaemin sebaik apa, gue nggak bisa seenaknya kasih kontak dia ke lo---"

"Gue buat lo sama Renjun deket."

"Oke! Deal!"

Mudah sekali memancing Haechan memberikan nomor yang dia butuhkan. Hanya dengan perkataan seperti itu, dia sudah mengirimkan kontak Jaemin pada Yangyang yang kini girang dalam hati.

"Cuma, jangan sampai lo sakitin dia lagi, ya. Gue siap pasang badan kalau lo nyakitin dia lagi."

"Tenang," katanya sembari menepuk pelan pundak Haechan. "Gue nggak akan ulang kesalahan gue di masa lalu."

Haechan tahu keberengsekan apa yang ada di otak Yangyang saat ini, tetapi dia juga tahu jika Jaemin membutuhkan laki-laki ini. Lantas, apa yang harus membuatnya mengurung niat agar menghambat mereka berdua menyelesaikan masalah ini?

Bukan perihal perasaan saja, tetapi masa lalu yang membuat mereka bertemu dan saling jatuh hati. Sejatinya, Haechan mengerti perasaan dan semua yang mengganggu keduanya, bahkan alasan Yangyang mengambil keputusan untuk mencampakkan Jaemin begitu saja hingga membuat perasaan laki-laki itu semakin terluka.

Namun, dia tidak pernah mengerti mengapa bisa hal tersebut justru mengganggu Yangyang pula hingga saat ini. Jaemin terus mengeluh dan meminta agar Yangyang bisa kembali padanya---sudah cukup lama Jaemin menceritakan hal ini pada Haechan---dan menerima kembali uluran tangannya pada saat itu.

Rasa bersalah berkali lipat itu tak pernah memiliki akhir dari kehidupan mereka. Yangyang ingin kembali bicara dengan Jaemin meski itu cukup mengganggunya, tetapi Jaemin yang juga merasa sama pun ingin mencari cara lain agar dapat mendekatinya kembali. Hal ini rumit, amat rumit untuk dipikirkan dan tidak ditindaklanjuti.

"Chan, kalau semisal Jaemin ternyata mikir yang sama kayak gue, gimana?"

Pertanyaan itu memang tengah bersarang di kepalanya, lantas Haechan menggeleng pelan sebab tak mengerti dengan baik jalan pikiran kedua temannya ini. "Mungkin dia bakal cari cara lain, kayak minta langsung kontak lo, atau ngomong langsung kalau dia siap. Jaemin nggak mau ngerepotin orang kalau masalah begini."

"Kira-kira, kakaknya Jaemin mau nerima gue lagi nggak, ya ...?"

Kedua tangannya terkepal erat meski tengah diperban hingga mendekati siku. Haechan menepuknya perlahan, menyungging senyum untuk menenangkan. Dia tahu hal ini amat menyakitkan bagi Yangyang pula, tetapi dia tak mengerti apa yang akan terjadi nantinya.

"Kalau emang nggak nerima, Jaemin pasti nyuruh lo buat tetap berdiri di sana, kan? Sama kayak dulu, dia nggak mau ngelepasin lo."

Banyak yang Haechan ketahui, tetapi tidak ingin dia singgung hingga mereka berdua mau membicarakan hal ini dan menyelesaikannya bersama.

"Gue yakin, suatu saat kalian bakal balik. Pertemuan kalian emang karena bencana, tapi hubungan kalian bukan bencana."

Katastrofe itu selalu menghantui pikiran Yangyang hingga keputusan impulsifnya mengambil gerakan yang tidak manusiawi. Alhasil laki-laki itu mengangguk pelan, dia percaya dengan apa yang Haechan katakan padanya.

"Pelan-pelan, ya?"

"Iya. Makasih, Chan."

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang