Wendy mengenalnya sedari dulu, saat gangguan otak yang membuahkan paranoid amat dalam sehingga disentuh pun dia tak bisa. Namun, Jaemin berbeda, meski kakinya sempat terluka dan tak bisa berjalan selama beberapa bulan lamanya, sempat terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan waktu yang cukup lama, dia masih bisa mengolah pikirannya dengan baik.
Kekhawatirannya mengenai psikis anak itu amat besar, sehingga sering kali dia menawarkan diri kepada kedua orang tua anak itu untuk tetap membantu dengan menata perlahan agar Yangyang sendiri dapat membuka diri serta dapat merasa lebih baik dibandingkan dengan semua ketakutannya yang terus memberantas kemurnian hatinya. Akan tetapi, hal buruk yang terus terjadi membuat Wendy berpikir, dia harus mengawasinya dengan baik di setiap harinya, jika saja dia berkedip sekali saja, mungkin perkiraannya mengenai hal menyeramkan itu akan terjadi.
Buktinya, saat ini pun Yangyang terdorong dan kalah dari bisikan isi kepalanya. Tak sekali atau dua kali dia berhasil melukai orang lain karena tak bisa membedakan kenyataan atau bukan. Efek samping dari halusinasi ini terlalu menamparnya hingga dia tak dapat tidur nyenyak setiap malam, bahkan saat dia sedang melihat cermin, atau sedang terdiam dan merasa disentuh tanpa ada siapa pun di sebelahnya. Hal mengejutkan yang tak pernah dia pikir akan semakin menjadi kala anak itu menginjak dewasa.
"Berarti, emang seharusnya ... pisah?"
Pertanyaan yang terlontar dari mulut Jaemin waktu itu membuat Wendy bergeming, tak lama dia mengangguk pelan dan membiarkan kesedihan di wajah laki-laki itu semakin tampak. Matanya tak dapat berbohong, dia yang terlalu menyayangi Yangyang pun tak kuasa melihat mantan kekasihnya terluka lebih dalam lagi.
Mau tak mau, dia mengangguk paham, menahan hati yang memohon agar mereka tak terpisah sama sekali. Jaemin pikir, dia bisa merelakan Yangyang meski mereka akan bertemu terus-menerus, tetapi ketakutannya semakin membesar, tak kalah dengan rasa bersalahnya karena dia merasa gagal menjaga kekasihnya sendiri. Hal yang tak pernah dia perkirakan jika Yangyang akan membencinya amat dalam hingga enggan melihat atau menunjukkan tatapan agar dia tak mendekat sama sekali. Sungguh, itu melukainya amat dalam.
"Gue masih sayang sama lo, sampai sekarang." Jaemin mencekal tangannya, tak ada percakapan lanjutan setelahnya. Bahkan, sedari tadi pun Yangyang tak bisa berbalik untuk menatapnya.
Usai perbincangan dalam dengan Wendy, dia memutuskan untuk pergi ke luar sendirian, mengambil waktu untuk membiarkan angin membawa pergi kecemasan berkepanjangan yang semakin mengganggunya saat ingin tertidur nanti. Dia tak tahu isi otaknya saat ini akan semakin membuatnya tertampar, perdebatan tiada akhir yang terus mengganggu, belum lagi sosok yang terus dia hindari kembali datang kepadanya.
Yangyang tak tahu jika Jaemin terdiam usai perkataannya kala itu adalah tanda terkejut dan heran di satu waktu. Dia terus menunjukkan dirinya kuat, tetapi dia termakan dengan visualisasi yang dipenuhi kebohongan. Kala itu, Jaemin semakin mengerti apa yang Yangyang rasakan bukanlah sisi yang mudah dimengerti orang lain. Dia merasa semakin terkucilkan dan mengabaikan perasaannya karena dianggap masalahnya adalah masalah biasa. Trauma yang tak sebesar yang Jaemin hadapi, atau bahkan murka yang tak sebesar dirinya pula.
Mungkin, suatu saat dia bisa melawannya, tetapi Jaemin tahu jika Yangyang tak dapat berjuang sendirian. Hanya karena ditendang dan dicampakkan begitu saja, bukan menjadi alasan dia harus pergi dan berusaha menata hatinya, tetapi dia harus menata pikiran agar dapat membuat laki-laki itu merasa lebih baik dan dijaga oleh siapa pun di sebelahnya.
"Gue antar balik, ya?" tanya Jaemin meskipun dia tak mendapat jawaban sedari tadi. "Yangyang, gue nggak akan maksa lo buat balas omongan gue, sama sekali nggak akan. Cuma, biarin gue antar lo pulang sekarang, ya? Udah malam banget. Kita juga udah lama nggak jalan bareng, kan? Anggap aja kita bukan apa-apa. Anggap aja ini cuma kebetulan belaka, ya? Boleh, kan? Sekali aja, Yang."
Permintaan itu dihadiahi anggukan pelan bersama dengan punggung laki-laki itu yang semakin gemetar. Jaemin tersenyum kecil sewaktu merasa Yangyang lebih dulu menggenggam tangannya, amat erat kala sela jemari mereka saling terisi.
"Jangan lihat muka gue," kata Yangyang yang kini mengundang tawa Jaemin. "Jangan ketawa!"
"Iya, iya. Lo nggak berubah sama sekali, ya."
Bagaimana bisa Jaemin yakin perasaannya akan berubah dengan mudah kala sosok di hadapannya justru semakin menggemaskan setiap detiknya? Menahan diri untuk tidak memeluknya pun sudah amat sulit dilakukan, bagaimana dengan larangan agar mereka tak bertemu sementara atau selamanya? Menurut Jaemin, itu adalah pembunuhan secara perlahan. Dia tidak bisa menerimanya.
Kaki mereka tak selaras, pijakan yang amat kasar di tengah heningnya malam. Seperti biasa, pakaian yang lebih besar di tubuh Yangyang itu semakin membuat laki-laki itu tampak lebih kecil dari biasanya, Jaemin yakin jika dia juga muat di dalam sana. Namun, dia menggeleng cepat dan mengundang atensi Yangyang yang tadi melarang untuk menatapnya.
"Kenapa?" Yangyang bertanya lebih dulu. "Kedinginan? Mau pakai jaket gue? Atau, lo pulang aja, gue juga bisa pulang sendiri, kok."
"Nggak, nggak apa-apa."
"Nggak apa-apa gimana?"
Jaemin menoleh, membalas tatapan Yangyang yang kini berhenti berjalan. "Jawab, Jaemin. Nggak apa-apa gimana?"
"Iya ... nggak apa-apa. Gue cuma gemas sendiri karena lihat lo pakai jaket kebesaran, lucu banget. Gue nggak kedinginan atau apa pun itu. Gue cuma suka lihat lo begini."
"Hah? Lo gila, ya?"
Di bawah cahaya lampu dan rembulan, Jaemin tak tahu jika wajah Yangyang amat memanas hingga memerah. Jaemin hanya tertawa, di tengah genggaman mereka yang tak terlepas sama sekali.
"Lo nanya, kan? Gue jawab. Salahnya di mana, sih?"
"Pikiran lo!"
"Oh, malu? Betulan nggak berubah, ya."
Jaemik terbahak saat Yangyang mengerucutkan bibirnya, komat-kamit tidak jelas dengan menarik tangan laki-laki itu untuk melanjutkan perjalanan mereka. Ada yang tak bisa ditinggalkan olehnya sedari dulu, hingga kini pun Yangyang tahu Jaemin mengenalnya lebih dari siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Hal itu terus membuat Yangyang kebingungan untuk mengelabuhi pikiran laki-laki itu setiap harinya. Meskipun itu tak terlalu berguna, tetap saja dia merasa hal ini harus dia cari tahu supaya Jaemin tak perlu khawatir dengannya.
Andaikan saja Yangyang tahu jika Wendy mengirimkan pesan pada Jaemin untuk memberitahu anaknya pergi saat ini dan meminta agar mereka bertemu. Karena hanya Jaemin yang tahu ke mana Yangyang pergi setiap kali dia tak sanggup menerima fakta yang selalu disangkal oleh berisiknya isi kepala laki-laki itu.
Hingga tangan mereka yang semakin mengerat pun, Yangyang tak mengerti mengapa rasa amannya selalu tertuju kepada mantan kekasih.
Gue juga masih sayang sama lo ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Katastrofe (JaemYang) ✔
Fanfiction[Warn! B×B] Pertemuan mereka kembali menghantui Yangyang. Melihat Jaemin yang sehat serta bahagia amat menyakitkan baginya, ini adalah bencana terburuk yang pernah menimpanya. Ingin sekali dia melawan ketakutannya, tetapi dia tak berhasil. Jaemin me...