11

120 16 0
                                    

"Aku bakal jaga kamu. Kita pasti keluar dari sini. Aku kemarin ketemu jalan keluar." Dia menggenggam anak itu, amat erat, tak peduli dengan banyaknya luka yang terdapat di tubuh mereka. "Jangan lepas tangan aku, ya? Kita bisa. Kita pasti bisa."

Kita pasti bisa, itu katanya.

Kata terakhir yang Yangyang ingat sebelum dia justru melepas tangan Jaemin saat mereka hendak keluar dari rumah tua di tengah hutan dan dipenuhi bau anyir itu. Terdiam diri saat dia tertangkap, sungguh itu adalah hal bodoh yang kerap membuatnya ketakutan kembali.

Gelapnya langit tak menunjukkan tanda hendak turun hujan. Ini masih terlalu siang, tepat pukul satu siang dengan biasanya matahari amat terik dan menyuruh peluh membasahi beberapa---bahkan seluruh bagian tubuhnya. Yangyang menengadah, masih terduduk di tangga tempat keluar dan masuknya mahasiswa sebelum ke gedung fakultas, sedikit mengernyit heran sebab ingatannya tak kunjung lepas.

Andaikan saat itu dia tidak lemah dan bisa berpikir seperti ini, mungkin keduanya akan baik-baik saja. Bahkan hubungan yang sempat mereka jalani pun akan semakin mengerat. Keindahan pasti tidak akan ada duanya.

"Tolong jauhin Jaemin."

"Halah, ribet banget," cibirnya pada diri sendiri sembari memainkan ponselnya.

"Yangyang ...."

Pandangan laki-laki itu terangkat kembali, mendapati Jaemin yang baru saja lewat pikirannya datang dengan mengatur napasnya. Kedua alisnya naik begitu saja, tak ingin berbasa-basi lebih lama dengan laki-laki yang lebih tua darinya.

"Jangan pergi."

"Gue nggak ke mana-mana," katanya tak acuh.

"Nggak, bukan. Jangan pergi ke sana. Jangan."

Dia termenung mendengarnya, sontak kakinya mendapat perintah untuk berdiri, mendekati Jaemin yang masih berdiri di dekatnya. Tinggi yang memiliki sedikit selisih itu tak membuat Yangyang harus mengangkat dagunya demi menatap Jaemin, tetapi dagu itu terangkat amat angkuh, ada senyum dengan sudut bibir kiri yang mendominasi.

Melihat bagaimana Yangyang menatapnya sebelum berbicara membuat Jaemin tersadar jika mereka sudah terlampau jauh. Entah apa yang Yangyang lakukan demi mengobati lukanya, mungkin amat bertolak belakang dengannya, tetapi mungkin pun ini hanya geretakan yang diberi agar dia memilih mundur.

"Lo pikir, gue bakal mundur? Nggak. Sama sekali."

"Kenapa? Lo jauhin gue," katanya tanpa berpikir dua kali. "Lo jauhin gue secara mendadak, lo mutusin gue sepihak, dan sekarang lo justru berlagak mau ngelakuin hal yang emang mau lo jauhin dari dulu." Napasnya memburu, senyum di wajah Yangyang tampak semakin memudar. "Yangyang, kalau lo benci sama gue, jangan sakitin diri lo. Lo bisa pergi jauh dari gue, gue akan hilang dari hidup lo. Tapi ... tapi, suatu saat lo butuh gue, gue ada di sini, dan selalu tetap di sini."

Menjadi saudara tidak resmi, menjadi kekasih dengan alasan putus tidak masuk akal, berapa banyak hal yang Yangyang lakukan hanya untuk menyakitinya? Alasan egois yang keluar dari mulutnya, tak pernah berpikir jernih, bahkan tak bisa mengalihkan halusinasi visualnya setiap kali dia kewalahan. Yangyang mengembuskan napasnya pelan, amat panjang, amat berat dengan segala keputusan yang kembali bimbang.

Dia tak berkata apa pun, kemudian melangkah menjauhi Jaemin yang masih diam di tempat. Semakin tak terdengar derap langkah Yangyang di dekatnya, semakin sadar jika dia telah gagal menahan laki-laki itu agar tidak pergi dan melakukan hal yang justru akan menyakitinya di suatu saat nanti. Ini menyakitkan, dia tahu jika Yangyang berada di dalam bahaya, tetapi ketakutannya tak kalah besar untuk mengejarnya kembali.

Lo nggak berguna, Jaemin!

~○○○~

"Dulu, gue sama Jaemin itu saudara. Kita diangkat sama orang yang nolong kita dan ngelaporin ke pihak berwajib masalah penculikan yang marak terjadi. Iya, penculikan dua belas tahun lalu."

Renjun duduk di sebelahnya, mendengarkan semua cerita Yangyang yang tak pernah dia ketahui. Memandangi langit malam dari balkon kamarnya yang amat dingin. Angin malam tak berhenti mengusir mereka secara halus, menusuk kulit dan tulang mereka agar berpindah masuk ke dalam kemudian menutup pintu. Renjun merasa jika Yangyang yang kini menyilangkan kakinya sembari bersandar tak akan bisa dia lihat lagi nantinya.

"Selama tujuh tahun ... gue sama Jaemin tinggal satu rumah, waktu kita SMA gue sadar kalau gue punya perasaan lebih sama dia, dan dia sama, akhirnya kita malah punya hubungan." Kini, kedua kakinya naik, didekapnya erat saat lutut dia tekuk agar dapat membenamkan wajahnya. "Gue minta putus, karena gue merasa dia bakal makin kenapa-kenapa kalau sama gue. Kayak, lo bayangin, kita berdua lari bareng dari penculikan itu, tapi ... dia ketangkap lagi, dan gue balik buat nolong dia, tapi berakhir begini. Gue berengsek banget, Jun. Gue sadar waktu Kak Xiaojun datang dan ngomong sama gue."

Sontak, dahi Renjun tercetak jelas kernyitan di sana. Xiaojun?

"Pas gue mutusin buat pisah, nyokap lo emang udah omongin bakal ambil gue dan gue bakal pisah sama semuanya. Sampai di sana, nggak masalah. Tapi ... gue dapat kabar kalau Jaemin justru nggak bisa kendaliin dirinya, dia keingat banyak hal. Setiap dia konsultasi, Kak Xiaojun selalu bilang kalau dia nggak baik, sama sekali nggak baik, semua pertanyaan yang dikasih nggak pernah dijawab jelas, dia nggak pernah ngerasa bahagia.

"Cuma, waktu gue lihat dia ketawa sama orang lain, rasanya sakit. Apa gue masih sayang sama dia? Gue nggak ngerti. Gue nggak suka lihat dia bahagia atau senyum ke orang lain. Gue nggak suka ...."

Renjun merasa jika Yangyang menarik maupun membuang napas amat panjang sebelum kembali melanjutkan, "Gue cuma mau itu buat gue. Egois emang. Tapi, cuma itu yang gue rasa waktu lihat dia bahagia."

Pilihannya menjadi orang yang tidak tahu diri, mengatakan putus tanpa alasan jelas dan masuk akal, menghilang begitu saja setelah mengatakan jika setiap malam pasti dia selalu ada untuk Jaemin, kini dia pula yang merasa tersakiti karena laki-laki itu tampak bahagia. Dia tidak membenci Jaemin, jauh di lubuk hatinya yang kini semakin dia pahami. Hanya saja, rasa menjanggal ini semakin menjadi, membuahkan gelisah tiada akhir baginya.

Terutama saat meminta nomor ponsel kepada Haechan pasca kejadian dia memasuki rumah sakit dan mendapatkan perawatan intensif beberapa hari. Yangyang sadar, keinginannya mendapat nomor ponsel Jaemin bukan hanya keinginan dari titahan otaknya karena dia ingin kembali, tetapi dia ingin memastikan hatinya saat mendapat pesan dari nomor yang dia dapatkan.

Perasaan itu tetap sama, tidak berubah sedari dulu. Jutaan kupu-kupu terus menggelitiknya, membuahkan sengatan kecil hingga degupan jantungnya berantakan. Yangyang menyadarinya, dia tidak tahu mengapa perasaannya justru mengarah ke ranah yang telah dia lewati dulu. Dia merasa harus melakukannya, dia merasa harus mengungkapnya dan melihat dengan kedua matanya sendiri jika keadilan ada untuk mereka.

Namun, cerita malam ini justru membuatnya semakin berpikir.

Apalah dia dapat melakukannya? Dia tidak yakin.

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang