22

78 11 6
                                    

... and the stories is mine.

Yangyang mematikan pemutar musik dari ponselnya, kemudian melepaskan penyumbat telinga yang mengantarkan lagu untuk menenangkan pikiran tadi. Benda pipih yang biasa dia gulir untuk membaca di portal laman berta atau bertukar pesan pun dia letakkan di atas meja, tepat di atas buku tebal yang digunakannya untuk mencari beberapa referensi terhadap tugasnya saat ini. Dia bersyukur kepalanya berdenyut, hingga dia dapat menahan diri untuk tak menyiksa tubuh lebih lama dari ini.

Akan tetapi, layar gelap itu mengeluarkan cahaya. Yangyang yang tadinya hendak merebahkan diri di atas karsur sembari melupakan ponselnya pun mengurung diri. Jemari tangan kanannya berusaha meraih benda yang amat bergantung pada sinyal di sekitarnya. Sewaktu dia mendapatkan apa yang dia inginkan, mata setengah terbukanya kembali segar karena melihat nama dari bar notifikasi yang tertera di ponselnya. Cepat-cepat dia membuka pesan tersebut tanpa berpikir dua kali. Yangyang tak menyadarinya jika sudut bibirnya terangkat.

Akan tetapi, senyumnya luntur saat melihat foto yang terkirim justru melukai hatinya. Yangyang kembali mengembuskan napasnya pelan, meletakkan ponselnya dalam mode mati total sehingga dia tak perlu takut ada yang mengganggu tidur lelapnya saat ini.

Pesan singkat berupa foto mengenai sosok yang dia cari sedari tadi telah dikirimkan, tetapi dia tak tahu jika hal buruk memang akan terjadi dan tak berdampak padanya. Hendaknya dia memang beristirahat, abai dengan apa yang telah dia ketahui, sayangnya dia tidak bisa melakukan itu. Perintah otaknya untuk mengambil jaket dan meninggalkan ponsel adalah hal terbaik di tengah malam seperti ini. Mematikan lampu kamar, menyembunyikan ponsel di laci, bersama dengan laptop yang tertutup rapi, tak perlu meninggalkan pesan apa pun mengenai kepergiannya. Yangyang merasa ini amat sempurna.

Degupan jantungnya terdengar berantakan dan amat kencang. Tangannya meremas bahian pakaiannya sendiri, tepat di depan dada dan detakan jantung berisiknya itu. Seharusnya dia masih bisa mencari alternatif untuk pergi ke tempat yang Jeno kirimkan padanya, tempat di mana Haechan berada tanpa suara. Laki-laki itu senang sekali membuat Yangyang terkejut dengan rentetan keputusan yang di luar nalarnya saat ini. Jika terus begini, dia yakin jika dia akan gila.

Derap langkahnya tipis, bersama dengan embusan napas yang diminimalisir supaya tak ada satu pun penghuni rumah yang terbangun dari tidur mereka. Yangyang berhasil memutar genggaman pintu dengan suara minim, tak lupa menguncinya kembali dari luar, kemudian memasukkan kunci dari lubang ventilasi yang ada di atas pintu keluar. Napasnya terembus lega, kemudian kedua kakinya mulai melangkah seperti biasa, tepat saat dia membuka pagar hitam yang membatasi rumah dengan halaman luar.

"Betul ternyata."

Mata Yangyang berkedip, entah berapa kali pun dia tak menghitungnya. Jaemin masih berdiri di motor kesayangannya, lengkap dengan helm yang kini masih bertengger di kepalanya, tak lupa satu benda yang sama di tangannya.

"Kayaknya, lo juga dapat kabarnya, ya?"

"Dari Jeno? Iya. Ayo. Lo mau pergi sekarang?"

"Iya."

Pada akhirnya, dia menerima helm hitam yang Jaemin berikan. Detakan jantungnya yang berantakan pun membuat Jaemin terdiam sejenak, dilihatnya kedua tangan Yangyang yang gemetar hingga dia gagal mengunci helm itu berulang kali. Lalu, dia menarik pinggang Yangyang supaya mendekat dan dapat membantunya dengan mudah.

"Gue di sini, Yangyang. Gue di sini." Jaemin menyungging senyum manis ke laki-laki di hadapannya. "Lo pasti aman. Kalau ada apa-apa, langsung genggam tangan gue, ya?"

Yangyang mengangguk pelan, tetapi senyum Jaemin tak terbalas sama sekali.

~○○○~

"Perjalanan bodoh apa yang ujungnya malah diintilin, nepi di perbatasan, belum berani masuk ke hutan. Lo juga, ini urusan ayah lo yang emang polisi, bukan urusan lo," kata Haechan sembari melirik ke arah Jeno, tangannya masih bersedekap dada tanpa peduli dengan senyum manis di wajah tegas laki-laki di sebelahnya.

"Lo ke sini karena apa emangnya?" Jeno menoleh, memancing pembicaraan lebih dalam agar Haechan bisa bicara mengenai tujuan serta rancangan apa yang ada di kepalanya.

Karena sesungguhnya, Jeno tak tahu apa kaitannya antara Haechan dan penculik bodoh yang termakan gosip belaka dengan teori tak masuk akal ini. Jelas dia mengetahui jika Jaemin dan Yangyang adalah dua anak yang selamat seperti yang dilaporkan hingga bagaimana perkembangan mentalnya pun selalu dipertanyakan oleh pihak berwajib, terutama saat mengetahui kedua orang tuanya tidak memiliki kabar apa pun.

Namun, sosok Haechan yang kini duduk di sebelahnya, menyilangkan kaki dan tangan sembari bersandar, tak peduli dengan dua kaleng kopi yang sudah kosong darinya yang membeli di kedai terdekat, justru ikut campur masalah ini tanpa membicarakan apa pun. Dia terlalu seenaknya, Jeno tidak yakin jika hanya ada satu atau dua fakta yang dia ketahui. Lantas, saat itu pula dia berpikir untuk memberi kabar kepada Jaemin, mengatakan bahwa Haechan ada bersamanya disertai dengan lokasi di mana mereka berada saat ini.

Ada dengkusan yang tertangkap basah oleh gendang telinga Jeno, menggema di dalam sehingga otaknya mendapat rangsangan untuk memerintah pergerakan Jeno supaya lebih intens memperhatikan temannya ini. Dia tahu jika Haechan menoleh dan tersenyum tanpa alasan jelas, tanpa kebohongan di netra jernihnya yang tampak berkaca, seolah mengulas kenangan pada diri sendiri agar menguatkannya.

"Banyak hal yang nggak diketahui banyak orang, dan gue selalu tutup mulut meski gue tahu mereka salah," katanya usai berkompromi dengan diri sendiri dan mengingat satu per satu hasil selidik ingatan lebih dalam. "Jaemin ... Yangyang ... begitu karena salah gue. Kesannya, gue orang yang bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa di cerita hidup mereka. Apa, sih, namanya? Peran figuran? Cuma sekadar itu."

"Tunggu, tunggu, maksudnya?"

Akan tetapi, Jeno tak mengerti sedikit pun mengenai apa yang Haechan lontarkan tadi, dia mengernyit amat dalam, berusaha menyatukan kedua alis yang terbentang di atas penglihatannya. Otaknya terus bekerja keras, memutar dan memikirkan kata-kata menjanggal yang Haechan katakan sebagai penjelasan tadi. Meskipun pada akhirnya dia tak menemukan apa pun dan disahuti tawa pelan oleh laki-laki di sebelahnya.

"Jaemin sama Yangyang itu bukan anak yang dibuang atau anak yang kebetulan ditemuin di sana. Mereka emang nggak saling kenal, tapi ... sebetulnya nggak begitu, Jen, gue mau meluruskan semuanya dan bilang kalau semua ini bukan hal yang benar."

Lagi, Jeno semakin bingung. Apa yang benar dan apa yang salah, dia tak mengerti sama sekali. Meskipun Haechan menjelaskan dengan emosi yang membakar matanya hingga berair di malam hari yang udaranya menusuk tulang mereka.

"Persembahan," katanya hampir bergumam. "Anak-anak di bawah dua belas tahun yang kekumpul di sana itu anak yang dijual dengan hasil yang besar, dan ... mereka emang mau dibunuh buat persembahan buat memuja ... yang seharusnya nggak dilakuin ...."

Haechan menarik napasnya amat panjang, kemudian mengembuskannya perlahan untuk menenangkan diri.

"Nyokap gue ada di balik masalah ini."

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang