09

135 17 0
                                    

Ini yang Yangyang benci.

Bagaimana Jaemin bicara dengannya bahkan mengatakan hal manis itu tak pernah berubah. Dia memang bicara jujur, tetapi bagi Yangyang itu kelewat manis hingga debaran jantungnya tidak bisa bertingkah layaknya jantung normal pada umumnya. Hal yang terus menghantuinya di malam hari memang hanya perkataan Jaemin, terngiang sepanjang malam sesampai tidurnya amat pulas.

Sedari dulu, mereka seperti itu.

Bicara lewat ponsel hingga salah satu di antara mereka tertidur, bahkan tertawa bersama dan tidur di satu tempat, entah di tempat Jaemin atau tempatnya. Dia ingin semua kenangan itu kembali, memperbaharui setiap detiknya dengan kenangan baru yang tak pernah dia bayangkan keindahannya. Namun, Yangyang tak ingin menyakiti Jaemin lebih dari yang dia lakukan sebelumnya.

"Dia sering takut kalau lihat lo, Yangyang."

Katakanlah ucapan itu tak dia dengar langsung dari Jaemin, tetap saja hatinya terluka dan itu merupakan fakta yang valid. Rasa cintanya memang besar, tetapi dia membawa pengaruh buruk dan membuat Jaemin semakin tidak bisa lepas dari masa lalunya. Satu-satunya cara memang lebih baik memutus ikatan mereka berdua, lalu pergi begitu saja, menjadi manusia paling berengsek yang pernah Jaemin kenal sehingga tak perlu ada penyesalan bagi satu di antara mereka mengenai usainya hubungan ini.

Sayangnya, Jaemin semakin terluka, memintanya untuk kembali meski banyak cara yang Yangyang lakukan untuk mengusirnya. Bahkan, semua perkataan tajam Yangyang masih Jaemin yakini sebagai pengalihan yang memang benar adanya. Berjuta-juta kali Yangyang mengatakan jika dia membenci Jaemin, tetapi laki-laki yang lebih tua itu tidak peduli sama sekali dan tetap yakin jika Yangyang masih mencintainya.

Bodoh. Jaemin itu bodoh.

Love is blind, itu yang semua orang katakan. Yangyang terus mengatakan dia benci melihat Jaemin bahagia, tetapi dia tidak melanjutkan kalimat di dalam hatinya. Dia benci melihat Jaemin bahagia tanpanya. Dia masih dan selalu ingin menggenggam tangan itu.

Tangan yang dia lepas kedua kalinya.

Tangan yang membuatnya ketakutan saat kejadian di masa lalu.

Tangan yang hangat menemaninya di setiap deruan napas.

Sialnya, semua itu terlalu indah untuk dikenang hingga perasaannya kembali terluka.

"Kalau emang niat lo jahat, tolong jauhin adek gue."

Dia sudah bukan bagian dari keluarga itu.

Xiaojun mengembuskan napasnya pelan, masih menatap Yangyang yang kini tampak tak bersahabat dengannya. Tatapan lurus itu tak terbalas, Yangyang sibuk memilin jemarinya sendiri, merasa tak enak hati tetapi harus melakukannya dalam diam.

Dia terus berpikir, bagaimana caranya?

"Jaemin berhak dapat yang lebih baik, Yangyang. Lo cuma bakal mancing trauma masa lalu dia kalau lo begini," Xiaojun kembali angkat bicara, tak peduli jika dia melukai hati Yangyang saat ini, "Jaemin selalu berusaha lepas dari semuanya, nerima diri, lewatin traumanya, mimpi setiap malam, atau bahkan halusinasinya yang nambah parah. Gue nggak terlalu paham sama tujuan lo dekati dia lagi, tapi tolong ... tolong jauhin dia ...."

Dia tahu, hatinya terluka, tetapi dia tak bisa mengelak dan memikirkan apa yang Xiaojun katakan tadi. Yangyang hanya mengangguk untuk menyudahi percakapan ini. Membiarkan Xiaojun pergi dari kafe tempat mereka tak sengaja bertemu adalah hal yang paling benar saat ini.

Yangyang menyandarkan punggungnya, sedikit mengangkat kepala untuk memeriksa apakah Xiaojun sudah jauh atau belum darinya. Dia tersenyum kecut karena mengingat banyaknya hal bodoh yang sudah lewat dan tetap dia lanjutkan.

Tangannya kembali mengambil ponsel. Keputusan impulsif ini memang seharusnya dia pikirkan kembali, tetapi Yangyang tidak memiliki waktu.

You
Gue bantu lo.

~○○○~

"Perasaan kamu setelah bangun, gimana?"

"Senang."

"Senang? Bagus, dong? Ada apa? Jaemin mau cerita?"

Jaemin tampak menimbang, dia melirik sejenak ke arah Hendery yang sedang menemaninya konsultasi hari ini. Karena berbagai hal, dia justru menggeleng lemah. Hal itu membuat Hendery yang di sana ikut kebingungan, dia ingin memaklumi, tetapi dia juga penasaran dengan hal tersebut.

Mimpi apa yang semalam ada di pikiran Jaemin hingga membuatnya bahagia dan tak ingin membagikannya?

Tentu saja Hendery amat terganggu selama perjalanan pulang, bahkan laki-laki itu tidak ada menoleh ke jendela saat ini, menatap lurus ke depan sembari memegang ponselnya. Wajah berseri itu cukup mengganggu setelah beberapa tahun lamanya. Dia sempat berpikir hal buruk terjadi meski Jaemin tidak menyadarinya, tetapi Xiaojun seharusnya selalu mencegah hal itu.

Kini, keduanya hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing yang membuahkan beban. Jaemin merasa keputusannya untuk tidak menceritakan hal ini merupakan keputusan paling tepat, tetapi di sisi lain dia merasa sedikit bersalah. Semua yang seharusnya dia ceritakan itu tak ingin dia keluarkan, biarkan baginya masa bahagia itu untuk diri sendiri, bukan disebarluaskan pada orang lain.

Belum lagi, jika dia tak sengaja menyebut nama Yangyang, mungkin Hendery akan marah besar padanya.

"Kak," panggil Jaemin lebih dulu. "Kalau misalnya ... Kakak harus balik ke masa lalu demi bahagia, Kakak bakal lakuin?"

Hendery sedikit mengerutkan dahinya. Dia tidak bodoh, dia tahu ke mana arah percakapan ini hingga dia perlu mematahkannya. "Nggak."

"Kenapa?"

"Kalau dia jadi masa lalu, berarti itu nggak akan buat pengaruh yang lebih baik di masa depan. Di masa depan pasti ada yang lebih baik, jadi kenapa harus balik ke masa lalu dan ngerasain semua luka yang sama buat kedua kalinya?"

Pertanyaan yang menjadi pernyataan itu membuat Jaemin termenung lagi dengan keputusannya saat ini. Perkataan Hendery memang ada benarnya, tetapi dia tidak pernah menemukan kebahagiaannya lebih dari bertemu dengan Yangyang, dan itu juga menyakitinya.

"Yangyang, ya?" terka Hendery pada akhirnya. "Kalau emang iya, apa Yangyang juga ngerasa hal yang sama kayak lo? Atau justru dia bakal mengulang kejadian yang sama? Nyakitin lo---"

"Dia nggak nyakitin," sela Jaemin cepat hingga Hendery kembali terbungkam.

"Lalu, apa?"

"Dia juga sakit. Dia juga ngerasa hal yang sama. Dia juga tahu rasanya ditarik paksa dan lihat teman-temannya mati di depan dia. Bukan cuma aku yang ngerasa begitu, Yangyang juga. Dia nutupin dan nggak pernah bilang. Dia juga suka mimpi buruk."

Jaemin amat yakin dengan ucapannya, Hendery tetap tidak terima meski dia juga melihat langsung fakta itu.

Sewaktu Jaemin menguatkan genggamannya pada ponsel, napasnya tersengal, dia tak sanggup mengatakan kelanjutan yang bisa membuat Hendery semakin terdiam. Dia lebih mengenal Yangyang dibanding siapa pun, dia amat yakin.

"Dia kuat," kata Jaemin lagi dan membawa lirikan di ekor mata Hendery sempat tertuju ke arahnya. "Dia orang paling kuat, dia selalu berhasil nutupin perasaannya dan buat dia kelihatan paling berengsek. Dari dulu, Yangyang selalu begitu, Kak."

Pandangan Jaemin tertuju ke arah Hendery yang masih menyetir. "Kakak juga kakaknya, kan? Kenapa bilang Yangyang sejahat itu? Kalian juga saudara, dan itu nggak akan pernah berubah."

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang