Penuh kesalahan, kala Jeno mengerjap beberapa kali dan menatap kembali Yangyang yang duduk di hadapannya sembari memangku wajah. Keduanya hanya diam, tak ada percakapan yang berlangsung sebab hal buruk pasti akan terjadi jikalau Jeno memulai percakapan lebih dulu.
Pasti, perihal binder.
Jeno sengaja memberikannya kepada Jaemin, berpura-pura tidak tahu tetapi memberitahu jika dia menemukannya saat mengisi perut di Fakultas Psikologi tadi. Meskipun begitu, Jaemin tetap bisa dibodohi, harus pergi ke fakultas sebelah yang cukup jauh dari tempatnya lalu kembali dengan wajah polos sebab tak tahu jikalau itu milik Yangyang. Cerita yang dia dengar pun amat lucu, tak mungkin dia tidak tertawa.
"Lo bisa kasih ke gue langsung," kata Yangyang memulai percakapan di antara mereka, mengabaikan tulisan "dilarang berisik" di perpustakaan kampusnya. "Lo tahu gue benci banget sama dia, kan?" tanyanya lagi untuk mendesak. "Kayaknya, ada yang salah sama otak lo."
Pernyataan terakhir membuat perempatan imajiner di dahi Jeno mulai keluar, tak dapat terlihat dan hanya dapat dirasakan. Laki-laki itu mengembuskan napas, menatap Yangyang dan menjauhi laptopnya sedikit dengan memangku wajah.
"Bahkan, alasan lo benci sama dia pun, gue nggak tahu."
"Apa perlu gue jelasin sekarang? Atau lo mau tahu kenyataannya nanti?"
Jeno menaikkan kedua alisnya. "Kapan lo akan kasih tahu? Lo nggak pernah cerita apa pun, Yangyang. Lo sama Jaemin kayak pernah pacaran, berakhir putus sepihak, dan salah satu di antara kalian amat berengsek. Karena, dari reaksi Jaemin maupun lo kalau ketemu satu sama lain itu bertolak belakang."
"Bertolak belakang?"
"Iya. Jaemin gemetar ketakutan, dan lo nunjukin ketus banget. Gue suka nggak tega lihat Jaemin ketemu sama lo, tapi gue merasa harus ngelakuin itu."
Aduh, teman lo satu ini bodoh banget, Na, batinnya usai mendengar penjelasan panjang yang menurut Yangyang itu tak penting sama sekali.
Eh? Na?
Dia kebingungan sendiri karena menyebutkan nama itu di dalam hatinya, tak semena-mena dengan nama panggilan yang diketahui oleh orang-orang di sekitarnya. Lantas, Yangyang menghela napas amat panjang, mengeluarkannya dalam satu hentakan kala Jeno mengernyit heran ke arahnya. Dia tak memiliki hal lain untuk dibicarakan di antara mereka berdua karena semuanya telah usai.
Kesimpulan yang Yangyang ambil; Jeno cukup bodoh, itu fakta.
Pintar akademik memang belum tentu menunjukkan pintar dalam hal lain, kini dia percaya jika semua manusia itu pintar.
"Gue percaya suatu saat nanti lo bakal butuh Jaemin," katanya membuat Yangyang kembali tertarik ke dalam kenyataan. "Dan Jaemin juga butuh lo."
"Firasat lo---"
"Firasat itu nggak perlu teori atau dasar pemikiran," sela Jeno lebih dulu seolah tahu apa yang hendak Yangyang katakan padanya.
"Sebenarnya, gue nggak pernah kepikiran ke sana karena emang kita nggak akan pernah ada hubungan lagi."
Yangyang menekan perkataannya, dia amat yakin jikalau tidak akan ada kita di dalam kamusnya jika bersama dengan Jaemin. Lantas, laki-laki itu berdiri dari duduknya, sudah merasa jikalau tak ada yang perlu mereka bicarakan lagi, sama sekali.
Langkah kakinya tampak tegas, meninggalkan Jeno yang masih membelakangi laptop untuk melihat punggung Yangyang sampai tak tertangkap oleh pandangannya. Dia mengembuskan napas pelan, tersadar jika perkataannya tadi pun cukup tak masuk akal. Seharusnya dia tak membicarakan hal ini.
Karena Jeno tahu, Jaemin masih menyayanginya sampai saat ini, meskipun dia tak mengerti permasalahan dan masa lalu mereka berdua.
~○○○~
"Gue ketemu jurnalnya."
"Minta!"
Yangyang memberikan laptopnya kepada Shotaro saat mendengar permintaan itu, dia tak lagi mengurusi hal yang bukan urusannya karena telah memenuhi permintaan temannya. Kini, dia bersandar, memperhatikan jarum detik jam yang masih bergerak, berdetak, lalu memindahkan jarum menit setelah satu putaran penuh. Dia tak mengerti mengapa jarum jam tak pernah kewalahan untuk berputar? Padahal, pekerjaan melelahkan dan membosankan itu pasti bisa membuat jenuh.
Mereka benda mati, Yangyang mengetahuinya, tetapi dia tetap memikirkan hal bodoh itu. Apakah otaknya masih berkembang pada masa teologi? Mungkin itu jawabannya, tetapi dia tak peduli. Memikirkan hal yang tidak perlu adalah tanda jika pikirannya bekerja dengan baik, meski itu juga menghabiskan waktu dan melahapnya dalam ketakutan.
Untung saja dia mudah mengabaikannya kembali.
"Gue carinya susah. Kok, lo malah dapat? Dunia nggak adil," kata laki-laki di sebelahnya yang sibuk menyalin tautan ke aplikasi lain lewat laptop Yangyang. "Makasih, ya. Gue terselamatkan."
"Bukan apa-apa, kebetulan aja ketemu," dustanya sebab dia mencari dengan penuh penekunan, Shotaro mengetahui hal tersebut.
"Tapi, lo cari sampai pakai banyak tab---"
"Bisa nggak usah dibahas?"
Perkataan itu disahuti tawa dan anggukan oleh Shotaro. Tentu saja Yangyang tak ingin membahasnya, dia hanya melakukan apa yang dia bisa sebagai teman. Lagi pula, dia merasa dapat membantu san tidak mungkin dia menyerah begitu saja.
"Renjun tadi ada nge-chat gue," kata Shotaro tiba-tiba. "Katanya, nitip Yangyang sebentar, dia mau ke sini." Dia memperlihatkan layar ponsel yang ada di tangannya, menampilkan rentetan pesan dari Renjun yang dibalas olehnya. "Belakangan ini kalian jarang bareng, ya? Soalnya, dia suka nanya gue lagi sama lo atau nggak."
"Jadwalnya nggak sama," jawab Yangyang yang kembali bersandar dan memejamkan mata, hendak mengistirahatkan diri sejenak sebelum Renjun datang. Dia tak yakin bisa masuk ke alam mimpi atau tidak, tetapi setidaknya dia mencoba.
Memejamkan mata hingga tak sengaja terlelap adalah hal terbaik yang pernah Yangyang rasakan seumur hidupnya, dia tak tahu mengapa hal ini justru sulit untuk didapatkannya. Kedua matanya tak bergerak sama sekali, tak peduli adanya suara atau apa pun yang datang, dia hanya ingin melanjutkan aktivitasnya untuk menguasai alam bawah sadar.
Namun, tepat saat mendengar suara Jaemin, dia kembali membuka mata, melirik lewat ekor matanya dan menemukan laki-laki itu tengah berjalan bersama Haechan, berbicara tentang mata kuliah yang baru saja usai sebab kuis tadi cukup menyebalkan. Yangyang tak terlalu mengerti---atau lebih tepatnya tidak mengerti sama sekali. Sontak, dia sedikit memiringkan tubuhnya, enggan mengingat suara yang masih menempel jelas di kepalanya.
Bohong jika dia tidak merindukannya, bohong juga jika dia tak kewalahan menjadi sosok yang amat menyakiti Jaemin setelah sekian lama melakukan hal bodoh. Yangyang hanya tak memiliki wajah untuk bertemu dengannya, menebus atau pun membicarakan kembali kesalahan yang pernah dia lakukan. Hal itu terus menghantuinya, baik dari suara, sentuhan, atau perilaku manis yang sempat dia rasakan.
Sekali saja, dia ingin memeluknya dan mengabaikan semua yang bersarang di kepalanya.
Sekali saja ....
Sekali saja ....
"Yangyang?" Shotaro memanggilnya sembari menepuk punggung tangan laki-laki itu.
"Oh, iya?"
Jaemin menoleh ke arahnya, hanya memandangi dari jauh hingga Yangyang menangkapnya memperhatikan laki-laki itu. Sontak, kontak mata mereka terputus.
Hanya dengan hal seperti itu, hati mereka berdua hancur tanpa suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katastrofe (JaemYang) ✔
Fanfiction[Warn! B×B] Pertemuan mereka kembali menghantui Yangyang. Melihat Jaemin yang sehat serta bahagia amat menyakitkan baginya, ini adalah bencana terburuk yang pernah menimpanya. Ingin sekali dia melawan ketakutannya, tetapi dia tak berhasil. Jaemin me...