21

91 9 0
                                    

"Masalah utamanya pun ada di sana, Kak. Kalau seenaknya begini, kayaknya susah, deh."

"Lo nggak membantu."

Sungchan mendelik tak suka mendengarnya. "Lagian, ada-ada aja mintanya. Kalau mau, minta ke Kak Haechan langsung, jangan ke gue dulu."

"Kalau ketemu, gue udah ngomong sama Haechan."

Entah berapa lama dia tak bertemu dengan Haechan belakangan ini, terakhir pun kala dia meminta izin untuk mengajak Renjun jalan-jalan sebentar, lalu tak ada lagi namanya terdengar. Bahkan, Renjun pun memilih bungkam, menggeleng seolah menutupi segalanya. Dia tak tahu hal apa yang sebenarnya ditutupi oleh saudaranya, jika memang hal ini ada kaitannya dengan bagaimana hubungan mereka, seharusnya Renjun mengatakan semuanya dengan jujur.

Yangyang mengembuskan napasnya kembali, tak peduli bagaimana udara itu pergi, ke mana mereka melangkah, atau apa yang akan mereka lakukan setelahnya. Dipandanginya Sungchan yang kini sibuk dengan laptop dan bahan ajar di atas meja, tak sekali atau dua kali mulutnya terbuka lebar sesampai ada setitik air mata di ekor penglihatannya. Dia tampak kewalahan sebab tugas dari perkuliahan yang tak mengenal ampun belakangan ini.

"Waktu itu Kak Haechan bilang, dia mau pergi keluar kota sementara waktu, ayahnya minta pulang. Tapi, aneh juga, sih, kenapa nggak habis UAS minggu depan aja, ya? Kalau ketinggalan bukannya ribet?"

"Oh? Dia pergi?"

Sungchan mengangguk cepat. "Aslinya, dia bilang jangan kasih tahu ke siapa pun kalau ada yang nanya, tapi kayaknya Kakak nyari dia karena urusan penting banget, jadinya mending gue bocorin aja."

"Lo tahu dia pergi ke mana?"

"Lho, tadi gue bilang ke ayahnya."

Namun, tatapan tak percaya itu membuat Sungchan mengernyit. Yangyang masih menunggunya, memangku wajah dan memainkan jemari di atas meja tanpa berpikir apa pun. Dia memang tak mengetahui jelas mengapa Haechan pergi tanpa berpamitan, terlebih lagi dia bersama Renjun sebelumnya.

"Kenapa nggak tanya ke Kak Jaemin gitu? Mereka juga dekat, kan? Ini, lo manggil gue cuma buat nanya Kak Haechan?" Sungchan mengerucutkan bibirnya sebal, kemudian ikut memangku wajahnya dan mengabaikan laptop dengan layar menyala menyertakan tulisan bahasa asing di sana.

"Malas. Jaemin juga belum tentu tahu. Biasanya, kan, dia nempelnya sama lo, makanya gue nanya ke lo. Kalian baik-baik aja, kan?"

"Baik, sih. Cuma, belakangan ini dia lebih sering nempel sama Kak Renjun, jadi datang ke gue pas butuh aja---ya, emang hubungan timbal balik kita begitu, sih."

"Ribet banget, sih, kalian berdua."

"Lo lebih ribet."

Yangyang tertawa pelan mendengarnya. Dia enggan berpikir yang buruk mengenai Haechan saat ini, hal itu membuahkan usahanya untuk mengambil alih laptop Sungchan dan membantu laki-laki itu.

Akan tetapi, kala dia melihat Jaemin berjalan tak jauh dari tempatnya, Yangyang tak berpamitan atau mengatakan apa pun pada Sungchan yang kebingungan melihat ke mana ia melangkah. Sontak, sewaktu sapaan cukup kuat itu berhasil membuat Jaemin menoleh, Sungchan semakin mengerti apa yang membuat kakak tingkatnya justru berlari tanpa berbicara. Dia tak heran jika melihat kejadian seperti itu di depan matanya.

Samar-samar mata Sungchan menangkap kernyitan di dahi Jaemin amat jelas, tetapi laki-laki itu tetap tersenyum ke arah Yangyang, berbicara seolah tak peduli dengan raut yang tampak tak menyukainya dari dekat seperti itu. Tak lama pula, Jaemin menepuk puncak kepala Yangyang yang tingginya jelas hampir setara dengannya, dia tertawa sewaktu Yangyang menepis kasar tangannya.

Sungguh, Sungchan merasa sedang memperhatikan tayangan roman picisan di dunia perkuliahan yang sama sekali tidak dapat dia samakan dengan kehidupan kuliahnya.

"Lagian, ada-ada aja pertanyaannya," kata Jaemin, dia tetap tersenyum kala Yangyang mengerucutkan bibir dan menggembungkan kedua pipinya.

"Sungchan nyuruh gue nanya lo."

Jaemin menaikkan kedua alisnya, kini dahinya justru mengernyit heran. Tatapan yang lurus itu tampak seperti biasa, tak memiliki kecurigaan apa pun hingga Yangyang mengembuskan napas panjang.

"Gue nggak tahu dia di mana, tapi firasat gue nggak enak. Kita mau UAS sebentar lagi, dia nggak mungkin seenaknya buat izin beberapa hari buat pulang, kan?"

"Kalau ayahnya sakit, gimana?"

"Iya juga, ya?"

Tepukan pelan di bahu Yangyang membuat laki-laki itu kembali menatap Jaemin yang berbicara padanya. "Jangan terlalu mikir jelek, kita nggak tahu dia ke mana dan ada apa. Mau makan bareng?"

Kini, Yangyang mengernyit mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Jaemin, menembus masuk ke telinganya yang menangkap dengan baik. Dia menoleh ke segala arah, melihat apakah ada yang melihat mereka atau tidak. Usai mengetahui situasi sekitar, Yangyang tak ragu menggenggam erat tangan Jaemin, menelusupkan jemarinya dan mengajak pergi lewat tatapan mata agar menjauh dari tempat ini.

Tersadar dengan genggaman erat dari tangan berkeringan Yangyang, Jaemin menyungging senyumnya, berusaha menyejajarkan langkah mereka supaya tak perlu merasa sulit akibat tarikan dari laki-laki libra ini. Genggaman mereka tak sedikit pun merenggang sekalipun Yangyang melakukannya lebih dulu, Jaemin langsung menguatkan dan tak mengindahkan tatapan penuh tuntutan kematian padanya.

Tawa mulai ikut serta dalam pembicaraan mereka kali ini, bersama dengan langkah kaki yang menjauh. Usai tak memiliki hubungan, keduanya justru semakin dekat semakin hari. Yangyang tidak tahu, apa alasannya untuk menyerah dengan sikap dingin dan tidak pedulinya terhadap mantan kekasihnya, dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan agar Jaemin mengerti supaya keduanya lebih baik tak memiliki hubungan apa pun. Walaupun sebenarnya dia tidak ingin hal itu terjadi hingga kapan pun.

Menurut Jaemin pun wajar Yangyang datang menghampirinya saat ini, wajah yang tampak tak ingin mengetahui segala sesuatu yang bukan urusannya, diam-diam perhatian, kemudian membantu sebisanya. Dia tidak berubah. Dia bisa menolak dengan mudah, tetapi dia tetap mencoba membantu lewat orang lain. Jaemin tahu jika dia baik, sayangnya Yangyang enggan menunjukkan kelembutannya meski dia tampak menggemaskan. Ini tak mengganggu, hanya saja dia terus merasa gemas sendiri.

"Kita mau makan apa?" Yangyang menoleh ke arahnya, sedikit menaikkan alis karena Jaemin tak kunjung membalas tatapannya. "Lo nggak ada kelas lagi sore ini? Atau malam, mungkin?"

"Kalau ada, kenapa?"

"Ya, berarti harus cepat-cepat, kan? Masa lo mau bolos kelas dan makan sama gue? Aneh banget."

Namun, mendengar hal itu justru membuat sudut bibir kiri Jaemin naik tanpa si empu sadari. Dia menoleh ke arah Yangyang, kemudian menghentikan langkah hingga laki-laki itu ikut berhenti sebab tarikan dari bertautnya jemari mereka. Lantas, tatapan mereka bertemu, amat lama dan lekat hingga raut polos kebingungan itu menyapa pandangan Jaemin dan hendak menetap di sana tanpa kedipan.

"Selama sama lo, kayaknya gue bakal pakai jatah bolos, deh."

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang