06

191 21 1
                                    

"Aneh ... aneh banget."

"Apaan lagi sekarang?"

Yangyang tampak kewalahan dengan sikap Jeno yang terus membuntutinya, belum lagi mempertanyakan perihal sebuah nasib buruk yang didapatnya. Ini menyebalkan.

"Penculikannya nambah," kata Jeno lagi dan membuat Yangyang berhenti melangkah. "Dia belum mati."

"Dia udah---"

"Dia belum, karena jejaknya masih ada. Di sana juga masih banyak bekasnya."

"Lo ... suka mikir nggak ngomongin ini ke gue?"

Kedua alis Yangyang naik, dia tak sanggup lagi menghadapi Jeno.

"Sengaja."

"Karena? Respon gue tampak lebih baik dari Jaemin?"

Dia mengangguk. "Bukan cuma ini, gue tahu lo sering cari tahu masalah ini diam-diam dan berakhir nyerah. Bahkan, alamatnya pun lo ingat, patokannya, apa aja yang ada di sana, bentuk rumah, sampai pohon yang ada di depannya."

"Terus?"

"Bantu gue. Lo juga penasaran, kan?"

Helaan panjang dia ambil, embusan panjang pun dia keluarkan. Yangyang sempat merasa jika kepalanya berdenyut, tanpa ada jawaban apa pun dari mulutnya untuk menyahuti perkataan Jeno. Dia menggeleng pelan, tak ingin terlibat kembali dengan hal bodoh ini untuk kedua kalinya.

"Semangat."

Hanya itu yang Yangyang katakan sembari menepuk pelan bahu Jeno sebelum meninggalkannya. Dia memejamkan mata sejenak sebelum benar-benar bisa melihat dengan jelas. Kakinya sedikit gemetar, mengingat kejadian buruk yang sempat dia hadapi.

Bodohnya, wajah Jaemin masuk ke dalam bayangannya.

Berengsek!

Ini bukan wilayah yang dia kenal dengan baik.

Yangyang bersandar tepat di belakang gedung fakultas kedokteran yang jelas jalan tercepat untuk menghampiri tempatnya. Wajah Jaemin dan suaranya amat mengganggu, rasa bersalahnya semakin menjadi, ketakutannya berputar di satu poros hingga membesar dan membuat sekujur tubuhnya bergetar hebat.

Tak sanggup baginya merogoh tas ransel bagian depan demi mengambil obat yang belum lama dia tebus ini. Yangyang kehilangan kendalinya untuk bernapas, tak ada sedikit pun oksigen yang berhasil terhirup olehnya. Lagi lagi perasaan menyebalkan yang sukar dia lewati sendiri justru datang di saat yang tidak tepat. Pandangannya tak memburam, dia yakin masih bisa melangkah dan cepat pergi dari sini.

Namun, sepertinya tidak.

"Yangyang ...?"

Derap langkah itu mendekat, terdengar jelas gaungnya di dalam telinga. Yangyang menahan orang itu dengan sedikit mendorongnya, bahkan menepis tangannya sebelum kembali mengatur napas dan menyembunyikan wajahnya saat ini.

"Lo bawa obat lo?"

Pertanyaan itu tak diindahkannya sama sekali, dia sulit bicara. Satu-satunya cara memang langsung menegak obat itu, tetapi tenaganya terkuras habis hanya untuk melawan ke mana ketakutannya membawa.

Sontak, Jaemin yang sedari tadi ada di depannya pun mengambil botol obat miliknya---penuh harap agar itu juga cocok untuk Yangyang, daripada dia harus melihat laki-laki itu menahan sakit seperti ini---lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Dia menahan dua sisi lengan laki-laki itu, mendekatkan wajahnya untuk memaksa masuk pil itu lewat lidahnya yang kini bisa menyapa rasa dari makanan terakhir yang Yangyang santap. Dia sempat kesulitan karena mulut itu tertutup rapat. Berusaha agar tidak menjatuhkan pil di lidahnya, Jaemin sengaja menggigit bibir bawah laki-laki di depannya cukup kuat.

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang