19

84 10 0
                                    

Ada bencana yang terjadi kala mereka bertemu, kini ada bencana pula kala mereka memutuskan untuk benar-benar berpisah.

Jaemin tahu jika Yangyang sendiri yang memaksa agar mereka menyudahi segala ikatan yang sempat keduanya jalin. Terluka dan memiliki perasaan sakit yang sama, katanya akan mudah jika mereka bersama, sebab saling paham akan perasaan satu sama lain, kemudian saling menguatkan.

Kini, Jaemin tak percaya lagi dengan hal itu.

Yangyang semakin tak tenang karenanya, dia tak bisa mengendalikan diri karena hasrat menjaga Jaemin amat besar, meminta agar laki-laki itu tetap bahagia dan tak terluka meskipun tak ada keberadaannya di masa depan nanti. Namun, perlukah dia ketahui jika perkataan menyakitkan itu justru menampar Jaemin lebih keras daripada dia mengetahui tugasnya harus direvisi ratusan kali dalam jangka waktu dua puluh empat jam? Kesannya, keegoisan Yangyang yang membuat hubungan mereka tak akan bisa membaik, sampai kapan pun.

Jikalau kenyataannya memang berat seperti ini, dia lebih baik melepaskannya sedari awal dan membuang semua perasaannya. Akan tetapi, Jaemin tidak bisa, dia tidak bisa melepasnya dengan benar-benar melepaskan laki-laki itu. Maka dari itu, kini, otaknya justru mendapatkan ide yang amat cemerlang, mengundang tarikan sudut bibirnya dengan bagian kiri yang lebih mendominasi. Diliriknya Jeno yang tengah duduk di sebelahnya sembari menikmati makanan ringan dengan perisa balado itu, tak berbicara apa pun, tetapi dia yakin jika rencananya akan diterima dengan pasrah oleh temannya.

"Gue paham isi pikiran lo sekarang," kata Jeno sembari mengambil minuman botol di atas meja. "Lo mau ikut, lalu nyuruh gue diam biar Yangyang nggak tahu apa pun, akhirnya kalian berdua masuk ke dalam mobil baru kita ke sana, kan?"

"Betul," ucapnya bangga.

Jeno menarik napasnya panjang, kemudian mengembuskannya dengan satu sentakan. "Gue benci banget bilangnya, tapi, Jaemin, gue bahkan punya rencana sendiri dan nggak mau bawa Yangyang ke dalam bahaya nanti. Kalau kayak gini, bukannya---"

"Yangyang cepat baca gerakan orang. Dia pasti tahu lo mau ngapain, dan dia punya rencana sendiri. Dia bukan orang sebaik yang lo pikir, dia punya jebakan."

"Gue tahu, gue paham sama pikiran dia yang tiba-tiba mau cepat pergi. Cuma, Jaemin, lo nggak punya niat lain buat mastiin dia bakal nggak ngelakuin hal buruk nantinya? Maksudnya, kenapa harus ikut? Lo nggak sekuat itu, bahkan hidup lo bisa lebih tenang kalau gue sama Yangyang berhasil ngebuka jalan keluar dan bikin polisi tangkap dia lagi. Kalau bisa, cari cara lain, hidup lo berharga."

Akan tetapi, perkataan Jeno membuat Jaemin sadar sesuatu sesampai dia mengernyit dan menoleh sepenuhnya. Kepalanya sedikit miring, rambutnya diterpa angin lembut yang masih menjalankan tugasnya untuk membawa kesejukan bagi makhluk di muka bumi.

"Tapi, Jen, Yangyang mau bunuh orang itu pakai tangannya, bukan mau nyerahin ke polisi."

~○○○~

Yangyang tahu jika tinggal bersama Jaemin selama ini pasti membuat laki-laki itu paham dengan semua kode yang dia berikan, terutama kala dia sudah menuntut lewat tatapannya. Dia tak sengaja melakukannya, sehingga kini pikirannya amat acak sebab hal bodoh yang tak sengaja terlontar dari mulutnya. Sering kali pinggir kuku jemarinya digigiti berulang kali sampai terbuka, tetapi perih yang dirasanya sama sekali tak membuat dia berhenti.

"Berengsek!"

Sewaktu dia duduk di pinggir ranjang sembari menarik kuat-kuat rambutnya untuk melampiaskan rasa sakit serta kecemasan yang kini sibuk berbisik di benaknya, Yangyang berusaha mengatur napasnya, memasukkan semua kemungkinan yang akan terjadi padanya nanti meskipun Jaemin akan memikirkan rencana yang tak kalah bodoh dengannya. Namun, jika memang benar seperti itu, sama saja semua rencananya akan berantakan. Jaemin ikut pergi, tak lain laki-laki itu akan menghentikannya nanti.

"Yangyang? Kamu nggak apa-apa?"

Wendy membuka pintu kamar anaknya, kemudian masuk ke dalam dan tak lupa menutupnya kembali. Sontak, melihat keberadaan sang ibunda pun, Yangyang menyungging senyum manis sembari menggeleng pelan.

Wanita itu duduk di sebelahnya, mengusap pelan puncak kepalanya untuk menenangkan. Tak lama, usapan lembut itu teralih ke pipinya, dijawil gemas hingga anaknya itu mengaduh. Wendy tergelitik kala melihat wajah menggemaskan Yangyang sembari mengusap pipi kirinya yang sedikit memerah menyapa pandangannya saat ini. Dia sama sekali tak berubah, sedari dulu.

"Kamu ingat kenapa Bunda mau adopsi kamu, nggak?"

"Bunda nggak pernah cerita alasannya," kata Yangyang sembari menarik kedua kakinya untuk naik ke ranjang pula, didekapnya amat erat dengan pipi yang terpangku di atas kedua lutut.

"Iya, ya? Bunda lupa." Wendy tertawa pelan. "Bunda ... bukan mau adopsi kamu atas permintaan ayah kamu. Bahkan, awalnya susah banget, lho, soalnya ayah kamu nggak mau pisah sama kamu."

"Meskipun istrinya kubunuh?"

Sebenarnya, Wendy tak tahu apakah ini waktu yang tepat mengatakan semuanya dengan perlahan. Dia tak tahu apa yang membuat Yangyang kembali seperti dulu, dipenuhi ketakutan, dipenuhi rasa cemas, dipenuhi pandangan buruk yang tak nyata. Halusinasinya semakin menjadi, itu yang membuat Wendy sadar jikalau hal buruk mungkin cepat atau lambat akan terjadi.

Kedua tangan Wendy teralih ke pundak anaknya yang kini tengah mengerjap heran. Wanita itu justru tertawa pelan dan menggeleng. "Bukan salah kamu, Yangyang. Bukan salah kamu."

"T-tapi, aku yang ... nusuk .... Bunda, itu kejadiannya di depan aku, jelas aku yang‐--"

"Nggak, Yangyang. Nggak."

"Bunda cuma mau hibur aku, kan, ya?"

Tatapannya melunak, jauh lebih lunak dari biasanya. Meskipun begitu, Wendy tetap berusaha tersenyum, digenggamnya kedua tangan gemetar anaknya yang berusaha menerima fakta bahwa dia tak memiliki kesalahan yang kakak-kakaknya tak ketahui.

Raut sedih bercampur besalah itu membuat mata Wendy justru menghangat, dia tak tahu seberapa kuat bendungan matanya menahan tumpukan air yang membersihkan daerah penglihatannya. Perlahan, dia mengembuskan napasnya, amat panjang sebelum menjawab pertanyaan Yangyang tadi.

"Yangyang, semuanya nggak benci sama kamu. Mereka sayang sama kamu. Hendery, Xiaojun, bahkan Jaemin pun sama. Mereka berusaha jaga kamu dari dulu, mereka nggak mau lepasin kamu ke Bunda. Tolong, pelan-pelan, ya? Percaya sama Bunda, semua yang Bunda bilang itu bukan bohong."

Wendy tahu jika raut Yangyang semakin tak ingin percaya padanya. "Ibu kamu meninggal bukan karena kamu bunuh, tapi karena serangan jantung. Kamu ada di depannya, tapi kamu nggak bunuh dia, Yangyang." Tangannya teralih menutupi sebagian telinga Yangyang, masih terdengar suara hiruk-piruk perdebatan yang tak kunjung usai sedari tadi. "Jangan dengerin mereka, ya? Jangan pernah dengerin mereka yang dorong kamu buat ambil keputusan. Jangan dengerin mereka yang ngomong nggak-nggak tentang kamu.

"Bunda mohon, jangan pergi ke sana .... Jangan ..., ya?"

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang