"Lo gila?!"
"Iya. Gue gila."
Renjun mendecih, sebal sendiri saat mendengar keputusan Yangyang hari ini sembari memberikan kunci motor padanya. Sontak, laki-laki itu justru menaikkan alis sebab menunggu apa yang ingin Renjun katakan padanya.
"Gue nggak izinin, Yangyang."
"Gue nggak minta izin lo, Renjun."
"Lo---ah! Terserah!"
Berdebat dengan Yangyang tidak ada gunanya, dia selalu memiliki jawaban jika Renjun membantahnya saat ini. Tatapan matanya tampak tenang dan dalam, tidak seperti biasanya, dia benar-benar tidak bisa menahan diri sama sekali untuk melakukan kebodohan.
"Gue udah bilang ke Jeno," katanya lagi dan berhasil membuat Renjun naik pitam tanpa bisa melampiaskannya. "Entah kapan bakal ke sana, mungkin pas libur. Gue nggak akan bawa siapa pun," tambahnya sewaktu dia sadar Renjun tengah mengepalkan tangannya.
"Bunda marah banget sama lo."
Perkataan itu membuat Yangyang merasa lidahnya kelu, tak sanggup mengatakan apa pun selain tersenyum dan mengangguk pelan. Dia menyungging senyum, semakin lebar saat merasa Renjun tidak akan berhasil menahan bendungan air matanya yang handak tumpah sebab amarahnya saat ini.
"Bagus, dong."
Senyum itu menyakiti Renjun, Yangyang mengetahuinya. Jika saja Renjun tidak dapat menahan diri, mungkin dia sudah terkena kepalan tangan itu mentah-mentah dan terus-menerus mengenai wajahnya sekarang. Akan tetapi, dia hanya berusaha menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya seolah berusaha menerima apa yang sudah terjadi.
"Kapan?" tanyanya yang membuat Yangyang kembali menatapnya amat datar. "Lo pergi pas kapan? Libur? Kenapa lo selalu nekat?"
"Iya, pas libur."
Renjun mengangguk pelan. "Pertanyaan gue yang lain, nggak dijawab?"
"Karena gue mau akhiri semuanya? Nggak juga. Dia mau diadili, kan? Kasusnya banyak---"
"Itu urusan polisi, bukan urusan lo," tangkasnya lebih dulu sebelum Yangyang kembali mengatakan semuanya. "Yangyang, lo udah lepas, jangan masuk lagi. Sakit, kan? Kalau keingat semua itu, lo ngerasa sakit, kan?" Dia menggenggam kedua tangan saudaranya, amat erat sembari menggeleng lemah. "Lo nggak seharusnya berurusan lagi sama hal itu. Hidup lo bakal berubah pelan-pelan, gue yakin. Yangyang, fokus aja berobatnya, ya? Lama-lama, lo pasti bisa lepas dari obatnya, jadi udah, ya? Jangan, ya?"
"Jaemin ...," gumamnya yang dapat didengar Renjun.
"Jaemin? Kenapa sama Jaemin?"
"Gue mau selesaiin ini buat dia, bukan buat gue."
Tatapan lurus itu tidak dapat diterima dengan mudah oleh Renjun. Tekadnya memang terlihat amat besar, tetapi tidak seharusnya jalan ini yang dia tempuh. Genggamannya pun perlahan mulai merenggang, terlepas dan gontai. Napasnya tersengal seolah ada yang menyekanya di persimpangan tenggorokan saat ini, menusuk paru-paru hingga punggung.
Dia tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti. Banyak hal yang dapat Yangyang lakukan demi menyelesaikan persoalan menyebalkan ini, tetapi bukan dengan membahayakan dirinya sendiri. Dia yakin saudaranya sudah memikirkan ini amat matang, tetapi dia tidak bisa menunjukkan hal itu juga merupakan keputusan beratnya. Ketakutan yang Yangyang sembunyikan itu selalu mengganggunya. Renjun benci ketika dia tidak berguna.
Kini, giliran Yangyang yang menepuk pelan bahu saudaranya, menyungging senyum simpul. "Renjun, gue tahu kalau nggak semua hal bisa gue lakuin. Gue tahu kalau gue emang berengsek, tapi gue nggak bisa lebih dari ini. Ada luka yang gue buat, gue juga yang harus nyembuhin. Tenang, masih lama, kok. Kita aja belum UAS, kan? Santai."
Justru ucapan permintaan santai itu semakin mengganggunya.
~○○○~
"Please ...."
Ada beberapa hal yang membuat Jaemin kebingungan saat ini; satu, Renjun yang datang mencarinya, dan kedua, dia meminta untuknya menghentikan Yangyang tanpa dia tahu apa yang terjadi. Lantas, matanya hanya bisa mengerjap, ditatapnya Haechan yang masih terpaku dengan wajah menggemaskan Renjun, memperlihatkan mata memohon yang jarang ditemukan kapan saja.
Atau mungkin, ini pertama kali baginya memohon kepada orang lain.
Haechan mengembuskan napasnya amat panjang. Dia tidak tahu jelas ada apa yang Yangyang rencanakan sejauh ini. Apa yang menggenggu pikiran anak itu sesampai saudaranya justru meminta pada Jaemin agar menghentikan yang hendak dia lakukan. Dia ingin mencari tahunya sendiri, tetapi Yangyang pintar berbohong dan memperlihatkan jika dia baik-baik saja, itu sama saja bohong.
"Gue nggak tahu ada apa," katanya yang kini membuat Haechan menoleh kebingungan. "Emang Yangyang mau ngapain sampai lo minta gue berhentiin dia?"
"Ada sangkut pautnya sama lo." Renjun menelan salivanya, dia tak bisa mengatakan hal ini di depan Jaemin.
"Apa?"
Tentu saja pertanyaan itu akan terlontar dan membuatnya membeku di tempat. Pandangannya teralih ke Haechan yang kini menaikkan kedua alisnya, meminta pertolongan lewat tatapan itu, tetapi dia tak menangkap sinyalnya sama sekali.
Renjun bersumpah akan memukulinya nanti.
"Gimana cara gue bilang dia berhenti tapi gue nggak tahu konteksnya?" Jaemin memejamkan mata sejenak sembari memijat batang hidungnya, tetapi dia tersadar karena itu adalah Yangyang dan memiliki kaitan dengannya. Dia kembali menatap Renjun, mengulum senyum.
Dia mengangguk pelan, seolah paham dengan apa yang harus dia lakukan. Haechan mencekal lengannya, menggeleng pelan hingga mengundang kernyitan di dahi Jaemin yang kini membalas tatapannya. Kekhawatirannya memang terlihat, tetapi Jaemin tertawa melihatnya, menunjukkan jika itu bukan hal besar.
Pandangannya kembali pada Renjun yang kini binbang; rasa bersalah dan bahagianya bersatu. Jika Yangyang mengetahui hal ini, pasti mereka akan berkelahi dan membawa hal yang sudah terjadi. Dia tidak siap dengan kemungkinan itu, tetapi mau tidak mau dia harus tetap menghadapinnya tanpa mengelak.
Perlahan, Renjun melihat jika cekalan tangan Haechan terlepas darinya, dari setiap jemari yang melingkar di pergelangan tangan itu kembali pada tempatnya. Pandangan mereka kembali, dan Renjun hanya menjadi penonton bayaran yang setia menunggu untuk selesainya drama di antara dua laki-laki di depannya. Namun, Haechan kembali menatapnya lebih dulu, menyungging senyum yang menyampaikan sengatan listrik kecil ke jantungnya yang kini terpacu semakin cepat.
Sialan! Dia hanya dapat mengumpat dalam hati, kemudian mengembuskan napas pelan dengan usaha sebesar yang dia bisa untuk menekan panas di wajahnya yang semakin menjalar ke seluruh tubuh. Dia kembali menelan saliva yang berkumpul di mulutnya, semoat tertahan di kerongkongan saat Haechan tertawa pelan ke arahnya tanpa tujuan jelas.
"Bisa berhenti sebentar drama homonya?" Jaemin menginterupsi dan langsung mendapat atensi Renjun kembali. "Yangyang di mana? Biar gue yang ngomong sekarang. Tenang, gue nggak akan bilang kalau itu permintaan lo atau apa pun. Lo juga nggak ada bilang karena apa, kan? Kalau ada kaitannya sama gue, berarti ada kaitannya sama sepuluh tahun lalu."
Dia menarik napas sejenak, kemudian kembali mengeluarkannya bersama keraguannya saat ini. "Gue kenal Yangyang lebih dulu dari lo. Kalau dia nggak pernah berubah, gue bisa yakinin dia buat balik. Tapi, kalau ternyata gue salah, gue nggak yakin bisa buat dia balik."
"Maaf ...."
"Santai aja, sih," Jaemin menepuk bahunya beberapa kali dengan amat pelan, "gue bakal berusaha sebisa gue, tunggu sebentar, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Katastrofe (JaemYang) ✔
Fanfic[Warn! B×B] Pertemuan mereka kembali menghantui Yangyang. Melihat Jaemin yang sehat serta bahagia amat menyakitkan baginya, ini adalah bencana terburuk yang pernah menimpanya. Ingin sekali dia melawan ketakutannya, tetapi dia tak berhasil. Jaemin me...