13

111 14 0
                                    

"Gue paling nggak suka kalau berurusan sama kalian berdua sekaligus."

Haechan memijat pelan batang hidungnya, bersandar pasrah ke punggung kursi yang dia tempati sedari tadi. Yangyang masih mengetukkan jarinya di meja putih yang tersambung pada kursi itu, berdiri dan menunggu jawaban Haechan saat ini. Matanya tak lepas dari parah pemuda itu, dia tak mengerti apa yang membuat kakinya datang ke sini sebab terlalu pusing dengan Jaemin sempat menghampirinya.

Dia sempat curiga pada Renjun, tetapi dia mengurung niatnya untuk datang kembali pada saudaranya karena tersadar akan memicu peperangan tak memiliki akhir sampai salah satu di antara mereka berhasil menurunkan gengsi untuk mengucap maaf. Dia lebih baik menuntut Haechan bicara jujur dan mengetahuinya sendirian, menahan diri sesampai kesabarannya habis.

"Lo yang bilang?" ulangnya sekali lagi dan kembali mendengar dengkusan kasar dari laki-laki itu.

"Iya, gue."

Yangyang tak sadar jika dia langsung mengernyit, lebih ke tak percaya karena Haechan bukan orang seperti itu. "Kenapa lo bilang?"

"Gue nggak mau lo ataupun dia dalam bahaya."

Dia berdiri, merapikan sejenak kaus putih polosnya sebelum mengambil jaket denim yang dia sampirkan ke kepala kursi. "Yangyang, lo tahu kalau Jaemin masih sayang sama lo, kan? Kalau emang lo nggak sayang sama dia dan niat lo ternyata buat nyakitin dia atau diri lo, gue pasti cegah hal itu. Gue nggak pernah ngerti sama cara berpikir lo sampai sekarang. Lo mau apa sebenarnya?"

"Bukan urusan lo---"

"Kita teman kalau lo lupa." Haechan menarik tangannya, melihat beberapa bekas luka yang tertutup oleh banyaknya keloid di sana. "Perasaan lo jangan pernah diabaikan, Yangyang. Masa lalu lo emang nyakitin, tapi bukan berarti lo harus maksa diri lo buat abai dari itu, lo harus tumbuh, bukan nggak peduli. Lo itu baik, gue tahu banget. Tapi, jangan sampai kebaikan lo ini buat jadi lo makin sakit."

"Chan, gue nanya duluan. Jangan ceramahin gue, gue nggak butuh."

"Lo mau gue menjauh dari lo setelah ini? Lo mau pergi sejauh apa?"

"Haechan---"

"Sebelum suka sama Renjun pun, gue suka sama lo."

Perkataan itu justru membuatnya terdiam di tempat, tangan kanannya yang terbebas pun hanya bisa terkepal erat.

"Tapi, gue sadar kalau lo nggak akan lihat gue lebih dari teman." Haecha mengembuskan napasnya pelan. "Yangyang, lo masih sayang sama Jaemin? Lo ngelakuin ini buat siapa? Buat lo, atau buat Jaemin?"

"Chan---"

"Jawab. Buat siapa?"

Yangyang memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang dan kembali membukanya kala napas itu telah terembus. Dia menyungging senyum, tanpa menjawab dengan kata-kata, tetapi Haechan sudah mengerti dengan tatapan lunak itu.

Dia tahu kenyataannya meski dia tak memiliki banyak bukti.

Dia tahu jika perasaan keduanya tetap sama, sedari dulu, tidak akan ada yang bisa mengubahnya.

"Gue sayang sama Jaemin, Chan."

~○○○~

"Aneh kayaknya, kalau lo maksa pas selesai UAS banget."

"Kenapa aneh?"

"Lo buru-buru itu kenapa?" Jeno mengernyit heran, kini dia tak lagi menikmati mi ayam kesukaannya di kantin, tatkala memperhatikan Jaemin yang sibuk dengan laptop dan ponsel, mencari jurnal untuk acuannya membuat laporan. "Yangyang juga nggak akan seburu-buru lo---"

"Jeno, kita harus ngobrol---"

Percakapan putus-putus itu membuat Jaemin menoleh, menatap kedua insan yang kini kebingungan. Yangyang berdiri di dekatnya, dia bersiap untuk pindah, tetapi laki-laki itu mencekalnya.

"Nggak, nggak jadi. Lo selesaiin aja urusan lo."

"Lo juga punya urusan sama Jeno, kan?"

"Jaemin---"

"Kelarin urusan lo berdua." Dia menutup laptopnya, membawa ponsel ke dalam saku jaket dan berdiri dari duduknya. "Chat gue kalau lo udah kelar."

"Jaemin! Jaemin! Sialan!"

Tak dihiraukannya panggilan Yangyang saat dia menjauh, melawan angin yang justru masuk ke arah kantin terbuka ini. Tatapan mata Yangyang terlihat kecewa, Jeno memahaminya. Lantas, dia duduk tepat di sebelah Jeno tanpa ingin mengusik semua barang Jaemin di sana.

Akan tetapi, pemuda yang tadi melangkah menjauhi kantin pun memilih untuk menyendiri dengan berjalan asal tanpa tujuan. Kedua tangannya masuk ke dalam celana biru gelap yang menutupi kaki jenjangnya, sedangkan napasnya tampak terus terbuang dengan sentakan, amat kasar. Kepalanya sakit setiap kali mengingat perkataan Yangyang saat itu, dia membencinya.

Meski pada akhirnya dia bisa meminta agar Jeno mendengarkannya dan membawanya lebih dulu.

Jika bisa, Yangyang tidak perlu pergi ke sana.

"Jaemin?"

"Lho?"

"Lo ngapain? Masih ada kelas?"

Jaemin menggeleng pelan. "Nggak, lagi jalan aja. Lo ngapain?"

"Cari Yangyang, tiba-tiba hilang. Katanya, dia mau ke sini, tapi gue masih nggak ketemu."

Kepala Jaemin kini mulai mengangguk beraturan dan tersenyum. Dia tak memberitahu Shotaro di mana keberadaan Yangyang saat ini, sebab dia yakin Jeno akan memakan waktu yang cukup banyak untuk berbicara dengannya.

"Lo ... sama Yangyang sempat dekat, ya? Atau dulu sempat berantem gitu?"

Bahkan, Yangyang hampir tidak pernah menceritakan tentang mereka sebelumnya. Alhasil, Jaemin kembali tak menjawabnya, dia hanya berpamitan dan melangkah pelan melewati Shotaro, melewati arah yang bertolak belakang dengannya.

Rasa dingin yang menusuk tanpa alasan itu selalu mengganggu, Jaemin tidak mengerti apa yang membuatnya merasa jika hidupnya benar-benar akan hancur sebentar lagi, tetapi dia lebih tidak tahu apa yang akan dia lakukan usai ini. Sontak, kakinya terhenti, terdiam tanpa melihat ke depan apa yang ada di sana, dia mengembuskan napasnya pelan dengan mata terpejam, mengikuti warna acak yang menguasai pandangannya saat ini.

Ketakutannya kembali terangkat, sama seperti sebelumnya, tetapi tidak ada pemicu jelas dari hal tersebut. Yangyang pasti kesulitan dengan hal yang sama dengannya. Lagi, dia selalu memikirkan laki-laki itu dibandingkan dengan dirinya sendiri.

Jaemin menengadah, melihat awan berbagai bentuk yang sedang menutupi matahari sementara waktu, tak sampai satu menit. Angin di siang hari tampak menggoyangkan berbagai rumput dan dedaunan lain di sekitarnya, dengan teratur bergerak ke kiri maupun kanan, tidak memiliki arah lain seolah memang itu jalan hidup mereka.

Sama sepertinya.

Jalan yang dia harus tempuh hanyalah dua; tetap maju atau mundur. Apakah ini yang terbaik atau buruk, pasti dia akan mengetahuinya jikalau dia berhasil melewatinya.

Kakinya berbalik, berputar dengan keinginan kembali ke arah kantin fakultas tanpa berpikir dua kali. Persetan dengan ucapan pedas Yangyang yang akan dia dapatkan untuk ke sekian kalinya. Jaemin merasa ini adalah waktu yang tepat untuknya mendengar percakapan itu secara berpura-pura tidak sengaja.

Mungkin gue bisa dengarnya secara langsung, bukan lari kayak anak kecil begini, batinnya saat sampai dan melihat kedua laki-laki itu masih sibuk berbicara.

Raut wajahnya sempat melunak saat melihat Yangyang yang kini menunduk dan tak mengatakan apa pun. Hatinya terluka melihat Yangyang seolah tak bisa berargumen.

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang