18

84 12 0
                                    

Benar, apa yang Yangyang katakan memang benar.

Kejadian buruk yang membuatnya tak lagi ada satu pun orang yang memihaknya. Kejadian buruk yang juga sempat tertimpa kepada Wendy karena dia gagal mengendalikan dirinya. Yangyang pikir, kala dia membuat Wendy masuk rumah sakit karena hampir mati akan membuat Renjun membencinya seperti yang Hendery dan Xiaojun lakukan, tetapi sayangnya tidak.

Dia tak berbohong jika Renjun juga melihatnya dengan penuh ketakutan yang menyelimuti pandangannya saat itu, memaksa senyum dan tegar, meskipun air matanya hendak terjatuh, bahkan suaranya ikut bergetar. Dia merasa menjadi sosok bodoh yang terus gagal mengendalikan halusinasi visual maupun audio yang terus mengganggu hidupnya. Yangyang tak tahu harus melakukan apa selain mengatur napasnya.

Keputusannya untuk kembali dan melawan semua ketakutannya memang hal yang salah, dia mengerti perasaan Wendy maupun Renjun yang melarangnya melakukan hal bodoh itu, tetapi dia juga tak bisa terus berdiam diri dan berakhir dengan mencelakai orang lain. Rasa harusnya untuk bergerak itu membuatnya mengambil keputusan berat sesuai dengan keinginan hatinya, dia tak ingat dengan otaknya yang sering kali membantah apa yang ingin dia lakukan.

"Otak gue belum bisa mencerna dengan baik masalah Yangyang sama Jaemin," kata Renjun sembari menggenggam tangannya sendiri amat kuat. "Kayak ... kenapa Yangyang memutuskan hal itu, dan kenapa dia bisa separah itu."

"Yangyang itu anaknya suka denial," jawab Haechan sembari memberikan kopi kalengan dari mesin minuman kepada Renjun. "Dia susah lepas sama traumanya karena dia nggak mau nerima dan memaafkan dirinya sendiri. Lagian, Jaemin ada di depannya, dia bahkan milih kabur karena mikir bakal nyakitin Jaemin lagi." Haechan mengembuskan napasnya amat panjang kemudian kembali mengimbuh, "Gue paham sama pikiran Yangyang, pasti susah buat dia nerima Jaemin yang mau ada di sebelahnya terus. Apalagi, dia sempat kelepasan kayak gitu, kan?"

"Alasan Kak Xiaojun ketemu Yangyang waktu itu ...?"

"Iya, pasti minta jauhin Jaemin karena takut kejadian yang nggak disengaja itu balik. Mereka emang bukan saudara kandung, tapi Kak Xiaojun emang sesayang itu sama dia, mau gimana?"

"Lo mengenal mereka dengan baik, ya," kata Renjun yang kemudian membuka kopi tersebut dengan wajah menggemaskan karena cukup keras, meski pada akhirnya dia bisa melakukannya sendiri. "Lo bawa kopi beku apa gimana, deh?" tanyanya keheranan.

"Apa? Gue juga kesusahan bukanya, kok. Emang keras." Haechan tertawa pelan, kemudian kembali bersandar ke kursi yang tengah mereka tempati. "Gue takut, semisal nanti ada hal nggak enak dan gue nggak mengenal mereka dengan baik, malah gimana-gimana, kan, susah." Embusan napasnya tampak berat, mengundang kedua mata Renjun yang kini penasaran dengan isi kepalanya. "Kalau dipikir-pikir, gue bukan orang baik."

"Lo tahu sesuatu tentang kejadian itu?"

"Gue tahu. Jeno lebih tahu. Cuma, Jaemin sama Yangyang lebih paham. Karena itu, gue sempat mikir, apa gue perlu minta tolong ke salah satu dari mereka biar cepat tuntas, atau gimana. Sayangnya, malah begini. Gue tahu Yangyang nunjukin banget dia benci Jaemin pakai alasan yang dia buat sendiri, tapi Jaemin masih sayang banget sama dia."

"Yangyang pernah bilang, dia mau pergi ke sana. Gue nahan dia, tapi gue gagal. Gue nggak tahu apa isi pikirannya sampai dia merasa kalau dia yang bisa selesaiin semuanya."

"Jaemin juga mikir begitu."

Akan tetapi, usai perkataan Haechan tadi, Renjun terdiam sejenak, mengernyit bingung dan langsung menoleh ke arah Haechan yang ikut kebingungan karenanya.

"Lo ... nggak mungkin, kan?"

~○○○~

Kabarnya, ada satu keluarga yang anaknya terbunuh oleh saudara sepupunya sendiri. Namun, ada anak yang mendengar percakapan tabu itu hingga dia mendapat ancaman agar tetap menjaga rahasia tersebut sampai kapan pun. Meskipun begitu, dihantui rasa bersalah hingga saat ini benar-benar mengganggunya hingga kedua matanya selalu sungkan terpejam, terbayang kembali kejadian memilukan saat melihat lengan anak-anak ditarik paksa, jeritannya semakin melengking saat mereka merasa tusukan perlahan mulai mengenai bagian luar kulit mereka.

Lalu, orang itu terobsesi dengan darah segar, merah cerah layaknya masa depan dengan rasa manis anyir di lidahnya, tak ada rasa logam yang menyeruak pengecap, hanya ada kebahagiaan dan manis sesampai dia tak berpikir ratusan kali untuk meneguk atau berendam di dalam bak penuh dengan cairan plasma merah itu. Amat menyeramkan bagi anak-anak lain, tetapi itu menyenangkan baginya.

Kulitnya semakin terasa kencang, hidupnya bahagia, bahkan dia terus melakukan tindakan tercela ini tanpa peduli konsekuensi apa yang akan dia terima di masa depan. Psikisnya terganggu, tidak ada hati nurani setiap kali seseorang mempertanyakan hal tersebut padanya. Dia hanya menyungging senyum, kembali mencabik kasar dengan kuku panjangnya, menciptakan maha karya lewat cakaran setiap kali orang itu terus meminta agar dia berhenti. Bagaimana bisa? Ini terlalu menyenangkan. Hal paling hebat yang pernah dia rasakan.

"Lo bengong," kata Yangyang sembari menutup laptopnya yang sudah dia matikan tadi. "Muka lo juga pucat. Ada apa? Ada yang ganggu?"

"Nggak, nggak ada apa-apa."

"Jaemin?"

Panggilan itu tak kunjung membuat si pemilik nama menoleh ke arahnya. Alhasil, Yangyang mengamit dagunya, menyuruh agar tatapan mereka bertemu, saling melempar percakapan lewat manis yang berkaca hingga sedikit memburam itu. Yangyang sempat kebingungan, tetapi kala Jaemin mencengkeram kedua bahunya, dia mengembuskan napasnya.

"Gue nggak bisa ninggalin lo kalau lo kayak sekarang, mending---"

"Sebelumnya lo ninggalin gue," sela Jaemin tak terima. "Kenapa sekarang nggak bisa? Lo semakin menegaskan kita putus, tapi lo justru memperlakukan gue kayak gue punya harapan buat balik ke lo. Mau lo apa, Yang? Apa selama ini perasaan gue cuma candaan buat lo? Kalau emang begitu, tolong pergi."

Rentetan kalimat yang tembus melawan pertahanan rumah siput telinganya pun kembali membuat Yangyang bergeming. Tangannya turun tanpa dia sadari, dia menghela napas panjang kembali, kemudian tak lupa mengembuskannnya tak kalah lebih lama dari tarikannya.

"Gue ... nggak bisa ...."

"Kenapa? Karena dulu kita saudara? Meskipun begitu, kita nggak satu darah. Kita cuma anak tanpa orang tua yang diculik, kita ketemu di tempat itu dan lihat semua hal yang mengerikan. Kita selamat dan berakhir dengan satu rumah, pacaran, lalu lo mutusin gue dan pergi. Cerita kita cuma sesingkat itu."

"Gue mau mastiin lo baik-baik aja."

"Lo selalu pergi, kenapa sekarang justru mau mastiin keadaan gue? Lo gila?"

"Gue selalu nunggu lo bangun waktu lo koma!"

Ledakan yang tak pernah Jaemin ketahui akan terjadi pun membuatnya terdiam. Tatapan Yangyang melunak, laki-laki itu menggeleng pelan sembari menjelaskan di tengah seraknya suara.

"Gue selalu nunggu lo bangun, gue selalu ngerasa bersalah sampai sekarang. Gue ... gue ... nggak bisa lepasin lo segampang itu. Kalau gue bakal mati nanti, gue cuma mau lo tahu kalau gue sesayang itu sama lo. Lo paham, kan?!"

"Yangyang ...."

"Iya, gue egosi, gue bajingan, gue tahu. Gue ninggalin lo seenaknya, dan sekarang bertingkah kayak gue orang paling care sama lo. Gue cuma mau lo bahagia kalau gue beneran jauh dari lo, Jaem."

"Maksud lo? Lo mau ke mana?"

Akan tetapi, diam yang diberinya sebagai jawaban oun berhasil membuat Jaemin menggenggam serat tangannya. Dia tahu jika Yangyang memang akan pergi, tetapi dia tak terima dengan fakta itu hingga saat ini.

"Maaf, Jaemin."

Namun, segala bayangannya benar-benar akan terjadi.

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang