Yangyang mengerjap saat melihat Jaemin seolah kebingungan dengan binder di tangannya, dia memutuskan untuk mendekat usai menelan salivanya sudah payah, sebelum hiruk di kepalanya semakin jadi, atau bahkan sebelum tangannya lepas kendali. Kakinya sempat mengajak mundur, tak kuasa melangkah sebab otaknya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Awalnya, Yangyang hendak mengabaikannya, tetapi getaran hebat di kaki itu membuatnya membeku di tempat, mau tak mau dia harus melawannya dengan mengepal erat tangannya, membiarkan kuku panjang yang tak sempat dia potong itu menusuk telapak tangannya, meninggalkan jejak demi pelampiasan perasaan.
Dia berdeham saat bertemu Jaemin, tatapan matanya tak bersahabat seperti biasa, belum lagi tangannya hanya menadah seolah meminta barang itu dengan cepat. Akan tetapi, Jaemin mengerjap, kebingungan sendiri, alhasil dia meletakkan tangannya di atas tangan Yangyang, seperti anak anjing yang sudah dilatih untuk mengikuti apa perintah majikannya.
Sebab itu pula, mereka saling tatap cukup lama, Yangyang kebingungan hingga aura mencekam nan mematikan itu menghilang seketika, Jaemin gemas sendiri dengan kerjapan mata laki-laki di hadapannya saat ini. Sungguh, dia tak berbohong jika dia bisa gila sekarang juga.
Angin sepoi-sepoi yang menjadikan rambut mereka bergerak dan menutupi sedikit bagian wajah Yangyang. Kedua mata Jaemin terpaku dengan keindahan yang tertera jelas di hadapannya. Amat tak nyata seolah dia hanya dapat digapai lewat televisi yang menampilkan tontonan animasi dari negara yang sempat menginjakkan kaki di negara ini.
"Binder gue, bodoh. Kenapa lo kasih tangan lo? Lo itu anjing?"
Jaemin langsung tersadar dari lamunannya. "Emang ini punya lo? Isinya apa aja?"
"Kartu kereta, KTM, pulpen, kertas," katanya dan masih dengan tangan yang menadah. "Cepat, gue mau pulang!"
"O-oh."
Alhasil, Jaemin memberikannya, tetapi Yangyang merampas itu dengan kasar. Tanpa adanya salam atau apa pun, laki-laki itu meninggalkan Jaemin sendirian yang masih berdiri, termenung sendirian seperti orang bodoh meski bahunya sempat sedikit ditabrak. Dia tetap bergeming di tempat meski derap langkah kaki Yangyang tak lagi menyapa telinganya.
Sekilas, memori kecilnya mulai melewati pikirannya, melintasi ingatan begitu saja. Namun, kala itu justru Jaemin yang menadahkan tangan untuk diterima Yangyang, tatapan heran dan kerjapan itu tak pernah berubah sedari dulu.
Dia tetap indah.
Jaemin mengetahuinya.
"Nggak berubah sama sekali ..., ya?"
Dia sempat berbalik untuk memeriksa apakah Yangyang jauh darinya atau tidak, meski kenyataannya tak ada siapa pun di parkiran fakultas yang dia tempati. Karenanya pun Jaemin mulai melangkah, mengambil jalan yang bertolak belakang dengan yang Yangyang tempuh tadi. Saat di rumah nanti, dia harus memaki Jeno sampai puas.
~○○○~
"Kayaknya ada yang aneh sama muka lo hari ini, ada apa?" Renjun sadar jika Yangyang terus melamun sedari tadi, meski gelengan kepalanya menyuruh agar saudaranya ini tak khawatir, tetap saja kecemasan yang menyeruak sanubari Renjun tak dapat dilupakan begitu saja. "Kalau lo capek banget, tutup aja laptopnya, tidur dulu," imbuhnya sembari menepuk pelan punggung tangan Yangyang yang kini berada di atas pengendali kursor.
"Nggak usah, makasih."
"Lo mikirin apa, Yangyang?" tanyanya semakin khawatir.
"Nggak ada, kok. Kayaknya, efek kena hujan, tadi sore hujan soalnya. Kepala gue cuma sakit sedikit, bukan apa-apa."
"Beneran?"
"Iya, Renjun. Udah, yuk, lanjutin nugasnya. Daripada lo nanya terus dan nggak selesai, kan?" Yangyang menyungging senyum simpul, berusaha meyakinkan Renjun jika dia tidak apa-apa. "Tugas gue tinggal sedikit, lho. Sebentar lagi selesai, terus gue bisa istirahat---"
"Tidur, ya?"
"Jun ...."
Permintaan satu itu amat berat baginya, lantas Yangyang menggeleng pelan dan kembali membuat Renjun merasa tak enak hati. Ingin diberikan banyak pilihan di mana dia tidur pun, Yangyang tetap menolak. Tidak dnegan saudaranya, tidak dengan bundanya, atau tidak sendirian. Jika dia terlalu lelah, dia pasti akan memejamkan mata tanpa dia ketahui, tetapi jika tidak, tentu saja dia akan terjaga sepanjang malam dan sibuk membaca buku yang ada di kamarnya.
Hujan yang sempat mereka bicarakan pun datang kembali, menghantam benda sekitar yang menghalangi mereka. Tak kenal lelah dan menyerah, terkadang banyak hal yang dapat diambil dari hujan di kala sedang termenung, belum lagi hawa dingin menusuk ini terasa amat berbeda dari sebelumnya.
Yangyang tak sadar kala tangannya terangkat untuk mengusap lengan atasnya sendiri yang tertutup pakaian, mengusapnya perlahan sembari menenangkan diri. Belakangan ini mudah sekali baginya untuk terpancing getaran rasa tak aman dan nyaman dari sekitar sekiranya nuansa amat mencekam. Dia pun sedikit terkesiap kala Renjun berdiri untuk mendekapnya dari belakang meski dia terhalang kepala kursi.
"Lo aman di sini," bisiknya pelan dan semakin mengeratkan dekapannya. "Nggak ada yang ngambil lo dari gue, nggak akan ada, Yangyang. Gue bakal jaga lo, buat lo nyaman, buat lo bahagia," lanjutnya kala dia merasa getaran di tubuh Yangyang mulai tak sekuat biasanya. "Siapa pun nggak akan bisa sentuh lo. Mereka harus ngelawan gue dulu."
Sebagai saudara, Renjun amat menyayanginya. Dia memejamkan mata saat Yangyang mengangguk dan berani mengatur deru napasnya supaya lebih stabil. Renjun tak tahu jika Yangyang justru terpikirkan satu hal saat ini, hal yang tidak akan pernah dibicarakannya sampai kapan pun dan kepada siapa pun.
Jaemin menarik paksa sisi tali yang mengikatnya, berusaha melepaskan diri meski kakak-kakaknya terus menenangkannya di kamar. Tubuhnya kembali rentan, begitu pula dengan pikirannya. Jaemin kerap tak sadar dengan hal buruk yang dia lakukan pada orang lain, terutama di saat seperti ini. Tubuhnya di luar kendali, tatapannya tampak kosong dan tak memiliki minat melakukan kebaikan di dunia.
Xiaojun dan Hendery sudah menduga hal seperti ini akan datang dengan cepat, meski waktu cepat itu tidak pernah didefinisikan secara rinci oleh mereka berdua. Hal itu tetap membuat Xiaojun berusaha menyentuh adiknya yang masih termakan emosi dan ketakutannya hingga tindak impulsif itu menguasai hampir bagian dirinya.
Banyak yang Jaemin takuti, begitu pula dengan Yangyang. Cara penanggulangan mereka pun berbeda, siapa yang berada di sisi mereka juga tak sama. Jaemin yang mudah termakan ketakutannya hingga tak akan ambil ampun untuk siapa pun yang mengganggunya, sedangkan Yangyang hanya bisa ditenangkan dengan sentuhan dan kata-kata yang memberitahu jika dia memang pantas untuk dijaga dengan apa pun. Hal kecil yang membedakan mereka di tengah perasaan yang sama.
Perlahan, Jaemin mulai bisa mengendalikan dirinya, efek dari obat penerang yang ditelannya tadi mulai bekerja. Semua urat di tangannya tak lagi tampak jelas dan memakan pandangan orang yang berdiri di hadapannya. Pada saat ini, Hendery yang maju mendekatinya, mengusap kepala sang adik untuk menghilangkan peluh di wajahnya. Xiaojun mulai melepas ikatan di lengannya, menarik Jaemin dalam dekapan agar bisa merasa lebih baik.
Mereka saling pandang, tak tega melihat keadaan sang adik yang justru tak membaik meski sudah beberapa tahun lamanya.
"Gue nggak tega," kata Xiaojun sewaktu merebahkan Jaemin di atas bantal empuk miliknya. "Gue nggak pernah sanggup lihat dia begini, kayaknya kita harus pantau dia belakangan ini ketemu sama siapa, deh."
"Kayaknya ...."
Hendery mendengkus. "Gue bakal cari tahu nanti. Sekarang, lo tidur, gue juga bakal tidur. Lo tidur di kamar Jaemin aja---"
"Gue mau nemenin dia. Lo aja yang tidur di kamar lo."
Perkataan itu membuat Hendery mengangguk. Dia melangkah keluar usai menekan tombol mati pada sakelar lampu kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katastrofe (JaemYang) ✔
Fanfiction[Warn! B×B] Pertemuan mereka kembali menghantui Yangyang. Melihat Jaemin yang sehat serta bahagia amat menyakitkan baginya, ini adalah bencana terburuk yang pernah menimpanya. Ingin sekali dia melawan ketakutannya, tetapi dia tak berhasil. Jaemin me...