25

87 11 0
                                    

Ah sialan.

Setidaknya, itu yang Haechan katakan pada dirinya sendiri saat melihat Yangyang termenung di kursi dan terikat kuat di sana. Tatapan mereka bertemu cukup lama, Haechan tak memiliki rencana apa pun jika hal ini terjadi sehingga keduanya saling menyalahkan lewat gerak-gerik mata mereka.

"Nyokap lo," gumam Haechan masih tak ingin memberitahu yang sebenarnya. "Lo sama sekali nggak ingat, ya?"

"Penampilannya beda."

"Mukanya tetap muda."

"Tapi, ada yang beda," sanggahnya kembali hingga Haechan tertawa pelan mendengarnya.

"Iya, iya. Tapi, jari lo ... ke mana?"

Perubahan raut wajah Yangyang tampak jelas di matanya, tak ada aura persahabatan yang keluar dari tubuhnya, melainkan seolah menyuruh Haechan diam dan tak menanyakan hal tersebut. Akan tetapi, mana mungkin dia melakukannya?

"Bisa nggak usah diungkit? Gue udah berusaha lupa."

"Susah, hilang tiga soalnya." Lagi, dia tertawa pelan untuk meledek. "Gue nggak pernah nyangka justru bakal kejebak di ruangan kayak gini sama lo, cuma berdua, saling berhadapan. Kalau kita mati di sini berdua, lucu kali, ya?"

"Kenapa lo ke sini?"

"Gue---"

"Renjun nggak ada bilang apa pun ke gue," sela Yangyang lebih dulu. Haechan tampak terkejut mendengar perkataannya. "Sedikit pun, dia nggak ara ngomongin lo dan selalu ngelak kalau ngomongin lo. Gue udah curiga lo nggak masuk, belum lagi nggak ada yang tahu lo ke mana dan lo bilang izin pulang. Lo aneh. Mungkin gue nggak mengenal lo dengan baik, tapi gue tahu apa yang bakal lo sembunyiin biasanya."

Lampu yang bertengger di langit-langit tak bergoyang lagi, tandanya mereka sudah cukup lama berdiam dan tidak berteriak hingga dorongan pita suara mereka membuahkan gema yang memantul ke seluruh sudut ruangan hingga terbentur. Yangyang tak mengerti dengan jelas apa yang dia pikirkan saat ini, belum lagi melihat raut Haechan yang tampak tak bersahabat dengannya saat ini. Memang benar, kedekatan mereka tidak dikatakan sebentar, tetapi hal itu tak membuat Yangyang merasa mengenal Haechan dengan baik.

Pandangan Haechan masih tertuju ke arah kedua tangan Yangyang, tak kunjung henti membiarkan darah itu mengalir karena kehilangan tiga dari sepuluh bagian. Dia sering kali berpikir apakah nanti hal ini bisa selesai tanpa perlu menarik teman-temannya ke dalam bahaya, tetapi dia justru semakin ketakutan melakukannya sendirian. Menjaga dengan cara dari jauh memang melelahkan.

"Nyokap gue ... baik sama lo?"

"Hah?"

Yangyang mengernyit di tengah peluh yang belum dihapus olehnya. "Maksudnya? Nyokap lo?"

"Tante Wendy itu nyokap gue, Yang." Haechan mengembuskan napasnya pelan. "Bukan nyokapnya Renjun."

"Lanjutin ceritanya, jangan setengah-setengah, nanti gue nggak paham."

Dengkusan kasar itu terdengar sampai ke Yangyang hingga laki-laki itu semakin penasaran. Tidak ada hal yang lebih jelas jika hanya dia pandang, tatapan Haechan justru semakin dipenuhi kebingungan, meskipun dia tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi hingga saat ini.

Hingga, pintu kembali terbuka, berderit dan memanggil keduanya untuk menoleh. Haechan menelan susah payah salivanya yang tersangkut di kerongkongan, tetapi Yangyang justru memandang seperti biasa seolah itu adalah hal biasa dan tak akan mengganggu keberlangsungannya dalam melanjutkan hidup. Wendy tahu jelas jika ekspresi Yangyang saat ini justru menutupi ketakutannya dengan berusaha menenangkan pikiran, berusaha memikirkan rencana jernih supaya dia dapat lepas dari tempat ini.

"Bukti dari ucapan orang-orang yang cuma asal ceplos dari mulut itu ada, dan itu nyata," Wendy memulai cerita, melangkah pelan dengan sandal yang memiliki tinggi tambahan sebesar lima senti. Suara hak itu sedikit menggema meski memiliki ketukan yang seirama sesampai dia berhenti di belakang Haechan, memeluk anak kesayangannya dari belakang dengan penuh rindu. "Tapi, apa kamu pernah mikir dengan cara kamu nggak bisa jaga mulut ke orang-orang, kamu bakal dijauhi sama orang-orang dan ngerasa semakin sial?"

Pancingan itu berhasil membuat Yangyang sedikit memiringkan kepalanya, masih memandang Wendy yang kini mengusap pelan pipi temannya yang juga terikat dengan posisi berhadapan dengannya. Akan tetapi, Haechan gemetar meski dia selalu menenangkan dirinya, dia selalu merasa jika bisa saja wanita ini merenggut nyawanya saat ini juga tanpa ada rasa kasihan yang menyenggol hatinya.

Jelas sekali wajah Wendy penuh dengan kesedihan, Yangyang bisa melihatnya dengan jelas. Jika memang selama ini dia hanya memanipulasi dengan ilmu yang dia dapatkan, mengapa dia membiarkan dirinya hampir terbunuh? Atau karena dia menyadari apa itu karma dan suatu saat akan terjadi padanya? Mungkin Renjun mengetahuinya, tetapi dia berusaha menutupi hal itu hingga terus mengalihkan pembicaraan mengenai hal ini.

Namun, bisa saja Renjun sengaja menyuruh Yangyang untuk tak bertemu dengan Jaemin sebab berbagai hal dan salah satunya adalah ini? Mungkin pula Xiaojun dan Hendery menahan Yangyang supaya hal buruk tak terjadi lebih dari perkiraannya?

"Bunda mau ambil hak Bunda, kan?" Yangyang angkat bicara, suaranya menyentuh telinga Wendy hingga otaknya memberi perintah agar dia menoleh. "Hak Bunda yang terakhir itu Jaemin ...? Dari awal, Bunda mau ambil Jaemin tapi gagal?"

"Nggak heran kalau kamu itu selalu cepat selesai kalau terapi pakai puzzle, ya?" Wendy tertawa pelan usai mengatakan hal itu. Haechan tampak kebingungan. Berbeda dengan apa yang dia tangkap, Yangyang jelas tak ingin mengambil keputusan untuk menyalahkan sosok yang merawatnya beberapa tahun terakhir.

"Iya. Tapi kamu yang gagalin, Yangyang."

Senyum itu tampak amat berbeda dari biasanya, Yangyang tak sengaja mendelikkan matanya hingga wajah Wendy kembali seperti sebelumnya. "Mandi darah ..., ya? Di tempat ini, tempat yang sama dan nggak pernah dijadiin tempat paling dicurigain karena mereka pikir penculiknya udah nggak ada."

"Kenapa Bunda mau selesaiin dengan cara yang sama kayak dulu? Ada cara lain. Bunda pati tahu itu, kan?"

"Kamu mau hak kamu diambil orang lain?" Wendy menaikkan kedua alisnya, kebingungan sendiri hingga dia kembali menoleh ke arah Haechan yang masih mematung. "Kalian kebanyakan mikir, ya? Kalian nggak pernah bisa mikir secara normal tanpa perlu kaitin imajinasi kalian?"

"Bunda---"

"Kalau itu selesai, Haechan bakal pulang."

Ucapan Wendy membuat Yangyang mengatupkan bibirnya, penuh rasa penasaran meskipun dia rasa hal itu tidak masuk akal sama sekali. Terutama, Haechan yang merasa dia yang ditukar dengan ucapan yang menyakitkan, dan kini sang ibunda tampak tak peduli dengan apa yang telah dia lakukan lalu berlagak seperti korban yang amat dirugikan. Keduanya tak bisa mengerti, keduanya enggan membuka hati maupun pikiran hingga tidak dapat menerima posisi apa yang tengah Wendy dapatkan.

Kendati tangan wanita itu terkepal, Yangyang tak bisa mengatakan apa yang ada di pikirannya sama dengan kontra dari apa yang Wendy katakan. Dia tak mengerti konteks dari kata "pulang" yang diucapkan oleh wanita itu, tetapi dia lebih tak bisa menerima ucapan itu.

Sedikit pun, dia tidak bisa.

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang