12

125 15 2
                                    

Ada luka yang tak tampak di mata siapa pun, di saat itu pula Jaemin merasa dirinya akan baik-baik saja di masa mendatang. Bodohnya, semua perilaku yang dia jadikan sebagai bagaimana yang lain memperhatikannya itu menjadi timbal balik baginya sendiri.

Yangyang menatapnya dengan penuh benci, itu menyakitkan.

Jaemin bersumpah pada dirinya, siapa pun yang menyakiti laki-laki yang amat dia cintai itu, dia akan menghajarnya sesampai tubuhnya tak dapat digerakkan. Bau amis darah itu sudah menjadi temannya sehari-hari, dia sudah tidak terlalu terganggu dengan bau anyir yang menusuk indera penciumannya. Namun, dia tahu jika Yangyang bertolak belakang dengannya sehingga pasti masih ada ketakutan yang tersimpan di dalam benak laki-laki itu.

Dia bukan ingin menghalangi Yangyang dalam perjalanannya yang jelas Jaemin tahu ini merupakan kesalahan dan keputusan terburuk yang pernah pemuda itu ambil, dia juga bukan ragu jika Yangyang dapat melewatinya, tetapi masuk kembali ke tempat yang akan mengganggu kesehatan fisik maupun psikisnya, itu adalah hal bodoh. Jika sudah masuk ke sana dan menemukan hal menjanggal selama ini, lalu apa? Itu bukan urusannya, seharusnya Yangyang mengetahui hal itu, dia pintar, dia cepat belajar dan berpikir.

Tidak mungkin dia bertindak impulsif belaka dan tidak mengikuti otaknya. Mereka baru berbincang beberapa kali, dan Jaemin yakin jika dia tidak berubah sedikit pun.

Namun, dia tidak bisa mencegahnya.

Kini, dia terdiam di dalam kelas, mendengarkan celotehan dosen yang masuk telinga kanan dan hanya menumpang lewat dengan berkenala sejenak dan kembali keluar lewat telinga kirinya. Tangannya sibuk menuliskan pikirannya mengenai hal yang menjadi kemungkinan pada pikiran Yangyang. Sebisa mungkin dia mencocokkan dengan jalan pikiran dan kepribadian laki-laki itu.

Pandangannya kini berkelana ke seluruh sudut kelas, mencari inspirasi yang kabur tak kasat mata. Sayangnya, dia tidak dapat menemukannya kembali. Alhasil, laki-laki itu hanya dapat pasrah dan mengembuskan napansya pelan sembari bersandar. Ini menyebalkan.

Haechan
Gue nggak tahu lo baik apa gimana, tapi tolong kabarin kalau lo ngerasa butuh seseorang. Gue udah ngomong sama Jeno masalah yang Renjun minta.

Pesan dari Haechan membuatnya tersenyum dalam diam. Perasaannya membaik hingga kini dia dapat mendengarkan penjelasan panjang dari dosennya yang seharusnya tersisa lima belas menit sebelum kelasnya berakhir.

Seharusnya, dia menemukan cara lain agar mudah baginya untuk menyelesaikan masalah ini satu per satu. Mungkin tekadnya tidak sebesar Yangyang, tetapi Jaemin yakin jika dia bisa melakukannya lebih baik tanpa harus merasakan dorongan dari berbagai sisi yang justru membuatnya ketakutan nanti.

Ini gila, tapi gue tetap mau coba, batinnya sembari memejamkan mata.

Kala kelas usai pun, dia hanya berdiam sendirian sedangkan yang lainnya bersiap-siap untuk kelar dari ruangan. Jaemin mengerjap beberapa kali, tersadar sepinya ruangan yang dia tempati saat ini, tetapi tak membuatnya bergerak dari sana hingga dia melihat Jeno masuk dengan embusan---atau bahkan bisa dikatakan dengkusan napas. Tatapan mereka bertemu sejenak sebelum Jeno melangkah mendekatinya.

"Haechan bilang ke gue. Sebenarnya gue selalu nahan diri biar nggak ngomongin ini sama lo, soalnya lo kelihatan nggak baik kalau bahas yang dulu-dulu."

"Yangyang lebih sensitif masalah ini," katanya dan membuat Jeno mengangguk pelan. "Gimana? Lo udah bilang ke dia?"

"Udah. Gue mundurin janjinya. Jadi, kita yang pergi?"

"Iya. Kita yang pergi."

Kini, Jaemin merasa giliran dia yang harus menolongnya.

~○○○~

"Gue lebih nggak ngerti sama jalan otak lo belakangan ini. Lo tahu cerita dari Yangyang, dan gue paham dari dua-duanya. Jaemin nggak tahu salah dia apa karena Yangyang mutusin dia dengan cara nggak baik, sedangkan Yangyang tahu dia berengsek. Hidup aneh banget, ya?"

Renjun membiarkan bibirnya mulai mengenai sedotan plastik yang menancap di minumannya saat ini, dia masih memperhatikan Haechan yang memangku wajah dan membiarkan panas dari makanan yang dia pesan mulai berkurang seiring berjalannya waktu. Dia mengedikkan bahu sejenak, kemudian mengangguk pelan, setuju dengan pertanyaan yang berupa pernyataan yang terlontar tadi.

Pandangannya kini teralih ke arah pasta yang ada di mangkuk memanjang, tampak lezat, belum lagi pizza yang kini berada di antara mereka berdua, mengisi meja cokelat yang bersih. Renjun tak paham mengapa Haechan mengajaknya bertemu di sini dan makan bersama setelah sengatan kecil yang diberikannya pada Renjun beberapa hari lalu. Ini amat mengganggu, lebih mengganggu lagi karena dia justru kebingungan harus menggunakan pakaian apa untuk bertemu dengan laki-laki satu ini.

Mereka tidak dekat sebelumnya, bahkan hanya saling mengetahui keberadaan satu sama lain, tetapi tidak ada berbicara sepatah kata pun. Haechan mengetahui Renjun dan sempat berpikir akan menyukainya suatu saat, belum lagi saat mengetahui dia dan Yangyang adalah saudara, sedangkan Renjun mengenalnya dari Yangyang karena keduanya cukup dekat.

Akan tetapi, mereka tidak pernah menyadari jika presensi keduanya amat berharga bagi satu sama lain. Jika bukan masalah Jaemin dan Yangyang yang semakin rumit, mungkin keduanya tidak akan bertemu dan bicara sedekat ini. Entah bencana atau bukan, semoga ini merupakan tanda yang baik bagi menekan berdua.

"Makan duluan aja, Jun," kata Haechan saat menyadari tatapan menemaskan yang kelaparan itu terlalu jelas memberikan segala atensi pada makanan di atas meja. "Perlu gue ambilin?" Haechan tertawa pelan usai meledeknya.

"Bareng aja."

"Kenapa gitu?"

Renjun mengerjap pelan dan menatap Haechan yang kini menunggu jawabannya. "Karena ... lebih baik begitu. Daripada pusing, kan?"

"Lo lucu, ya."

Pengakuan tiba-tiba itu berhasil menarik kembali panas yang dihasilkan dari pompaan jantung cepat yang salah tingkah sehingga hangatnya ikut menjalar ke mana pun. Renjun mengernyit tak suka demi menghindari rasa canggung di antara mereka, bahkan dia cepat menendang tulang kering Haechan dengan kakinya yang terbalut sepatu putih kesayangannya.

"Lo galak," katanya sembari tertawa pelan. Kaki yang menyilang itu kini mulai menginjak lantai. "Tapi lucu, aneh."

"Lo yang aneh," ucapnya tak terima.

"Masa, sih?"

Bagaimana cara Haechan menampakkan wajahnya menjadi prelude dalam hidupnya yang baru. Renjun memalingkan wajahnya amat cepat, tak sanggup menatap mata Haechan yang kini menganggunya terus-menerus. Lagi pula, bukan salahnya merasa salah tingkah dengan tingkah manis gemini di depannya. Memang benar, gerakan tanpa gemini itu harus dilancarkan dengan cepat. Semakin ke sini, dia justru semakin dibuat acak-acakan dengan gemini Juni ini.

Renjun mengembuskan napasnya pelan, perlahan kembali menatap Haechan yang tertawa melihat reaksi lucunya. Dia merenggangkan tubuh dan mengambil garpu maupun pisau, di potongnya sedikit pizza itu untuk diberikan ke piring Renjun sebelum dia lakukan itu untuknya. Sesekali matanya melirik Renjun yang menahan senyumnya, tampak indah dan penuh dengan pesona.

Tuhan, jangan salahkan dia yang semakin jatuh hati.

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang