23

65 11 0
                                    

Terdapat satu bencana besar yang tak pernah diperkirakan akan melukai banyak orang di generasi selanjutnya. Bodohnya pula, mereka justru membuang anak mereka sendiri untuk menuntaskan janji tersebut. Janji yang tak memiliki dasar dan hanya diselimuti kebohongan belaka, bualan yang selalu menghantui setiap manusia kala mereka hendak melangkah dan meninggalkan moral mereka sendiri.

"Kemiskinan terjadi karena apa?"

Pertanyaan yang terus berputar di kepalanya kala sang anak bertanya, tetapi tak ada satu pun yang bisa menjawabnya hingga dia mengerucut, tak mengerti mengapa hidupnya terasa hampa dengan pemikiran yang menurutnya hanya sebuah dasar sebelum dia melanjutkan kehidupan di kemudian hari. Kendati rasanya seperti terbelah di satu tempat karena amarah, dia tak pernah berhasil menunjukkan amarahnya sendiri hanya karena mereka memarahinya.

Jaemin lahir di tengah kehancuran suatu keluarga yang bisnisnya mulai tersaingi, mau tak mau konsep dari pasar bebas itu dia gunakan, kemudian menjual dan mengedarkan barang terlarang untuk menyokong keuangan di balik layar. Akan tetapi, mereka termakan sebuah berita bohong yang membuat mereka mendorong anak itu ke tengah jurang yang menurut mereka merupakan kebahagiaan.

Meninggalkan anak semata wayang yang sudah durencanakan sebagai sosok yang akan menikmati siksa pahit dunia di masa kecilnya. Sering kali Jaemin berharap jika sakit yang dia rasakan berakhir begitu saja, atau mungkin suatu saat nanti dia yang akan terbunuh dengan benda tajam yang menusuk hampir seluruh tubuhnya untuk mengeluarkan darah segar atas keinginan dari sosok itu. Sosok menyeramkan yang kian datang ke mimpinya setiap malam.

Namun, Yangyang berbeda. Dia berusaha lebih tenang dan mencari celah untuk membiarkan Jaemin membukakan pintu keluar bagi mereka berdua---yang selamat dari banyaknya anak-anak yang mati begitu saja. Hanya mereka yang bisa melewati semuanya meskipun harus melewati terapi dari trauma yang mendalam. Entah apa yang akan terjadi di kemudian hari, mereka tak peduli, yang terpenting hanyalah keduanya terbebas dan dapat hidup sebagai manusia normal pada umumnya.

"Kenapa manusia terobsesi sama kekayaan? Bukannya semua yang berlebihan itu nggak baik?"

Lagi dan lagi, pertanyaan itu keluar dari mulut anak-anak yang hendak menginjak remaja. Yangyang mengerjap pelan sewaktu angin hampir memasuki matanya yang semakin mengering. Pandangannya teralih ke arah Jaemin yang tengah memangku wajah, menunggu jawaban dari ibu baru mereka yang tampak kebingungan.

"Karena hidup cuma sekali, dan mereka punya umur. Hidup itu nggak bisa tanpa uang, jadi mereka pasti lakuin berbagai cara buat dapatin uang itu."

"Habis dapat, uangnya mau diapain?"

Wanita itu sedikit mengernyit, berusaha memikirkan hal yang selama ini tak pernah terbayangkan olehnya. "Buat beli mainan, buat sekolah, buat beli buku. Banyak, kan? Karena hidup di dunia ini butuh uang, jadi mereka harus dapat uang demi bertahan hidup."

Sebenarnya hanya itu. Jaemin mengingatnya amat jelas kala Yangyang mendekat ke arah ibu mereka yang mati di tempat karena serangan jantung, meronta marah dan mengatakan dia pantas mati. Hal itu membuatnya kebingungan, tergores kembali pertanyaan di dalam benaknya; mengapa Yangyang bisa melihat sang ibu seperti manusia haus darah yang pernah mematahkan kakinya saat dia berlari? Apakah Yangyang masih merasa terluka dan tak bisa mengendalikan dirinya sama sekali hingga dia melakukan hal seperti itu? Walaupun ayah tidak marah, Jaemin yakin ada penyesalan maupun luka yang amat besar.

Namun, semuanya kembali hancur kala Yangyang terpaksa memisahkan diri darinya. Kabarnya, Yangyang akan kembali suatu saat nanti dan tak lagi merasa ketakutan jika melihat satu di antara mereka yang sempat menjadi keluarga asuhnya. Itu amat menyakitinya hingga dia tak yakin untuk tetap melakukan kegiatan seperti biasa. Belum lagi tatapannya tak sama dengan terakhir kali mereka bertemu.

Bahkan dekapan dari belakang ini amat kuat, dia menyembunyikan getaran tipis dari tubuhnya dengan mencengkeram tangannya sendiri. Jaemin sadar jika Yangyang tak pernah berani membuka dan membuang satu per satu luka yang terkumpul layaknya tumpukan sampah di benaknya. Entah dari mana keberaniannya untuk mengusapnya sejenak untuk menenangkan.

"Lo takut banget, ya?"

"Nggak!" balasnya tak kalah kencang dari belakang, sadar jika suaranya akan terbawa angin malam yang berhasil menusuk permukaan kulit punggung tangannya.

"Berhenti sebentar, ya, gue lapar."

Akan tetapi, pernyataan itu membuat Yangyang mengerjap tanpa Jaemin ketahui. Isi pikiran Jaemin sering kali sulit ditebak, bertolak belakang dengan apa yang dia inginkan, laki-laki itu lebih mengutamakan apa yang hatinya katakan, jika firasatnya buruk maka dia akan menunda hal tersebut hingga dia yakin dia bisa melakukannya. Hal itu yang terus membuat Yangyang tak pernah sanggup jika Jaemin tidak ada di sebelahnya untuk memberitahu kapan waktu yang tepat untuknya melakukan sesuatu.

Dia membelokkan kemudi motornya, berbeda dengan arah ke mana mereka harus pergi. Berputarnya roda tersebut tak secepat sebelumnya, hingga tak ada angin kuat melawan pergerakan mereka berdua saat ini. Lagi, tak ada satu pun yang sadar mengenai ingatan yang sama bersemayam di kepala mereka berdua.

"Lo mau apa? Atau mau ikut?" tanyanya sewaktu menurunkan penyangga motor supaya tak terjatuh dan dapat dia tinggalkan.

"Entahlah."

"Hei, makan dulu, ya?"

Yangyang menggeleng pelan, dia tak memiliki minat untuk mengisi perutnya, sedikit pun tidak ada. "Lo aja, gue tunggu di sini," putusnya sembari melangkah untuk duduk di dekat sana.

Kenapa Jeno kasih tahu Jaemin masalah ini? Seharusnya jangan ....

Puncak frustrasinya adalah di saat dia tidak bisa menahan diri untuk mengutamakan apa yang hatinya pinta, tak sesuai dengan rencana yang telah dia buat selama ini. Pandangannya kembali mengawang langit gelap tanpa adanya titik cahaya yang dia harapkan. Apakah malam ini menjadi panjang, dia tidak tahu. Jelasnya, dia hanya ingin semuanya selesai dengan sempurna, bukan seperti ini.

Saat itu, Yangyang selalu yakin jika Haechan memiliki urusan yang jelas sama dengannya, tanpa mengandalkan banyaknya bukti, dia yakin aksiomatis bisa membuka jalan untuk mereka---anak-anak yang sedang tertahan tanpa alasan yang tak dia ketahui. Jika saja mudah untuknya melawan diri sendiri, dia pasti sudah melakukannya sedari dulu.

Kaleng dingin yang tertempel di pipinya membuat dia menoleh, mendapati Jaemin yang meneguk kopi kalengan yang sama seperti yang diberikan oleh laki-laki itu. Yangyang menerimanya tanpa berpikir untuk menolak pemberian Jaemin, hingga lawan bicaranya saat ini duduk bersebelahan dengannya, mengambil ponsel di dalam tas untuk memeriksa pukul berapa saat ini.

"Makasih."

Ucapan Yangyang berhasil membuat Jaemin menoleh, dia hanya tertawa pelan tanpa menjawab, kemudian kembali menikmati kegiatan meneguk kafein itu dengan rasa bahagia. Dia tampak amat menggemaskan jika seperti ini, Jaemin tidak berbohong jika Yangyang sama sekali tak berubah.

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang