15

106 14 0
                                    

"Gue nggak nahan diri lagi. Lo bisa kapan? Gue bisa kapan aja."

"Pelan-pelan bisa, nggak?" Dahinya yang sedari tadi mengernyit pun kini tampak lebih baik, tetapi kedua matanya terpejam, tampak jelas dia menarik napas amat panjang dan mengembuskannya tak kalah panjang. "Yangyang, Jaemin pun desak gue begitu. Apa mau kalian berdua aja yang pergi? Sumpah, ya, gue capek sendiri berurusan sama kalian. Kayak, please? Kita masih punya banyak waktu, bahkan lo awalnya juga nggak mau---"

"Gue udah berubah pikiran. Kenapa lo nggak pakai gue buat umpan biar dia keluar? Emang, dia butuh anak di bawah dua belas tahun, darahnya, dia butuh darahnya. Cuma, kalau nggak gue yang dijadiin umpan juga susah. Jangan bawa Jaemin. Sampai kapan pun. Kalau dia sampai nyentuh Jaemin, gue nggak segan bunuh dia di saat itu juga."

Ucapannya penuh penekanan. Jeno hanya bisa mengatur napasnya dan menepuk pelan punggung tangan Yangyang yang kini wajahnya memerah. Dia tahu jika semua yang menyangkut Jaemin pasti akan membuat Yangyang sensitif suatu saat nanti, dan kini sudah terbukti. Memang, hubungan aneh keduanya membuat dia sakit kepala. Apa yang terjadi dan apa yang ada di pikiran mereka berdua, Jeno tidak bisa habis pikir. Ada-ada saja, dia lelah dengan drama remaja seperti ini.

Yangyang mengalihkan pandangannya sembari mengerucut, wajahnya tampak imut jika dilihat dekat seperti ini, pantas saja Jaemin tak bisa lepas memperhatikannya setiap kali mereka tak sengaja melihat Yangyang. Jeno mengembuskan napasnya kembali, mengusir pikiran buruknya jika sewaktu-waktu itu dapat terjadi di luar kendalinya nanti. Itu akan menyeramkan.

Lebih tepatnya, hidupnya berada di ujung tanduk.

"Gini, gue bukannya mau bahas yang dulu, cuma keingat---"

"Sama aja!"

Sepertinya, lebih baik dia mengganti pembahasan. Jeno menelan salivanya yang tercekat di tengah kerongkongan. Dia mengangguk pelan sebagai penerimaan semua perkataan Yangyang yang tak lagi bisa dia lawan.

"Kalau gitu, minggu pertama, hari Rabu?"

"Oke."

Ternyata, begini doang selesai, ya?

Embusan napas lega yang tak terlihat jelas di mata Yangyang tak membuatnya bingung. Laki-laki itu kembali sibuk dengan kegiatannya yang sedari tadi tertunda karena berbicara dengan Jeno. Tatapan matanya tak lepas dari laptop di meja, sesekali dia meneguk kopi di dalam gelas yang luarnya sedikit berembun.

Tangannya tak bisa berhenti mengetikkan sesuatu, menggeser kursor, atau bahkan bibirnya ikut berkomat-kamit sesampai cetakan kernyitan di dahinya tampak jelas. Dia tak tahu apa yang dicari Yangyang saat ini, hendak bertanya pun jadi terpikir dua kali.

Sungguh, dia sering kali bingung dengan tingkah laki-laki di depannya saat ini.

~○○○~

"Kosong banget mata lo," gumam Haechan saat duduk di sebelah Jaemin yang masih memperhatikan laptop terbukanya sedari tadi.

"Lo ada ngomong sama gue?"

Lupain ajalah .... "Nggak. Gue cuma bilang, kosong banget mata lo."

"Oh?"

Dia tidak bisa sadar sepenuhnya sekarang. Jaemin mengembalikan fokusnya kepada dua buku yang bertumpukan di sebelah laptopnya, tertutup rapi tanpa adanya coretan pula di buku cacatannya yang terbuka lebar. Pandangannya tidak bisa seperti biasa, dirasakannya angin dari pendingin ruangan yang membuat tubuhnya sedikit menggeligis di tempat.

Pikirannya tak henti dari bagaimana hari itu terjadi, dan kini dia tak bisa bertemu dengan Yangyang. Jaemin tahu, usai hubungan berakhir dia akan merasakan kekosongan sebab tak terbiasa sama sekali, tetapi kini dia justru merasa kekosongan itu tidak dapat dihilangkan sama sekali. Andai saja dia berhasil menahannya dan mengatakan jika perasaannya tidak pernah terluka jika mereka tetap bersama.

Kegelapan yang bersarang di dalam hatinya tidak akan pernah sirna---itu hanya omong kosong Jaemin selama ini karena dia membenci untuk merelakan segala kenangan manisnya. Tangan Yangyang yang biasa dia genggam dan menghilang dalam jangka waktu yang cukup lama, tetap saja tidak bisa tergantikan oleh apa pun.

Jaemin benci jika ciuman terakhir mereka benar-benar terjadi saat itu.

Namun, dia lebih benci dirinya jika dia tak bisa menarik Yangyang dari bahaya.

Pandangannya kini teralih ke arah laki-laki yang duduk di sebelahnya, membuka laptop tanpa bersuara, seolah tak sadar jika laki-laki di sana merupakan orang yang selalu menghindar darinya. Mereka saling menatap, tetapi tidak ada yang bergerak atau berpikir untuk berpindah dari sana.

"Gue nggak akan ganggu lo, anggap aja gue orang asing."

Namun, perkataan itu justru menusuk hati Jaemin amat dalam. Meskipun pada akhirnya dia tetap terdiam dan berusaha fokus, dia juga tidak mengerti mengapa dan apa yang Yangyang lakukan di sini dengan laptopnya---tentu saja mengerjakan tugas, tetapi mengapa? Banyak tempat kosong yang bisa dia tempati saat ini.

Ketukan pulpen di pelipisnya membuat Jaemin melirik secara diam-diam, dia benar-benar diabaikan dan begitu pula yang harus dia lakukan. Menganggap Yangyang tidak ada di sebelahnya, dia tidak bisa melakukannya. Dia ingin menarik tangan laki-laki itu, kemudian mengajaknya pergi dari sini, bicara berdua dan benar-benar menyelesaikan segalanya.

Tidak, dia tidak ingin menyelesaikan hubungan mereka, tetapi mengenai masalah yang sama-sama sok ingin melindungi lewat keegoisan mereka.

"Jaem?"

Haechan sadar jika ada getaran tipis di kedua tangan laki-laki di sebelahnya, mengundang atensi Yangyang yang menatapnya heran. Napasnya mulai tersengal, tatapan yang tertuju ke arah meja dipenuhi dengan buram lewat air mata yang kini melapisi penglihatannya. Jaemin masih berusaha menahan diri, mengatur pikirannya, dan terus mengatakan jika dirinya akan baik-baik saja.

Hal itu membuat Yangyang menggenggam tangannya, mengusap lembut punggung tangan Jaemin lewat ibu jarinya. Mereka kembali bertatapan, ada seulas senyum lembut menenangkan yang tertuju kepada Jaemin, dia terdiam dan mulai mengikuti bagaimana Yangyang mengajaknya mengatur napas, tanpa suara, menahan beberapa detik sebelum dikeluarkan lewat mulutnya. Perlahan, hal tersebut berhasil mengalahkan ketakutannya. Jaemin tidak mengerti mengapa bisa hal ini terjadi lagi, dia sudah lupa dengan semuanya sementara waktu.

Dia seperti ini karena masih memiliki rasa, Jaemin tidak menyadari hal tersebut. Semakin erat genggamannya, Yangyang menyungging senyum dn kembali menatap laptopnya yang terbuka. Tangan yang terbebas mulai sibuk menggerakkan kursor, sedangkan Jaemin mulai menuliskan kembali apa yang dia cari.

Haechan yang berada di sana pun hanya bisa terdiam dan memaklumi keduanya yang memang tak pernah bisa melepaskan satu sama lain. Meskipun hal ini cukup menyebalkan baginya, tetapi bukanlah masalah besar.

"Gue kangen sama lo," bisik Jaemin lebih dulu dan membuat Yangyang kembali menoleh. "Jangan pergi ... gue mohon, Yang ...."

Akan tetapi, permintaannya tetaplah sama. Namun, Yangyang juga tidak akan berubah pikiran pula.

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang