27

94 11 0
                                    

Tak biasa mengenai gempitaang justru semakin kuat, memenuhi seluruh ruang gendang telinga tanpa ingin angkat kaki. Penuh dusta mengenai kenyataan yang dibongkar secara paksa demi meluruskan asupan yang menjanggal selama beberapa tahun terakhir. Siapa pun yang kini menjadi saksi bisu perjuangan, perkembangan, bahkan kewalahan dari menentang apa yang telah ditetapkan, mungkin menyadari hal apa yang akan terjadi sebentar lagi. Mungkin hitungan detik, ataupun hitungan menit.

Sedari tadi, plasma merah itu tetap mengikuti ke mana arah terjunnya teman mereka melewati kayu yang masih berdiri kokoh untuk menjadi batalan tempat beristirahat seseorang. Namun, kini semuanya justru berbeda, tepat saat Wendy memutuskan untuk melepaskan satu per satu tali yang mengikat anaknya, tanpa pembicaraan apa pun karena dia tersadar jika Yangyang sudah mengetahui semuanya. Demi mengurangi rasa sakit dari luka yabg terbuka, dia mengusap pelan punggung tangan anaknya, melihat jika ruas jari di sana tak lagi tampak di matanya, entah di mana kuku tipis indah yang selalu melindungi ujung jemari anak itu berada.

"Pergi, ya?" pintanya sebelum menoleh ke arah Haechan. "Anggap ... kamu berhasil."

"Bunda ...?"

"Bunda mau di sini. Jadi, anggap aja semuanya selesai---"

"Ikut pulang, Bunda."

Awalnya, Wendy pikir suara itu berasal dari anak angkatnya, tetapi suaranya terdengar amat berbeda hingga dia menoleh ke belakang, mendapati Haechan yang tak lagi ragu untuk menatapnya.

"Ayo, Bunda ikut pulang." Haechan mengulangi perkataannya, lamun Wendy justru terdiam di tempat dan enggan bergerak.

Semakin kuat sirine di luar, Haechan justru mengepal tangannya, kembali bimbang untuk ikut menarik ibunya atau justru pergi dengan Yangyang sekarang juga. Namun, gelengan dari kepala Wendy membuatnya semakin membulatkan tekadnya untuk mengalungkan lengan Yangyang ke bahunya, mengajak lelaki itu untuk keluar dari tempat ini.

"Tolong sampain maaf ke Jaemin, meski Bunda nggak pantas dimaafin."

Ucapan terakhir itu tak diiyakan oleh siapa pun, baik Haechan maupun Yangyang berusaha menahan diri agar tidak sengaja melepas perasaannya yang masih mengambang di perbatasan. Mereka tak berbicara sama sekali, dipenuhi teka-teki yang tak terpecahkan hingga saat ini. Meskipun begitu, keduanya tak perlu merasakan ketegangan yang sama seperti tadi.

Gelapnya malam dihadiahi dengan embusan angin dingin menggerakkan lukanya yang semakin perih. Haechan tahu kain yang membalut tangan Yangyang tak akan bertahan lebih lama lagi, laki-laki itu harud cepat dibawa ke rumah sakit demi mendapat pertolongan lebih lanjut. Sudah lama tak memiliki waktu untuk berdekatan seperti ini, Yangyang merasa perasaannya menghangat, diliriknya Haechan yang masih membantunya berjalan, sosok yang tak pernah berbau sedari dulu dia bertemu.

"Maaf," gumam Yangyang hingga Haechan berdeham kebingungan. "Seharusnya nggak begini. Seharusnya gue paham. Maaf, gue kacauin semuanya."

"Nggak, lo nggak salah. Maaf, gue selalu bohongin lo juga."

"Lo sama Renjun, gimana?"

Haechan menyungging senyum tipis, dia tak menjawab hingga mereka bertemu dengan yang menunggu di luar sedari tadi. Merasa bangga karena berhasil keluar meski dia tahu jika tadi amat berbahaya, Haechan juga berhasil mengetahui sedikit dari kebenaran yang selalu dia cari selama ini. Perasaannya mengambang, dia tak tahu sayang atau benci yang mendominasi dirinya saat ini. Dia yakin jika nantinya kata-kata berdasarkan kutukan atau hal bodoh lainnya akan menghilang begitu saja, dan ibunya terlalu termakan oleh apa yang orang-orang katakan.

Kala mereka sampai, Jaemin mengusap pelan kedua belah pipi Yangyang, tatapannya kelewat khawatir hingga dia tak bisa berkata apa pun. Meskipun begitu, Yangyang hanya menyungging senyum untuk menenangkannya, berbeda dengan Jeno yang langsung menyuruhnya masuk ke dalam mobil agar di antar ke rumah sakit karena mengerti jika luka yang Yangyang dapatkan sudah cukup parah.

Setidaknya dia belum mati, itu yang disyukuri Jaemin sekarang.

~○○○~

"Lo pernah kepikiran buat mutar memori lama, Chan? Meskipun itu bencana yang besar?"

"Hm?"

Renjun merenggangkan tubuhnya saat bangkit dari ranjang, mengambil kausnya yang sengaja dia lepas malam tadi karena kepanasan. Dia kembali menatap Haechan yang tengah beradaptasi dengan cahaya yang masuk melewati celah tirai jendela kamar, tampak menggemaskan sosok saudara jauhnya yang kini justru membuatnya merasa kelimpungan. Satu per satu hal yang Haechan jelaskan malam itu benar-benar membuat kepalanya sakit.

"Gue nggak mau punya memori jelek, tapi kalau nggak ada memori jelek, lo nggak akan berkembang, kan? Jadinya gue suka bingung, apa lebih penting gue yang sekarang, atau gue yang harus belajar dari kejadian nggak enak?"

"Lo udah belajar dari kesalahan tanpa lo tahu, Jun. Sering begitu, bukan?" Haechan ikut bangkit, duduk di tempat dan memperhatikan meja belajar yang terdapat laptop mati di sana. "Karena lo melewatinya, lo lupa, lo nggak mau mengulang, lo belajar dan lebih banyak belajar dari yang lo pikir."

"Masa, sih? Gue nggak merasa begitu."

"Iya, Renjun. Udah. Ayo, katanya mau jenguk Yangyang?"

"Lo aja belum pakai baju!"

Haechan tertawa pelan mendengarnya, dia mengusap pelan punggung Renjun yang kini duduk di pinggir ranjang, kemudian bersandar di sana sembari melingkari pinggang laki-laki itu, mendekap erat dari belakang dan membiarkan aroma khasnya tercium dan membuat bekas di dalam pikirannya supaya dia dapat mengingatnya setiap saat. Dia tak tahu jika Renjun tersenyum meski tak memberikan balasan apa pun, tak berbicara seolah dia sudah lelah, atau bahkan menoleh karena marah. Haechan sadar jika keberadaan Renjun memang merupakan hal terindah di dalam hidupnya yang berengsek.

Walaupun perbincangan malam itu amat menyakitkan bagi Renjun, Haechan tetap berusaha menghiburnya, mengatakan jika tak masalah dan dia tetap menyayangi laki-laki itu agar perasaan Renjun membaik. Namun, pelangi kecil tanda kebahagiaan itu tak kunjung muncul hingga mereka kewalahan lalu tertidur di satu ranjang tanpa ada kegiatan khusus. Renjun tak tahu jika Haechan akan menjelaskan semuanya dengan cara seperti itu, mulut manisnya terus mengganggu hingga dia candu akan perkataan manis yang tertuju kepadanya.

"Gue sayang sama lo," bisik Haechan membuka perbincangan kembali sembari mengeratkan dekapannya. "Tolong jangan pergi lagi, ya, Jun?"

"Nggak. Gue nggak akan pergi." Renjun membalas amat lembut.

Tangannya mengusap pelan punggung tangan Haechan yang tengah berdeham dan semakin jadi mengganggunya. Dia ingin marah sekarang karena kesabarannya dipermainkan di pagi hari yang indah ini. Untung saja dia bisa mengganggu Haechan dengan cara yang lebih menyebalkan hingga laki-laki itu sedikit mengerucutkan bibir usai cubitan di lengannya amat kuat dan meninggalkan bekas. Tatapan Renjun membuat Haechan tak lagi melontarkan protes, dia hanya bangkit dan mengambil pakaiannya di lantai untuk bersiap keluar dan membasuh tubuh.

Kala Haechan keluar dari kamar pun, dia menoleh ke arah nakas, melihat foto dengan tiga personil keluarganya yang selalu dia harapkan adalah keluarga yang amat membahagiakan. Sayangnya, dia salah.

"Udah, ayo pergi dan minta maaf langsung ke Yangyang!"

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang