24

85 11 2
                                    

Yangyang mengingat dengan jelas kala derit pintu membuat lamunannya terbuyarkan, tersita segala atensinya kepada sosok yang membukakan pintu itu, hingga dengan cepat dia menarik Jaemin mendekat dan tidak pergi jauh darinya. Hanya berdua, di ruangan sempit yang biasa terkumpul banyaknya anak-anak, entah penuh dengan tangisan, ketakutan, atau keputusasaan yang tak biasa untuk anak yang suka berimajinasi di usia sebelum dua belas tahun.

Kini, hal itu kembali padanya dalam kondisi yang terduduk di atas kursi dan terikat. Harapannya hanya satu; semoga Jaemin berhasil pergi dan tak akan kembali karena itu akan menyakitinya.

Celah cahaya yang menghampirinya lewat pintu tadi sudah menghilang, Yangyang menoleh dengan kepala amat berat, entah sebanyak apa darahnya keluar dari berbagai sudut tubuh yang terluka hingga pandangannya tak dapat jelas. Dia tak dapat merasakan jari tangannya sama sekali, bahkan suaranya enggan keluar sama sekali sedari tadi. Yangyang tak tahu harus membiarkan kepalanya sibuk memutar memorinya di tempat atau memilih untuk memikirkan hal baru supaya dia merasa lebih baik dari sebelumnya.

"Bukannya kita baru ketemu tadi, ya, Yangyang?"

Jelas dia mengingat wajahnya dengan baik, hampir membunuhnya, tetapi semuanya tersangkal begitu saja setiap kali pikirannya tertuju pada satu hal; dia harus membalas jasa dari seseorang yang ada di depannya saat ini. Andaikan saja itu tak mudah, dia pasti akan membaik, dia pasti tidak akan memilih untuk menoleh ke orang lain yang menjadikan mereka amat jahat.

Dia tak mungkin dengan mudahnya memotong tali persaudaraan.

"Kamu, kok, nggak jawab?" Wanita itu sedikit menunduk, membalas tatapan anak itu tanpa ada emosi yang tampak lewat kilatan netra indahnya. "Kenapa? Masih sakit? Tangan kamu masih sakit?"

Bukan ini yang seharusnya terjadi.

"Kamu udah ingat semuanya, kan? Kamu masih kerasa dibohongi?" Tawa itu terdengar kuat meski wanita di hadapannya tak mengeluarkan banyak tenaga untuk mengeluarkan suara indah yang kini amat menyakitkan di telinga Yangyang. "Aneh, ya. Kamu menjauh dari orang yang seharusnya kamu dekati, tapi waktu kamu udah jauh sama dia kamu justru mau tetap dekat. Kamu kenapa?"

Dia mendekat, berhenti tepat di telinga laki-laki itu. "Kecewa karena mikir mama kamu yang jadi dalang hal ini?"

"Aku lebih kecewa waktu ingat siapa orang yang terobsesi sebesar itu ternyata hidup satu atap sama aku," katanya.

Tangannya gemetar hebat meski masih terikat di sana, masih terasa jika putusan tulang yang menghilang setengahnya tampak mengambang. Sebisa mungkin napasnya dia atur setenang yang dia bisa, mengisi tenggorokannya perlahan meski ada yang keluar kembali, bertahan sebisa mungkin untuk berpikir keluar dari tempat ini.

"Bunda."

~○○○~

"Gue ingat jelas kenapa gue menjauh dari Renjun waktu itu." Haechan mendengkus penuh frustrasi. "Sampai akhirnya gue yakin suatu saat nanti gue bisa bilang ke dia yang sebenarnya."

Jeno masih mencerna setiap perkataan Haechan, tetapi tetap saja tak semua dapat dia terima dengan baik. Belum lagi, di malam hari adalah waktu di mana seharusnya dia beristirahat meskipun firasatnya mengatakan akan ada hal buruk jika dia tidak pergi, tidak memungkiri jika dia butuh tidur saat ini juga.

"Tante Wendy itu nyokap gue, bukan nyokapnya Renjun. Kita ditukar ... karena gue nggak bisa jaga rahasia, sedangkan Renjun emang anak pendiam dan penurut."

"Tunggu, kalau lo bilang masalah persembahan, maksudnya?"

Haechan menoleh kembali, menelaah tatapan mata Jeno yang jelas penuh dengan kebingungan. "Ada anak dari darah murni, darah dari hasil adik-kakak yang katanya bisa memutuskan kutukan. Sebetulnya, mereka kemakan gosip aja, kutukan bodoh kayak gitu nggak pernah ada, guna-guna atau apa pun itu sebetulnya cuma sugesti yang kebetulan kejadian, akhirnya ... begitu."

"Dan ... anak itu?"

"Jaemin---"

"Heh! Lo berdua!"

Sosok yang mereka bicarakan datang dengan meminggirkan motornya, entah ke mana pelindung kepala yang dia gunakan tadi, Jaemin sudah merasa benda itu tak lagi penting. Pandangannya tak terarah sama sekali, dia tampak kewalahan di tengah peluh yang terus menetes dan gagal dihilangkannoleh angin malam yang amat dingin.

"Gue ... Yangyang ...."

"Napas dulu, bisa nggak?" Haechan mengernyit heran, tetapi hal itu tak diindahkan Jaemin sama sekali. Lantas, sewaktu tatapan mata mereka bertemu, kedua bahunya dicengkeram erat sembari napas tersengal itu tak kunjung stabil.

"Yangyang ... masuk duluan tanpa gue tahu. Gue cari dia ke mana-mana pun nggak ketemu---"

"Kenapa bisa?"

"Nggak tahu! Dia bilang mau beli makanan sebentar, tapi nggak balik, terus gue keingat di sana ada jalan pintas lewat pagar rusak di belakang sana."

"Di mana?"

"Belakang minimarket---Chan!"

Haechan tahu jika hal ini memang akan terjadi, tetapi tidak secepat ini. Semua perkiraannya memang tidak pernah salah, lagi pula dia sendiri yang memancing terjadinya perang dingin antara kedua temannya dengan masa lalu mereka. Jika saja dia memiliki kesempatan untuk mengucap maaf, dia ingin menyampaikan itu lebih dulu kepada Yangyang, semua luka yang didapatnya benar-benar menyakitkan.

Namun, jika dia tidak memancing perkara, semuanya akan semakin rumit. Haechan tahu jika Yangyang jauh lebih cepat mengerti darinya, tetapi perihal menyusun strategi tentu saja Haechan lebih darinya. Hal itu membuat kakinya tak berhenti melangkah, masih sibuk saling mengejar di tengah dinginnya malam, lelah yang mengeluarkan keringat sebesar biji jagung dan menyerap ke pakaiannya saat ini. Deru napasnya tak stabil, tetapi tak dapat dikatakan terengah pula, hingga dia sampai ke tempat yang Jaemin katakan tadi.

Perlahan, Haechan melangkah masuk melewati pagar kawat yang rusak sembari menelan salivanya. Dia tak berbohong jika dirinya juga takut jika bertemu langsung dengan sang ibu setelah sekian lama.

Gelap gulita yang memakan tubuhnya membuat Jeno yang baru sampai langsung mengikuti Haechan dari belakang. Langkahnya tak kalah pelan dan berhati-hati dari temannya, meskipun begitu dia sempat mengirimkan lokasi yang tengah mereka tempati saat ini. Dia menengadah, memperhatikan bulan yang baru saja tampak sebab tak lagi ada gumpalan awan yang menutupinya.

Tidak, firasatnya tidak baik hingga dia memutuskan untuk menatap ke arah Jaemin yang menggeleng lemah di sana. Bukan hanya dia yang merasakannya, hal ini benar-benar tidak akan baik-baik saja. Seharusnya dia dapat menahan Haechan sebelum tangan laki-laki itu menyentuh pohon besar yang berada di sana, merasakan lembabnya kayu tebal tanpa merasa ada yang tidak beres.

"Haechan!"

Akan tetapi, tetap saja Haechan menyadarinya lebih dulu hingga dia bisa menghindari dari patahan kayu yang hampir menimpanya tadi. Jeritan Jeno mengganggu telinganya, jiksa saja dia boleh berkata jujur mengenai hal itu.

"Aman." Haechan menaikkan ibu jarinya di tengah tangannya yang sedang terkepal. "Sekarang, gue duluan yang masuk."

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang