05

209 25 0
                                    

"Gue nggak suka kejebak di situasi begini sama lo."

"Lo nggak sendiri."

Harus duduk bersebelahan karena menaiki bus untuk perjalanan pulang merupakan hal terbaik yang dapat mereka lakukan, Yangyang tak menyangka jika Jaemin memiliki pikiran yang sama dengannya. Alhasil, keduanya duduk bersebelahan, berusaha sibuk dengan ponsel masing-masing tanpa ingin melanjutkan pembicaraan tadi.

Yangyang melirik, melihat apa yang Jaemin buka untuk menghabiskan waktunya, dia menyungging senyum kecil karena tersadar permainan yang dilakukannya sedari dulu tak pernah dihentikannya. Mata Yangyang kembali tertuju ke ponselnya, menatap banyaknya huruf di sana yang membentuk rentetan kata yang dapat dia cerna dengan baik. Tanpa senyum, tanpa suara, dia kembali membaca buku elektronik dari sana.

Meski bus tidak menunjukkan laju yang mempersingkat waktu sampai mereka, keduanyabtetap setia berada di tengah kecanggungan dan berusaha menganggap jika tidak ada siapa pun di sebelah mereka. Yangyang ingin sekali mengutuk semua orang saat ini, sedangkan Jaemin amat menyesal karena tak menerima tawaran pulang bersama dari Hendery tadi.

Seharusnya, dia melakukan hal itu.

Yangyang turun lebih dulu darinya, bahkan di mana laki-laki itu tinggal saat ini, Jaemin tidak mengetahuinya. Banyak hal yang Yangyang tutupi daringa selama beberapa tahun terakhir, sentuhan tangannya tak lagi terasa. Jaemin hanya menggenggam angin kosong, sedangkan Yangyang berusaha tak peduli akan hal tersebut.

Mereka saling tertoreh luka, tetapi Yangyang memilih jalan bertolak belakang dengan Jaemin, menyakiti dirinya sendiri, dan menyakiti laki-laki itu.

~○○○~

Gerakan tawa ekspresif itu tak bersuara, memperhatikan bagaimana dinosaurus yang melompat setiap kali dia menekan tombol spasi di laptopnya, Yangyang bahagia. Dia tak peduli dengan tugas menyebalkan yang sudah membuat kepalanya berat dan hendak membanting segala barang yang ada di dalam kamarnya, yang terpenting permainan kecil di sini amat membahagiakan sudah cukup melawan stres yang terpendam.

Awalnya, Renjun hendak mengajak dia keluar dan makan bersama, tapi melihat wajah berseri itu, dia tak tega menghancurkannya. Alhasil, dia kembali keluar dari kamar saudaranya, pergi ke meja makan sendirian dan melihat ibunya yang sudah selesai menyiapkan makanan.

"Lho, Yangyang ke mana?"

"Main," jawabnya sembari duduk tepat berhadapan dengan ibunya saat ini. "Jarang-jarang dia main, biasanya marah kalau lagi pusing. Mukanya juga bahagia banget, Renjun nggak enak ganggunya," lanjutnya saat dia mendapat posisi nyaman.

"Baguslah," kata Wendy yang kini merenggangkan tubuhnya.

"Tetap mau kupanggilin, atau nggak usah?"

"Kamu lapar banget?"

"Nggak juga. Aku bisa nunggu sebentar lagi---lho?"

"Baru diomongin, udah keluar aja." Wendy tersenyum manis dan menyuruh Yangyang duduk di sebelah Renjun, laki-laki itu hanya tersenyum dan mematuhi perintahnya.

"Tumben main?" Renjun menoleh ke arahnya, mengernyitkan dahi.

"Pusing. Awalnya mau tidur aja, tapi nanggung jam makan malam, terus due date-nya ... mepet. Mau nggak mau harus tetap dikerjain." Pandangannya teralih ke arah Wendy yang kini ingin menyibukkan diri dengan makanan di hadapannya. "Bunda, besok ... boleh, ikut?"

"Rumah sakit? Ada apa? Obatnya habis?"

Yangyang menggeleng pelan. "Mau konsultasi lagi rasanya. Ada yang aneh, tapi nggak jelas itu apa."

Anggukan kepala Wendy membuatnya lega, dia tersenyum manis dan melanjutkan untuk sesi makan malam di tengah suara dentingan  dari alat makan dan piring yang dia gunakan. Yangyang masih sibuk dengan pikirannya, bayangannya, bahkan banyaknya titik yang dia rasa perlu dikoneksikan. Meski pada akhirnya dia membuang pikiran itu demi menikmati kelezatan makanan di depannya, tetap saja pikiran itu kembali.

Renjun memperhatikannya sedari tadi, tak lepas dari gerak-gerik Yangyang yang semakin membuatnya khawatir. Tak ada luka di lengannya yang terbalut pakaian panjang, tak ada luka pula di leher yang jenjang serta tampak jelas, bahkan rambutnya tampak rapi tanpa adanya celah jika dia habis melakukan sesuatu yang bodoh. Ada embusan napas pelan karenanya, ternyata hanya firasat buruk yang hinggap di pikiran serta perasaannya saat ini.

"Besok lo ada kelas bukannya?" tanya Renjun dan langsung didapati gelengan pelan dari Yangyang. "Lho? Dibatalin?"

"Iya, diganti hari soalnya besok dosennya nggak bisa. Kenapa?"

"Cuma satu?"

"Iya, buang-buang ongkos aja kalau pergi, mata kuliahnya juga gue kurang suka. Mau titip absen, nggak enak."

"Kenapa nggak enak?" Renjun sedikit memiringkan kepalanya saat Yangyang menoleh. "Karena lo nggak masuk dan merasa berbohong?"

"Salah satunya," jawab laki-laki itu dengan kedua mata yang mengerjap pelan.

Percakapan di meja makan itu hanya didengarkan Wendy, bahkan seperti biasa hanya Renjun yang terus memancing pembicaraan di antara mereka meski Yangyang tak menunjukkan dia keberatan untuk menjawab semua pertanyaan dari saudaranya. Perlahan, pandangannya mulai berpindah kembali ke arah kedua anak muda di depannya, Yangyang tersenyum simpul, Renjun menyadarinya, itu hal yang membuatnya semakin lega.

Mungkin respon Yangyang tidak selalu baik, bahkan bisa kembali tersenyum pun cukup menghangatkan perasannya. Akan tetapi, dia tidak tahu bagaimana keadaan anak itu saat terpisah dari saudaranya. Mungkin, dia terlalu khawatir, atau mungkin dia terlalu berpikir buruk seolah Yangyang tidak bisa berbaur.

Hanya saja, mengingat apa yang sudah terjadi padanya, Wendy tidak pernah tega dan rela meninggalkan anak itu sendirian. Setiap harinya, dia selalu ingin menggenggam tangan kedua anak itu dan menikmati keindahan dunia bersama.

Meski Yangyang sendiri pasti menolaknya.

~○○○~

"Jeno kayak cari tahu sesuatu, Kak."

"Maksudnya?"

Jaemin menyandarkan kepalanya, menoleh ke arah jendela mobil yang tertutup dan tersiram oleh air hujan yang masih amat deras dari langit, membuyarkan kaca hingga Xiaojun memilih untuk tidak berkendara sementara waktu. Makanan di pangkuannya pun belum ada dia sentuh sedari tadi, Jaemin mengembuskan napasnya kemudian kembali menatap sang kakak yang kini bergulat bersama ayam goreng di tangannya.

"Dia banyak nanya kejadian itu."

"Itu?"

"Yang dulu. Sering, sih, bilang kalau nggak nyaman kasih tahu, cuma rasanya nggak enak."

"Lo nyakitin diri sendiri namanya kalau ngejawab. Nggak semua pertanyaan harus dihawab, Jaem."

"Tapi---"

"Gue tahu lo baik, baik banget malah, hati lo selalu gampang tersentuh kalau ada orang buat baik sama lo. Cuma, di saat kayak gini, apa nanti lo bakal baik-baik aja? Nggak, Jaem, nggak. Tolak aja, nggak masalah. Lo punya comfort zone lo sendiri, dan lo nggak harus berubah seratus delapan puluh derajat buat jadi lebih baik dan mengabaikan apa yang lo rasa. Kenyamanan lo itu utama."

Semua perkataan Xiaojun itu cukup menamparnya, dia tahu jika dia bisa menolak, tetapi hatinya terkadang memberontak untuk memberitahu. Lukanya kembali terbuka, tetapi dia tak bisa menanganinya sendiri.

"Lo berhenti self harm aja, gue udah bersyukur banget. Pasti susah, kan?" Dia kembali angkat bicara dan mendapati anggukan pelan dari kepala Jaemin. "Kalau gitu, jangan maksain diri, ya? Sekarang, lo makan, kita tunggu hujan reda baru pulang."

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang