14

101 18 0
                                    

"Terus, apa?!"

Bentakan itu nyaris tak pernah dia dengar seumur hidupnya. Yangyang bergeming, ingin menarik napas pun takut menimbulkan suara yang dia buat. Tangannya tak kuasa menahan getaran yang tertahan sedari tadi, bukan dia yang ingin marah, tetapi dia lebih takut jika semuanya benar-benar hancur seperti ini.

Dia sadar, keputusannya amat bodoh, hanya mendengar dorongan hati tanpa berpikir konsekuensi buruk yang terjadi padanya, dia merasa jika dia bisa melewatinya sendirian hingga tak perlu mengatakan pada siapa pun mengenai apa yang akan dia lakukan. Namun, kini Jaemin lepas kendali, setelah sekian lama mereka tak bicara serius seperti ini, biasanya dia akan menampakkan wajah remeh kepada pemuda di depannya, tetapi matanya pun enggan menatap.

Perlahan, alunan musik dari hening yang ada di ruangan mulai mengambil alih suasana, tampak menyakitkan setiap kali mereka tak bisa berbicara karena dorongan bodoh seperti ini. Yangyang perlahan menaikkan pandangannya, melawan takut dan meyakinkan diri jika hal ini akan membaik jika dia melewatinya.

Jaemin mengembuskan napas amat panjang, memijat keningnya sendiri hingga terdapat kernyitan di sana. Dia juga tak sadar bisa menaikkan suara seperti itu, padahal sebelumnya dia berhasil menahan diri. Dibalasnya pandangan Yangyang yang tak lepas dari peluh di wajahnya meski pendingin ruangan tetap menyala, Jaemin menarik punggung pemuda itu agar dapat dia dekap tampa pemberontakan.

"Jangan, tolong jangan." Bisikannya amat mengganggu, Yangyang tetap tak angkat bicara sesampai rengkuhan itu semakin erat. "Yangyang, kita udah lepas dari sana, kita udah aman. Kenapa lo cari masalah buat diri lo lagi? Bukannya lo minta putus karena merasa sakit keingat semua yang pernah kita lewatin? Tapi, kenapa akhirnya begini? Kalau tahu begini, kenapa lo mau banget kita putus?"

"Lo bahkan selalu nolak kita putus dan masih beranggapan nanti kita bisa balikan. Lo bahkan selalu anggap ini cuma break, bukan putus. Lo selalu nahan gue, Jaem .... Meski gue nunjukin gue benci sama lo pun, lo tetap sama."

Interval panjang menguasai keheningan, mengambil alih tugas suara mereka yang bergema di ruangan kosong dan penuh sisi untuk memantulkan suara. Yangyang tak tahu mengapa tangannya terangkat untuk membalas rengkuhan yang Jaemin berikan padanya. Pikiran mereka masih berkecamuk, di satu titik yang berupa kecemasan yang tak pernah bisa tersampaikan.

Kekhawatiran Jaemin yang membuatnya berhenti bernapas, semua itu adalah pikiran bagaimana Yangyang melanjutkan hidupnya tanpa dia ketahui, bagaimana laki-laki itu pergi dan enggan melihatnya lagi. Kasih sayangnya yang tak pernah ingin dibalas siapa pun, Jaemin hanya ingin melindunginya dalam diam, meski Yangyang terus menunjukkan rasa tak sukanya selama ini.

Sedangkan Yangyang sendiri selalu berpikir, keberadaannya akan membuat Jaemin semakin kacau, mimpi tiap malam yang mendatanginya pasti membuat Yangyang merasa bersalah. Di titik itu dia memutuskan jika berpisah adalah hal terbaik yang akan membuat mereka berkembang dan menjadikan semua pengalaman buruk itu sebagai pijakan agar bahagia. Sayangnya, rasa sakit setiap kali melihat Jaemin tertawa benar-benar mengganggunya.

Kasih sayangnya tidak pernah pudar.

Setiap kali mereka mengingat kejadian itu, mereka mengingat bagaimana rengkuhan yang mereka lakukan setiap saat di tengah isak tangis tertahan, setiap kali mereka ingat genggaman tangan yang berhasil pergi dari tempat itu, rasanya tidak nyata. Hanya ketakutan belaka sehingga tidak ada satu pun di antara mereka yang berpikir itu adalah pengalaman terburuk.

Halusinasi itu menyakitkan. Keduanya tak sanggup mengingat dan melihat jelas apa yang nyata atau tidak.

"Karena gue sayang sama lo," katanya tanpa ingin berpindah atau merenggangkan dekapan mereka. "Yangyang, perasaan gue nggak pernah pudar, sampai kapan pun tetap sama. Dari awal kita ketemu, dari awal kita kesiksa, dari awal kita mutusin buat pergi dari sana, semuanya tetap sama."

"Lo bisa bahagia tanpa gue."

"Gue nggak bisa."

Yangyang memejamkan matanya perlahan. "Jaemin, kalau ada satu yang harus luka, gue aja. Kenapa lo segala mau ikutan? Jeno nggak sengaja ngomong kalau lo mau cepat-cepat pergi ke sana sebelum gue. Kenapa? Lo takut, kan? Gue nggak takut, jadi gue aja. Gue bakal balik, gue bakal baik-baik aja."

"Kenapa lo mau ke sana? Buat siapa?"

Lidahnya kaku setiap kali Jaemin yang bertanya. Yangyang tak bisa menjawab jujur untuknya, sama sekali tidak bisa. Dia juga tidak tahu mengapa.

"Banyak yang pergi ke sana dan nggak selamat, kan? Lo tahu itu, kan? Sampai kapan pun, hal itu nggak akan berubah, Yangyang. Gue nggak mau lo pergi lebih jauh dari ini." Jaemin menarik napasnya susah payah, membenamkan wajahnya ke perpotongan leher Yangyang yang masih terdiam di posisinya. "Gue lebih nggak bisa nerima kalau lo pergi. Jadi, tolong, jangan pergi ...."

"Jaemin---"

"Sekali aja," selanya lebih dulu saat dia menjauhkan tubuhnya, "dengar, ya? Jangan pergi, Yangyang. Gue mohon ...."

Tatapan mata itu tampak sendu, perlu beberapa detik baginya untuk mengetahui apa yang ada di sana. Tertera jelas ketulusan untuk memintanya menetap, meski Jaemin selalu tahu ini tidak akan berhasil karena tingkat keras kepala Yangyang sering mengganggunya.

"Gue ... nggak bisa."

"Yangyang---"

"Urus perasaan lo sendiri. Itu bukan urusan gue," ketusnya dan berusaha menyingkirkan kedua tangan Jaemin yang menggenggam lengannya. "Gue ngelakuin ini buat gue. Kalau gue mati juga urusan gue. Kenapa lo harus ikut ribet juga? Jaem, kita udah putus. Kita nggak punya urusan apa pun. Setop cegah gue kayak begini."

"Gue nggak mau kalau kita udahan dengan cara kayak gini."

Tiada emosi meninggi saat Yangyang berbalik. Langkahnya terhenti. Tepat saat merasa deru napas Jaemin kembali menyapa tengkuknya, tanpa adanya lengan yang melingkari perutnya saat ini.

Pada akhirnya, Yangyang mengalah, dia membalik kembali tubuhnya dan menghadap Jaemin secara langsung, menyungging senyum yang sudah lama tak dia tunjukkan pada laki-laki itu. Dia semakin mendekat, mengikis jarak di antara mereka.

Deru napas yang beradu terasa hangat di permukaan kulit mereka. Jaemin menarik punggungnya kembali, kala Yangyang menagusap rahang tegas laki-laki itu.

Kejadian yang cepat terasa lambat untuk keduanya, meneriakkan rindu lewat kegiatan, merasakan kembali sensasi yang selalu tertunda, ingatan yang terus mengundang tawa karena dahulu selalu digagalkan sebab selalu tertangkap basah. Namun, kini berhasil, tanpa adanya paksaan, dalam keadaan sadar. Hingga mereka melepasnya pun tidak langsung menjauhkan wajah.

Masih terasa bagaimana liur itu bersambung, membuahkan utas. Jaemin semakin mengeratkan dekapannya, ketakutan perihal jika dia akan ditinggalkan semakin besar.

Ini menyakitkan.

Bahkan dia sudah terbayang mengenai apa yang akan Yangyang ucapkan usai hal manis ini terjadi.

"Jaemin," panggilnya amat lembut saat dia menjauhkan wajahnya, puas dengan aroma khas yang selalu dia rindukan.

"Ayo ... putus."

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang