16

82 13 0
                                    

Warn. Murder descriptions.

~○○○~

Derap langkahnya terdengar tak beraturan, berlomba dengan napasnya yang semakin terhimpit, tersengal  di tengah perjalanan. Buramnya pandangan pun tak jadi penghalang baginya untuk pergi dari sini.

Namun, batu yang menghalangi dan membuat tubuhnya terjatuh berhasil melenyapkan impiannya untuk menikmati dunia yang sudah lama tak dia lihat. Jeritan yang berisikan perintah lepas itu tak didengarnya---atau mungkin didengar dengan amarah yang meledak di dalam diri sosok yang menangkapnya. Alhasil, bunyi patahan itu terkalahkan oleh rintih yang meledak tanpa diinginkan.

Derap langkah yang tadi terus menjauh itu terhenti, menoleh ke belakang saat menyadari temannya justru tertinggal dan kembali tertangkap. Seluruh tubuhnya bergetar tak main, napasnya ikut sesak saat melihat pintu yang dianggapnya sebagai neraka itu mulai tertutup.

"Jaemin!"

"Yangyang? Ada apa?"

Kedua matanya terbuka paksa. Dia merasa sebagian pakaiannya basah yang dia yakini sebab peluh dari tubuhnya. Napas yang mulai stabil itu membuat kedua matanya kembali terpejam, sebisa mungkin dia mengendalikan diri dari mimpi yang kembali datang ke ingatannya.

Dia tak tahu jika ibunda berada di sebelahnya sedari tadi, mengusap pelan punggungnya untuk menenangkan. Senyum manis Wendy kembali membuat Yangyang justru merasa lebih baik dari sebelumnya. Direngkuhnya anak itu dengan hangat, lembut, penuh kasih sayang yang tersalur lewat usapan kasihnya.

"Bunda kenapa ke sini?" tanyanya selagi Wendy tak melepas dekapannya. "Kalau misalkan Yangyang kelepasan lagi, gimana? Nanti Bunda sakit lagi ...."

Wendy menjauhkan tubuhnya, mengambil segelas air yang ada di atas nakas kamar anaknya, tetapi Yangyang tak meneguk banyak air mineral itu karena dia tak merasa membutuhkannya saat ini. Wajahnya tampak lebih baik saat Wendy mengusap pipi anak itu dengan lembut.

"Kamu minta tolong, Bunda pikir kenapa. Bunda coba bangunin kamu, tapi kamu makin gelisah, nggak lama kamu bangun," jelasnya yang membuat Yangyang mengangguk paham. "Ada apa? Mimpi buruk lagi?" Wendy mengusap pelan peluh yang ada di pelipis anaknya.

"Iya."

"Jaemin." Wendy menelan salivanya saat melihat Yangyang mengernyit bingung. "Kamu neriakin nama Jaemin. Belakangan ini, kamu ada ketemu sama Jaemin, ya? Biasanya kamu nggak begini, Yangyang."

"Kalau ketemu ... iya."

"Perasaan kamu makin kacau? Mau minum lagi?"

"Nggak, nggak apa-apa."

Ada pertimbangan di tengah keheningan sewaktu dia melihat tirai tipis jendela kamarnya yang terdiam di tempat. Yangyang kembali mengarahkan pandangannya kepada Wendy yang kini menaikkan kedua alisnya, dia tak yakin untuk meminta izin yang jelas sekali akan ditolak oleh ibunya, tetapi dia lebih tak bisa diam saja sebab dia tahu Wendy berhak mengetahui segala kecemasannya saat ini.

Perlahan, dia mengembuskan napasnya, kembali menatap Wendy tanpa pertimbangan apa pun dan siap mengatakan apa yang bersarang di pikirannya. Jika kenyataannya Wendy akan menolak, dia akan menjelaskan dengan berbagai cara agar permintaannya diterima dengan mudah. Dia tahu ini berbahaya, dia juga mengerti tubuhnya mungkin tidak akan ingin menerima perintahnya untuk bergerak nanti. Namun, mau bagaimana lagi?

"Bunda, Yangyang mau balik ke tempat itu."

"Tempat itu? Tempat apa?"

Yangyang merasa jika tenggorokannya enggan menerima napas yang ditarik lewat hidungnya, begitu pula dengan pita suara yang enggan bekerja sebab lidahnya mulai kelu. Cepat-cepat dia menelan saliva sebelum kembali angkat bicara.

"Ke tempat penculikan itu."

~○○○~

"Gue dengar, kok, masalah sejarah orang yang mandi darah anak perawan di bawah umur, katanya bakal awet muda, kan? Awet muda tandanya tetap cantik, dan itu nggak masuk akal menurut gue. Lagian, lo kalau baik pun bakal kelihatan cantik, kok."

Yangyang menyeruput minumannya lewat sedotan yang menancap di gelas plastiknya, terasa lebih manis dari biasanya, atau lidahnya yang mulai aneh, dia tidak mengerti. Wajahnya tak menunjukkan ketertarikan sama sekali terhadap pembicaraan kali ini hingga Shotaro pun hanya memperhatikan laki-laki itu sibuk dengan minumannya, sedangkan dia memangku wajah karena menunggu pasta di atas meja sedikit dingin.

"Lo tahu yang lebih menyeramkan?" Yangyang mulai bersuara dan membuat Shotaro tampak penasaran dengan apa yang akan dia katakan. "Ada penculik yang percaya hal itu, tapi dia pakai darah anak-anak sebelum dua belas tahun. Kepercayaannya emang meresahkan warga, dia cocok jadi objek penelitian masalah sosial yang lagi booming," lanjutnya kemudian.

"Ah, iya, sempat diberitain juga. Katanya udah ditangkap, bukan? Korbannya sampai empat puluh delapan? Atau lebih?"

"Lebih."

Shotaro mengerjap mendengarnya, dia tak lagi mengindahkan Yangyang yang justru sibuk dengan mengunyah pasta yang ada di atas meja padahal itu bukan miliknya. "Lo mungkin tahu dari TV, ya. Makanya, jadi nggak tahu aslinya ada berapa. Empat puluh delapan itu yang ketemu, yang nggak ketemu? Di sana dekat hutan, dia pasti kubur mayatnya di hutan."

Yangyang mengembuskan napasnya pelan. "Di sana ada peti yang isinya paku terbalik, jadi kalau lo masuk ke sana udah pasti luka, kalau lo kedorong sama pintu yang ketutup, lo pasti mati karena semua paku di sana nancap di badan lo," katanya kemudian kembali menyeruput minuman kesukannya. "Belum lagi ada penggilas, jadi kebanyakan mereka dibuat pingsan, baru digilas biar darahnya keluar."

"T-tunggu! Gue mual!"

Ada tawa pelan dari Yangyang saat Shotaro mengatakannya. "Itu baru dua, belum yang lain. Dia terlalu niat buat jadi penjahat kelas atas. Egois banget, ya? Setakut itu dia buat jadi tua."

"Lo takut tua nggak?"

"Hm? Nggak, sih. Yang namanya umur dan manusia, pasti makin hari makin jadi, entah mukanya, kulitnya, atau apa pun, dan itu normal. Kayak, kenapa lo harus takut menjadi seperti itu padahal lo kembali ke tanah?"

Gelas plastik itu kembali diletakkannya di atas meja, sesangkan Shotaro sudah bisa menikmati makanannya sembari mendengarkan celotehan Yangyang. "Gue tahu, pemberian Tuhan emang harus dijaga, tapi nggak dengan merugikan orang lain. Gue paham psikopat nggak harus pembunuh, tapi kalau lo nggak punya hati dan merugikan orang lain pun bisa disebut demikian. Sekarang gini, lo mau hidup enak dengan tampak awet muda dan mandi darah anak-anak? Apa lo nggak mikir impian anak kecil itu gimana?

"Kalau dia selamat, apa dia nggak trauma? Apa hidupnya akan baik-baik aja dan nggak kena paranoid? Apa dia nggak terpicu sama kelainan otaknya karena ingatan dia? Halusinasi audio emang sering, tapi kalau dia kena halusinasi peraba, gimana? Dia lagi diam pun langsung ngerasa ada yang nyentuh dan narik dia, buat dia nggak bisa napas, nyayat dia. Kalau emang mau hidup seegois itu, mending punya pulau sendiri, punya anaknya sendiri. Buat aja peternakan anak di sana."

Hal itu membuat Shotaro semakin terdiam. Jelas-jelas di depannya Yangyang seolah mengungkapkan amarahnya yang cukup melantur---meski dia tak tahu apa isi pikiran Yangyang sehingga dia seperti ini.

Namun, pandangan Yangyang justru tampak melunak dan tak enak hati saat menyadari adanya tiga orang yang melewati meja mereka. Lagi, hatinya kembali terluka, mimpinya yang terus datang sehingga dia merasa harus memutuskan hubungan dengan kekasih tercintanya kembali menghantuinya.

Jaemin di sana, sempat membuat kontak mata dengannya.

Namun, Yangyang tetap memutus kontak mata mereka lebih dulu sembari mengepal kedua tangannya.

Katastrofe (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang