Chapter 4 nyusul nanti malam.
Happy reading❤️
🐢🐢🐢
Walau tidak banyak yang dibereskan, tetap saja aku dongkol. Rencanaku melanjutkan tidur batal sampai rasa kantukku benar-benar hilang bahkan saat aku berbaring di dalam kamar. Kalau sudah begini, mending aku bangun saja sekalian.
Kebetulan aku juga lapar, kayaknya makan mi enak. Tadi saat membereskan kamar, aku sekalian memindahkan mi instan yang kubawa ke lemari dapur. Ya walaupun cuma sementara, tetap saja aku sudah bayar sewa dan merasa berhak memakai fasilitas apartemen.
Aku memutar bola mata malas. Laki-laki itu ternyata sedang duduk di meja sambil menikmati sebungkus nasi padang. Padahal aku berharap tidak melihatnya hari ini—meskipun sebenarnya itu hal yang mustahil.
“Kamu cuma makan itu?”
Gerakan tanganku yang tengah mengaduk mi yang baru saja selesai kumasak terhenti ketika seseorang di belakang sana mengajukan pertanyaan. Aku menengok dengan kening mengernyit dalam lalu menunjuk kontrak di kulkas yang belum 12 jam tertempel di sana.
Entah dia pura-pura lupa atau memang pikun, aku tidak peduli. Setelah menegaskan kontrak pada poin 6, aku berlalu bersama mangkuk berisi mi yang mengepul ke dalam kamar dan menguncinya.
Terserah dia mau mencapku tidak sopan atau kurang ajar sekalian, tapi ya mau bagaimana lagi. Dia yang lebih dulu menunjukkan sifatnya yang menyebalkan. Aku cuman bertindak sebagaimana aku diperlakukan.
Aku belum sempat memasukkan sesuap mi instan ke mulutku saat ponselku bergetar, karena duduk melantai aku terpaksa berdiri untuk menjangkaunya yang berada di tempat tidur. Dari Kasih, kakak keduaku. “Halo?”
“Yel, kata Mama lo udah pindah.”
Iyel itu nama kecilku di rumah. Pemberian kakakku, Kasih. Mungkin dia sadar dengan aku yang tidak begitu suka namaku yang mirip laki-laki, makanya Kasih mulai memanggilku Iyel. Dan entah bagaimana orang rumah mulai ikut memanggilku Iyel.
Dari dulu aku paling dekat dengan Kasih. Kakakku itu adalah orang yang selalu mengerti dan baik. Jadi, setelah Kasih menikah dan pindah rumah aku merasa tidak ada lagi yang paham padaku di rumah.
“Iya, ini gue lagi di apartemen,” kataku sambil duduk di tepi tempat tidur.
“Kok enggak bilang.”
“Ngapain? Lo kan kerja.”
“Kemarin Sabtu, Yel. Libur.”
Sebenarnya aku memang sempat berencana meminta bantuan Kasih, tapi urung karena aku ingat pada ponakanku yang belum genap setahun. Dan sekarang aku benar-benar bersyukur dengan keputusanku, entah bagaimana nasibku kalau Kasih tahu teman tinggalku ternyata laki-laki. Mungkin seketika itu juga aku akan dikembalikan ke rumah.
“Ya udah sih, kan gue udah pindah. Barang gue juga enggak banyak.”
“Gue main ke situ, ya? Pengen lihat tempat tinggal lo gimana.”
Aku refleks berdiri panik. “Jangan!” Tangan dan telapak kakiku rasanya mendadak dingin.
“Kok jangan?”
Sambil memejamkan mata, aku memijit pelipisku. Alasan apa yang bisa kukatakan agar Kasih percaya dan tidak bertanya lebih lanjut. Bisa gawat kalau Kasih bersikeras datang.
Ah, aku tahu! “Enggak enak sama teman tinggal gue.”
“Dia nyebelin, ya?”
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku. Kok dia bisa tahu? Aku lalu menggeleng, bukan itu yang harus aku pikirkan sekarang, ponsel kembali kutempelkan. “Enggak, dia baik kok. Cuman gue enggak enak aja, ini baru hari kedua gue tinggal di sini dan belum akrab. Dia orangnya juga agak pemalu.”
“Oh, gitu?”
Dari respons Kasih, kayaknya dia percaya. Untuk sesaat aku bisa bernapas lega. “Iya, lo enggak usah khawatir. Dia baik kok orangnya.”
“Ya udah, gue ke sananya kapan-kapan aja.”
Aku mengelus dadaku lalu kembali duduk. “Jangan langsung ke sini, kabarin dulu. Oke?”
“Iya. Eh, Lo jangan makan mi instan mulu mentang-mentang sekarang tinggal sendiri.”
Mataku melirik mangkuk mi instanku lalu meringis. “Iya, gue makan nasi.” Aku bukannya irit atau tidak punya uang membeli makanan yang lebih sehat, tapi memang dari dulu aku suka mi instan.
Bukan cuma mi instan sih, tapi segala makanan yang bisa kumakan tanpa repot memisahkan tulang atau apa pun yang menghambat waktu makanku. Contohnya ya mi—mie instan, mi ayam, bakmi, dll, segala olahan telur, tempe, tahu. Aku suka sesuatu yang sederhana dan mudah. Itu kenapa kepiting masuk ke dalam daftar nomor 1 makanan paling kuhindari meski rasanya enak. Tentu saja. Bayangkan saja dagingnya cuma secuil, tapi perjuangannya bukan main.
“Kalau ada apa-apa, kabarin gue.”
“Apa-apa apanya?”
“Sakit atau apa kek gitu.”
“Iyaa. Assalamualaikum.” Aku segera memutus sambungan telepon. Mi-ku bisa-bisa jadi mi nyemek kalau terus meladeni Kasih. Aku tahu kakakku itu khawatir pada adik bungsunya yang sekarang telah tinggal jauh dari orangtua, tapi maksudnya aku bukan anak kecil lagi. Umurku 25 tahun. Sudah cukup dewasa untuk mengurus diriku sendiri.
Setelah menghabiskan isi mangkuk berserta kuah-kuahnya, aku keluar dan untungnya laki-laki itu tidak lagi berada di dapur. Aku mencuci alat makanku lalu kembali ke kamar. Karena tidak mengantuk, aku memutuskan memindahkan isi koperku ke lemari. Biar pekerjaanku selesai hari ini dan nanti malam aku bisa menulis. Tidak butuh waktu lama membereskan pakaianku karena aku tidak membawa semua isi lemari di rumahku. Baju-baju yang jarang kupakai dan terlalu terbuka kutinggalkan di sana.
Selesai beres-beres, aku menikmati waktu sendiri bersama ponselku. Berselancar di dunia maya dan membaca novel gratis di platform online. Sebenarnya aku bisa saja menulis, tapi ideku jauh lebih mengalir di malam hari. Apalagi tengah malam di mana suasananya mulai sepi.
Makanya menjelang gelap, sekitar jam 7 aku akan makan lalu jam 8 aku tidur. Jam 11 aku bangun dan mulai menulis hingga subuh atau pagi. Kemudian tidur lagi hingga siang. Itulah yang sedang aku lakukan sekarang. Hanya suara keyboard-ku yang memenuhi kamarku.
Sampai perhatianku teralihkan ketika mendengar suara pintu ditutup. Aku terdiam, melirik jam di sudut bawah laptop—jam 6, dan menajamkan telinga. Mungkin 5 menit kemudian, aku kembali mendengar pintu yang ditutup dan bisa dipastikan itu berasal dari kamar sebelah.
Aku menggeleng. Tidak penting, harusnya aku fokus saja menulis. Iya, aku memang lanjut menulis tapi mendengar pintu lagi-lagi ditutup, aku berhenti. Karena penasaran, aku turun dari tempat tidur dan dengan hati-hati membuka celah kecil untuk tahu kesibukan apa yang dilakukan laki-laki itu pagi-pagi begini. Pas sekali! Laki-laki itu lewat di depan kamarku dengan atribut olahraga dan topi hitam. Ah, tidak kusangka dibalik sikap menyebalkannya dia orang yang menjaga tubuhnya.
Tepat jam 7 pagi, Wira kembali sementara aku sudah berhenti menulis karena rasa kantuk yang mulai menguasaiku. Walau setengah sadar, aku masih bisa samar-samar mendengar kegiatannya di dapur diikuti bau kopi yang sampai ke kamarku. Mungkin sekitar setengah 8, laki-laki itu mandi karena aku masih jelas mendengar suara air yang seakan ditumpahkan dari kamar mandi. Kurang 10 menit sebelum jam 8, Wira akhirnya meninggalkan apartemen.
Di saat bersamaan pula, aku terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]
RomansaAriel Ananda, perempuan tulen walau namanya lebih cocok untuk laki-laki. Mengambil keputusan besar untuk keluar dari rumah. Alasannya, keadaan yang tidak mendukung profesinya sebagai penulis. Wira Hermawan, editor disalah satu penerbitan yang sangat...