chapter 33 - pulang

24.8K 3.1K 65
                                    

Happy reading❤️



🐢🐢🐢




Kunjunganku ke rumah langsung disambut riuh tiga keponakan laki-lakiku. Si sulung masih mengenakan seragam TK-nya sedang melompat-lompat di kursi sambil memegang pistol mainan, si anak tengah meladeni kakaknya dan berpura-pura mati ketika ditembak, sementara si bungsu terduduk di lantai dan menangis kencang.

Jangan anggap tangisannya adalah tangisan biasa. Anak yang baru berusia dua tahun ini punya suara tangis yang melengking mirip suara lumba-lumba. Belum lagi durasinya yang bisa memakan waktu lama. Aku yang dulunya masih tinggal di rumah dan mendengarnya menangis kadang justru merasa tenggorokanku yang perih.

Aku bergeming di ambang pintu sambil menghela napas. Sejujurnya jika boleh memilih, aku tidak mau datang.

“Leo, tante bawa mainan!” teriak Arkha si sulung ketika pandangannya mengarah padaku. Padahal dua kresek besar yang kutenteng berisi bahan makanan titipan mamanya.

Leo si anak tengah yang berbaring di kursi karena berpura-pura mati seketika itu juga bangkit dan mengikuti Arkha yang berlari menghampiriku. Aku memelotot sebelum mereka berdua berhasil mengecek kresek yang kubawa.

“Bukan mainan.”

Leo memberengut. “Tapi kata Mama, nanti tante bawa mainan.”

“Iya, Mama bilang tante beli mainan,” sambung Arkha.

Aku memutar bola mata malas. Memangnya uangku sebanyak apa sampai harus membeli mainan untuk ketiga anak ini? Aku bukannya tidak sayang sama mereka, tapi tolonglah jangan bikin anaknya berharap. Kalau begini, jadinya aku yang merasa bersalah.

Selain itu, mereka punya banyak mainan yang menumpuk di kamarnya. Mainan baru cuma mereka sukai beberapa bulan, setelah itu mainannya akan berakhir di kolong tempat tidur. Mending uangnya kugunakan untuk biaya hidup.

“Mainan kalian ada banyak, kenapa mau mainan lagi?” Arkha diam, sementara Leo tampak bersiap untuk menangis. “Mama mana?” tanyaku agar Leo mengurungkan niatnya menangis. Aku tidak akan sanggup kalau sampai ada dua bocah yang menangis.

“Mama mandi,” jawab Arkha.

Aku mengangguk. “Kalian lanjut aja mainnya.” Lalu menuju dapur untuk menaruh pesanan Tika—kakak pertamaku. Dan kembali lagi menghampiri Gio si bungsu yang masih saja menangis.

Tangisan bocah ini sedikit mereda ketika aku menggendongnya. Aku membawanya ke teras dan menanyakan alasannya menangis. Walau tak menjawab pertanyaanku, selang beberapa saat Gio berhenti menangis dan memilih memeluk leherku.

Merasa napasnya tenang, aku membawa Gio ke kamar Tika dan menidurkannya di sana. Di saat bersamaan, Tika yang berbalut handuk masuk.

“Yel, itu belanjaan semuanya lengkap?” tanyanya.

Ini pertama kalinya kami bertemu setelah aku pindah, tapi pertanyaan pertama yang diajukan malah tentang belanjaan. Bukan soal kabarku atau bagaimana aku selama tinggal seorang diri. Aku tersenyum miris lalu mengangguk. “Lengkap kok.”

“Lo enggak bawa kado buat Leo?” tanyanya lagi sembari memakai baju.

Acara makan bersama hari ini memang bukan hanya untuk berkumpul, tapi juga perayaan kecil-kecilan karena Leo ulang tahun.

“Enggak, Mama bilang kita cuma makan-makan.”

“Tapi lo tau kan Leo ulang tahun? Beliin aja gitu mainan yang kecil, biar dia seneng.”

“Minta papanya aja yang beliin.”

“Kan beda kalau lo beliin.”

“Ya udah, lo yang beliin.”

“Apa bedanya? Duit yang gue pake beliin kan uangnya papanya.” Jeda sejenak sebelum Tika kembali melanjutkan. “Ya udah sih kalau lo enggak mau. Leo anaknya sabar kok.”

Aku hanya mengangguk lalu keluar dari kamarnya. Lagi pula yang berjanji ke Leo bukan aku, tapi dia. Jadi untuk apa aku merasa bersalah?

“Yel.”

Tanganku belum menyentuh gagang pintu ketika Tika memanggilku. Aku menarik tanganku dan berbalik. “Kenapa?”

“Gue lupa belum cuci piring, lo yang cuciin dong. Oke? Gue mau nidurin Arkha sama Leo soalnya.”

Tanpa menunggu jawabanku, Tika memanggil Arkha dan Leo masuk ke kamar dan menutupnya.

Mungkin bukan lupa, tapi dia memang sengaja meninggalkan cucian piring untukku. Ini salah satu yang tidak kusuka darinya. Tika yang bossy dan merasa berkuasa di rumah ini. Seakan-akan dia yang memiliki hak penuh pada rumah ini.

Entahlah, mungkin karena dia menganggap dialah yang tertua, banyak mengerjakan pekerjaan rumah, dan bahkan memasak.

Kalau aku boleh jahat, aku bisa bilang sudah seharusnya dia mengerjakannya. Pertama, dia menumpang bersama suaminya di sini. Di rumah Papa dan Mama. Kedua, dia tidak bekerja dan seharian di rumah. Ketiga, dia terkadang masih meminta uang dari Mama. Jadi alasan apa yang menjadikannya merasa punya kuasa seakan-akan melakukan banyak hal?

Sayangnya, aku tidak pernah bisa mengatakannya di depan mukanya langsung. Aku juga memikirkan perasaannya dan kini aku tidak tinggal lagi di sini jadi aku cukup menahannya hari ini.

Walau agak berat, akhirnya aku mengerjakan apa yang Tika minta. Setelah itu aku ke kamar menunggu hari sore dan keluar lagi untuk membantu Tika dan Mama di dapur.

Malamnya, tidak ada yang spesial. Hanya makan malam bersama diselingi obrolan ringan. Beberapa kali aku diserang pertanyaan tentang keadaan apartemenku. Untungnya Kasih pernah berkunjung jadi mereka tidak sampai mencurigai sesuatu.

Sekitar pukul sepuluh, aku dan Kasih beserta suaminya pamit pulang. Walau sebenarnya beberapa kali Mama memintaku menginap. Aku berkeras menolak, bukan karena rindu Kak Wira, tapi aku sudah terlanjur nyaman dengan suasana apartemen yang sepi. Juga, keberadaan suami Tika di rumah membuatku makin yakin menolak keinginan Mama.

“Mau gue antar sampai ke atas enggak?” tawar Kasih saat aku berniat turun dari mobilnya.

“Enggak usah, aman kok,” kataku.

Meski sepi, keadaannya memang aman. Buktinya aku sampai di unitku dengan selamat. Melewati ruang depan, langkahku berhenti melihat seseorang berada di balkon. Aku mengurungkan niatku masuk ke kamar dan menghampirinya.

Kak Wira menengok saat aku membuka pintu.

“Udah pulang lo?” Kak Wira mematikan rokoknya dan membuangnya di tempat sampah.

Aku mengendus-endus sebelum bergabung dengannya. “Lo enggak mabuk, kan, Kak?” tanyaku memastikan.

“Gue berdiri setegak ini masa lo kira mabuk.”

“Memastikan,” ucapku.

Keadaan aman, aku menghampiri Kak Wira, ikut mengarahkan pandanganku ke hamparan cahaya dari gedung-gedung tinggi. Tidak ada yang bersuara, kami sama-sama diam dan menikmati kesunyian.

“Ini kan jam tidur lo, Kak. Kenapa masih di sini?” tanyaku setelah cukup lama saling diam.

Kak Wira menoleh sekilas. “Ini juga udah jam tidur lo.”

“Ah!” Aku menepuk jidatku. “Iya, ya.” Sepertinya aku belum benar-benar terbiasa.

Kak Wira tersenyum mengejek. “Pikun.”

“Manusia lupa itu wajar, Kak. Enggak selalu karena pikun.”

Kak Wira geleng-geleng. “Ngeles aja si pikun.”

Aku mendelik. “Apa sih, Kak? Lo mau gue tonjok lagi?”

“Ayo, sini,” undang Kak Wira.

Harusnya aku langsung menonjoknya tadi, tidak perlu dikatakan. Kalau begini, dia siap sedia, tidak seperti tadi pagi. Malah aku yang bakal dibanting atau dilempar ke bawah sana. “Enggak jadi. Gue belum pengen mati, Kak.”

“Lo yang mau nonjok gue, kenapa jadi lo yang mati?”

Aku menunjuk ke bawah. “Ada kesempatan buang gue ke bawah.”

“Yel, gue enggak tega nyakitin lo,” ujar Kak Wira.

Kenapa aku merasa maksud dari perkataannya bukan menyakiti dalam artian melemparku ke bawah, ya?

Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang