Happy reading❤️
🐢🐢🐢
"Halo, Mah?"
Sembari terus mengayunkan kedua kaki, aku mengangkat telepon dari Mama. Tidak biasanya. Makanya aku langsung mengangkatnya, takut ada sesuatu yang penting.
Mama dan Papa memang bukan tipe orangtua yang menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya secara kentara. Di mata anak-anaknya, mereka ada adalah dua orang cuek, namun sebenarnya mereka sama saja dengan orangtua lainnya.
"Kamu di mana?" tanya Mama.
Langkahku terhenti.
Selama tinggal bersama Kak Wira, pertanyaan 'Kamu di mana?' yang dilontarkan keluargaku menjadi sesuatu yang menakutkan. Bagaimana aku tidak takut? Pertanyaan itu kemungkinan besar ditanyakan karena mereka ingin berkunjung ke apartemenku.
"Hah?"
"Kamu keluar? Mama sama Papa ada depan apartemen kamu," kata Mama.
Kan! Apa kubilang.
Kenapa juga waktunya bisa pas begini? Aku keluar bertemu temanku yang tidak seberapa banyak itu setelah sekian lama dan di saat bersamaan Mama dan Papa datang mengunjungiku.
Aku memejamkan mata selama beberapa saat sambil berusaha menenangkan diri. Lalu kembali melanjutkan langkahku. Kali ini tidak sesantai tadi, aku harus buru-buru sampai. "Kok enggak ngabarin? Bentar, Mah. Aku udah deket."
"Teman kamu juga keluar, ya?"
"Ah, dia kerja, Mah."
Ini kan hari Selasa. Tentu saja Kak Wira tidak ada, tapi bukankah itu lebih baik? Dari pada Mama Papa datang dan malah Kak Wira yang membuka pintu. Membayangkannya saja aku tidak sanggup. "Udah, ya, Mah. Ini aku lagi di lift."
"Iya."
Memutus sambungan telepon, aku segera menghubungi Kak Wira untuk memintanya tidak pulang. Namun tidak diangkat. Akhirnya aku menyerah setelah percobaan ketiga. Sebelum sampai di lantai unitku berada, aku mengirimkan pesan pada Kak Wira.
Aku mengulas senyum melihat Mama dan Papa di depan sana—dengan barang bawaan yang lumayan banyak. Kebetulan kulkasku juga hampir kosong. Sambil berbasa-basi, aku mempersilakan Mama dan Papa masuk.
Walau mendadak, setidaknya aku tenang karena tidak ada jejak jika aku tinggal bersama seorang laki-laki. Sepatu dan alas kaki Kak Wira tidak lagi diletakkan di dekat pintu, tapi di kamarnya. Puntung rokoknya punya wadah sendiri dan akan dia buang setiap berangkat kerja. Aku dan Kak Wira menyepakatinya karena takut Kasih tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan. Ya meski sebenarnya yang paling direpotkan Kak Wira, tapi dia mengaku tidak masalah, daripada aku yang diseret kembali ke rumah.
Mama menatap bergantian dua kamar yang bersebelahan. "Kamar kamu yang mana?"
"Ini." Aku langsung membuka pintunya.
Mama berbalik, menyerahkan kantong plastik yang dibawanya dan meminta Papa meletakkannya di dapur. Begitu masuk ke kamarku, pandangan Mama langsung tertuju ke rak buku. "Ini buku punya kamu?"
"Bukan. Itu punyanya Mira," jawabku.
Mama mengernyit. "Kenapa ditaruh di sini?"
"Sebelum aku pindah, raknya emang ada di sini. Daripada ribet, aku bilang aja enggak usah pindahin." Untuk jawaban ini, aku tidak bohong, kan? Di awal, aku sendiri yang menyarankan agar tidak usah memindahkannya.
Room tour Mama berlanjut, tentu diselingi beberapa pertanyaan-pertanyaan yang untungnya tidak berhubungan dengan Kak Wira. Jadi dosaku tidak bertambah dengan berbohong pada Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]
RomanceAriel Ananda, perempuan tulen walau namanya lebih cocok untuk laki-laki. Mengambil keputusan besar untuk keluar dari rumah. Alasannya, keadaan yang tidak mendukung profesinya sebagai penulis. Wira Hermawan, editor disalah satu penerbitan yang sangat...