chapter 5 - belanja

28.4K 3.2K 37
                                    

Karena Ariel Wira masih patuh sama kontrak yg mereka buat, makanya chapter kali ini kebanyakan narasi😌

Tapi mereka enggak seterusnya diem-dieman kok😂
Tunggu aja

Happy reading❤️





🐢🐢🐢




Rencananya pagi ini aku tidak akan tidur walau mataku rasanya berat minta ampun. Stok chapter ceritaku sudah habis karena beberapa hari aku memang terlalu santai. Menulis tidak lebih 500 kata per hari dan lebih banyak berselancar di dunia maya.

Platform tempatku mengumpulkan pundi-pundi uang memang mengharuskan penulisnya rajin menyetor cerita. Paling sedikit satu chapter setiap harinya, ditambah ada minimal kata yang mesti dipenuhi dalam setiap bulan jika ingin mendapatkan bonus di luar pembagian hasil dari bab berbayar.

Kedengarannya berat, iya awalnya aku juga menganggapnya tidak mungkin. Apalagi aku yang dulunya hanya menjadikan menulis sebagai kegiatan disela-sela kesibukan kuliah. Tapi setelah tahu fakta bahwa semua bentuk tulisan diterima hingga aku menikmati hasilnya, aku mulai bertekad menulis tanpa henti.

Sebenarnya banyak platform menulis lain yang bermunculan. Ada yang sistemnya sama seperti yang aku katakan barusan dan ada juga yang ketat menyeleksi naskah yang boleh terbit di platformnya. Untuk yang kedua aku pernah mencoba peruntungan beberapa kali, sayangnya naskahku tidak berhasil menarik perhatian editornya.

Maka dari itu mau tidak mau, demi bisa menghasilkan uang aku menulis di tempat yang bisa menerimaku. Namun dengan konsekuensi, aku tidak bisa bersantai tanpa menulis sehari pun.

Aku menguap untuk kesekian kalinya sembari turun dari tempat tidur. Sejak tadi aku menunggu Wira berangkat karena ingin ke kamar mandi membasuh wajah. Setidaknya rasa kantukku bisa sedikit hilang. Pintu sudah terbuka namun tubuhku mendadak mematung saat mendengar suara perempuan mochi kemarin.

Ngomong-ngomong soal mochi, satu kotak sudah berhasil aku habiskan.

Dengan gerakan pelan aku mengayunkan pintu dan menyisakan celah kecil untuk mengintip. Wira masih bertahan di ambang pintu, sementara aku tidak bisa melihat perempuan itu.

“Lo suka mochinya enggak, Wir?”

“Gue enggak begitu suka mochi.”

“Oh, terus mochinya?”

“Ariel yang makan.”

Punggungku menegak ketika namaku disebut. Aku mendengus, harusnya dia tidak perlu menyebut namaku.

“Ariel?”

“Perempuan yang kemarin.”

“Kalau tau lo enggak suka, gue beliin oleh-oleh lain.”

“Lo nahan gue cuma untuk nanya itu?”

“Sori, Wir.”

Dan pintu ditutup.

Sejauh ini, selama 25 tahun hidup. Novel yang kubaca sudah tidak terhitung jumlahnya dan kebanyakan bacaanku adalah percintaan. Jadi, walau minim praktik dengan lawan jenis, aku tetap paham secara teori berbagai macam masalah dalam percintaan.

Contohnya yang barusan aku saksikan.

Wira, meski aslinya kurang bersahabat dan menjengkelkan. Tapi dengan perempuan tadi, ketidak ramahannya naik satu tingkat. Sementara perempuan dari unit sebelah itu kemungkinan besar menyimpan perasaan pada Wira. Kalau aku boleh sok tau, perempuan itu tengah mengalami cinta sepihak. Atau bisa jadi, kisah di antara mereka  jauh lebih rumit dari apa yang aku pikirkan.

Ah, gara-gara mereka aku jadi lupa tujuanku. Aku buru-buru berlari ke kamar mandi. Ada pekerjaan yang menungguku.

***

Jam 7 malam. Aku mendesah berat lalu kembali memejamkan mata. Aku ketiduran setelah menyelesaikan tiga chapter tulisanku, padahal aku sudah berniat berbelanja tadi sore. Stok mi instan dan camilanku menipis, telurku juga habis.

Tidak masalah sih kalau aku keluar dimalam hari, tapi aku tidak suka saja berpapasan dengan  Wira. Sayangnya, karena ketiduran aku jadi tidak punya pilihan lain.

Benar saja. Saat aku ingin ke kamar mandi, Wira sedang mengisi perutnya di meja makan. Dia sempat mengangkat kepala hingga mata kami bertemu, tapi kami berdua kompak segera mengalihkan pandangan.

Setelah menyelesaikan urusan di kamar mandi, meja makannya sudah kosong. Mataku tanpa sadar beralih ke arah balkon, tapi dia tidak ada di sana. Aku mengendikan bahu lalu masuk ke kamar.

Karena malas memakai make up tipis, aku memilih menyembunyikan wajahku dengan topi. Lagi pula aku tidak punya banyak kenalan yang bisa saja bertemu denganku di minimarket.

Saat keluar dari kamar, aku menoleh dan mendapati Wira juga keluar dari kamarnya. Setengah wajahnya ditutupi masker, sepatu putih yang membalut kakinya, lalu dompet dan ponsel yang tampak kecil dalam genggamannya.

Aku berhenti memerhatikannya dan segera berlalu dari hadapannya.

Aku menghela napas panjang. Siapa yang menyangka, ternyata tujuan kami sama. Aku melirik laki-laki yang berdiri di sebelahku sebelum mendorong pintu minimarket. Kebetulan yang sangat tidak aku harapkan. Tidak cukup dengan tinggal bersama, kami malah bertemu lagi di sini.

Anggap saja hari ini aku sedang sial.

Aku bergerak ke rak mi instan, sementara Wira? Entahlah, untuk apa aku tahu. Bukan urusanku dia mau beli apa. Berhenti di depan rak, mataku menyisir jenis mi instan yang berjejer di depanku. Berbanding terbalik dengan laki-laki monoton itu, aku senang mencoba sesuatu yang baru walaupun ada satu atau dua rasa yang menjadi favoritku.

Setelah menimbang-nimbang rasa dan harganya, akhirnya aku mulai mengisi keranjang belanjaanku. Tidak banyak yang aku ambil karena setelah kuhitung-hitung, jauh lebih murah kalau aku beli dionline shop.

Camilan menyusul kemudian, tapi sekali lagi tidak banyak yang kuambil. Saat dirasa cukup, aku melangkah menuju kasir dan lagi-lagi bersamaan dengan Wira. Aku tidak repot-repot menyembunyikan wajah masamku ketika mata kami bertemu.

Niat hati mengalihkan pandangan, mataku justru jatuh pada keranjang belanjaannya. Isinya cuma beberapa bungkus kopi instan yang tentu saja satu rasa, sikat gigi, dan sampo. Jauh lebih sedikit dari barang belanjaanku.

Karena aku baik hati, aku berinisiatif mundur ketika orang yang berada di depanku telah selesai melakukan pembayaran. Sebenarnya aku tidak berharap dia mengucapkan terima kasih, tapi aku jengkel saja dengan wajahnya yang datar minta ampun. Tidak ada ekspresi tersentuh atau senyum kecil darinya.

Aku akui dia ahli membuat orang dongkol.

Sekali lagi aku mengecek barang di dalam kantong plastikku setelah menerima kembalian. Aku mengangguk kecil, tidak ada yang aku lupakan. Waktunya pulang. Aku tersentak saat melihat Wira berdiri di luar minimarket sambil mengisap rokok. Dia tidak bermaksud menungguku, kan? Padahal aku tidak mau berjalan bersisian dengannya menuju apartemen. Aku menggeleng demi melenyapkan pikiran gilaku lalu beranjak meninggalkan minimarket.

Meski tidak berbalik, aku tahu dia mengikutiku dari belakang. Ya, tidak salah sih. Tujuan kami kan memang sama, tapi aneh saja karena kesannya dia mirip penguntit. Kenapa dia tidak mendahuluiku? Aku yakin langkahnya bisa cepat dan lebar mengingat kakinya yang panjang.

Dia baru melewatiku ketika unit kami terlihat di depan sana. Namun pintu dari unit sebelum kami yang terbuka, menghentikan langkah Wira. Perempuan mochi itu muncul dari sana dengan senyum merekah.

Langkahku memelan. Apa aku harus berhenti agar tidak mengganggu mereka atau aku teruskan saja dan berpura-pura tidak melihatnya? Tapi kalau aku berhenti malah lebih aneh.

“Hai!” sapa perempuan itu pada Wira.

Wira berbalik dan menatapku. Mau apa dia? Perempuan itu jadi ikut menatapku kan.

Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang