chapter 19 - tidak ada yang normal

23.9K 3K 70
                                    

“Makasih.”

“Iya, Kak.”

Aku menerima lauk perkedel dan telur balado yang kubeli lalu keluar dari warung.  Tadi sih rencananya aku mau makan mi lagi sebagai makan malam. Iya, lagi. Tapi Kasih lebih dulu menghubungiku, basa-basi menanyakan kabar, apa yang aku lakukan, kemudian ujungnya dia mengingatkanku agar tidak mengonsumsi mi malam ini.

Kasih seakan tahu apa yang telah aku rencanakan.

Walau sebenarnya aku bisa saja makan sesuai dengan apa yang aku inginkan, toh Kasih tidak melihatku. Tapi aku menghargai niat baik kakakku itu, jadi beli aja. Selain tidak punya bahannya aku juga jadi butuh waktu lagi untuk masak.

Sambil menyusuri jalan pulang, aku membuka bungkus roti yang kubeli sebelum menuju warung. Aku mengangguk-angguk setelah gigitan pertama. Rasanya lumayan untuk harganya yang terbilang murah.

Mendekati gedung apartemen, aku mengernyit melihat seseorang yang familier berjalan santai di depanku. Oh, Arman!

Aku hampir saja memanggilnya kalau tidak melihat ponsel menempel di telinganya. Jadi aku membiarkannya dan berjalan di belakangnya. Ngomong-ngomong, terakhir aku bertemu dengannya saat makan di gerobak nasi goreng. Setelah itu, mungkin karena terlalu senang ada yang berniat menyewa apartemen Kak Wira aku jadi lupa pada teman baruku ini.

Bahkan saat membayangkan akan pindah, aku sama sekali tidak ingat untuk pamit dengannya. Tapi ya ada bagusnya juga, daripada aku pamit dan malah jadi malu karena tidak jadi pindah.

Aku masih setia mengekori Arman sampai kami hampir memasuki lobi.

“Hahaha, bangs*t! Tapi emang iya sih mukanya kayak kont*l, asu. Hahaha!”

Kedua kakiku membeku seketika. Mulutku mengangga hingga roti yang kugigit terjatuh. Apa yang barusan masuk ke telingaku? Aku tidak salah dengar, kan? Laki-laki di depanku ini benar Arman, kan? T-tapi kenapa dia bisa berkata kasar seperti itu dengan wajah polos dan cantiknya?

Mataku mengerjap beberapa kali lalu menggeleng cepat untuk mengembalikan kesadaranku. Kembali aku mengikuti langkah Arman namun dengan konsekuensi mendengar umpatan yang terus keluar dari mulutnya.

“Woi tai monyet lu! Gue enggak sudi anggap dia temen, anj*ng.”

“Hahaha, tol*l banget anj*ng!”

Entah kenapa aku mendadak merasa pusing mendengar umpatan yang terus diucapkannya. Aku sampai ragu apa yang aku temui dulu adalah Arman yang sama dengan yang ada di depanku ini.

Memasuki lobi, aku sengaja memelankan langkahku agar tidak terlalu dekat dengan Arman. Namun di saat yang bersamaan, aku melihat Kak Wira berdiri di depan lift. Kak Wira menoleh sekilas ketika Arman sampai di sebelahnya.

“Temen? Ada sih, cewek. Hahaha enggak cantik-cantik amat, standar lah. Tapi ya mau enggak mau, daripada gue enggak ada temen ngobrol.”

Sebentar. Perempuan yang dimaksud Arman bukan aku, kan? Karena penasaran, aku memberanikan diri maju selangkah agar mendengarnya lebih jelas.

“Namanya? Bentar. Kok gue mendadak lupa anj*ng, tapi namanya kayak cowok.”

Penghuni apartemen yang bertemu dan ngobrol dengannya, aku. Dan yang namanya lebih cocok untuk laki-laki, aku juga. Tidak salah lagi. Itu aku! Kulihat Kak Wira juga langsung menoleh. Mungkin dia juga sadar perempuan yang dibahas laki-laki di sebelahnya adalah aku.

“Oh, Ariel! Iya, namanya Ariel.” Arman tertawa keras. “Gue kira salah dengar waktu itu, asu. Nama kok enggak ada kreatif-kreatifnya sama sekali.”

Memangnya aku yang pilih namaku sendiri? Orang ini, ternyata lebih parah dari Kak Wira. Bisa-bisanya aku menilainya sebagai orang normal. Aku menunduk memijit pelipisku, pusing kembali mendera.

Aku mengangkat kepala ketika dentingan lift terdengar. Arman masuk lebih dulu dan saat dia berbalik, matanya bertemu denganku. Senyum lebar yang menghias wajahnya lenyap seketika itu juga. Justru aku yang balas tersenyum ke arahnya.

Kak Wira yang bergeming di tempatnya tiba-tiba berbalik, bersamaan dengan pintu lift yang tertutup. Dia mengernyit menatapku yang menghampirinya. Aku mengulas senyum tipis begitu sampai di sampingnya.

“Cowok bangsat tadi temen lo?” tanya Kak Wira dengan nada suara seakan tidak percaya.

Aku menghela napas. “Sekarang bukan lagi.”

Kak Wira geleng-geleng. “Kenapa bukan lagi? Padahal dia sebut nama lo tadi,” katanya mengejek.

“Ya Kak Wira juga dengar tadi, mulutnya udah kayak comberan, kebun binatang,” kataku kesal. Mulai detik ini, Arman bukan lagi temanku.

“Setahu gue, di kebun binatang enggak ada anjing.”

“Anjing hutan enggak ada?”

“Enggak ada,” jawa Kak Wira lalu bergumam, “Emang ada yang namanya anjing hutan?”

“Masa? Spesies anjing?” aku tidak memedulikan pertanyaannya.

“Enggak ada.” Kak Wira mendesah lelah. “Pergi aja kalau enggak percaya.”

Aku menggeleng. “Gue pecinta binatang, Kak. Enggak suka lihat binatang yang dikurung buat dijadikan tontonan.”

“Itu Romeo sama Juliet lo kurung.”

Aku menoleh cepat. “Kan lo yang beli, Kak!” Tega-teganya dia melimpahkan kesalahan itu padaku.

Kak Wira ikut menoleh dan balas menatapku. “Ya udah, mau dilepas?”

“Enggak usah deh, udah terlanjur.”

Kak Wira menyunggingkan sebelah sudut bibirnya. “Gimana sih pecinta binatang satu ini.”

“Takutnya kalau dilepas Romeo sama Juliet malah mati, Kak.”

Lift akhirnya terbuka, aku mengikuti Kak Wira masuk dan tanpa sengaja mataku menangkap kresek hitam yang di tentengnya. Sepertinya tadi aku terlalu fokus pada Arman sampai tidak memerhatikannya.

“Ngomong-ngomong, itu apa, Kak?” tanyaku memecah keheningan di dalam lift.

Kak Wira mengangkat. “Sayur buat Romeo Juliet.”

Kura-kura makan sayur? Aku baru tahu. Kukira Kak Wira memilih peliharaan secara asal dan tidak terlalu peduli nantinya. Ternyata Kak Wira sudah mencari tahu lebih banyak terlebih dulu.

“Kenapa? Mau?” tawarnya tiba-tiba.

“Enggak, makasih. Gue juga punya makanan sendiri,” tolakku memamerkan lauk yang kubeli.

“Kalau enggak beli, masak mi instan atau goreng telur. Lo enggak bisa masak?”

Dia pikir karena siapa aku jadi makin insecure dengan masakanku sendiri? Aku memutar bola mata malas lalu berkata, “Bisa. Cuman jadi enggak percaya diri setelah dikomentarin sama orang.”

“Kalau cuma buat lo sendiri, mau enak atau enggak itu urusan lo. Lain cerita kalau lo masak buat orang lain.”

Wah, mulutnya masih sama jujurnya meski kami sudah lumayan akrab. Tapi setidaknya mulutnya tidak kasar seperti Arman sampai bikin kepalaku pusing.

Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang