Happy reading❤️
🐢🐢🐢
Kalau bukan karena Mama yang memintaku pulang, aku tidak mungkin keluar dari kamar saat Kak Wira belum berangkat. Sejak kejadian beberapa hari lalu—di mana aku punya ide gila yang sebenarnya tidak ingin kuingat lagi, aku memang menjauhi Kak Wira. Ralat, aku bukan menjauhinya lagi, tapi benar-benar tidak menunjukkan batang hidungku pada laki-laki itu.
Bagaimana caranya sementara kami tinggal bersama?
Oh, itu bukan sesuatu yang sulit.
Sebelum Kak Wira berangkat, aku menahan diri untuk tidak keluar. Segala aktivitas yang kulakukan di luar harus selesai sebelum Kak Wira pulang. Bahkan masak dan makan malam harus beres sebelum jam menunjukkan pukul 6 sore.
Sayangnya, rencanaku untuk menghindar harus terhenti hari ini.
“Yel, dari mana aja? Kok baru kelihatan.”
Aku sedang memasang sepatuku terpaksa menengok ke sumber suara yang terdengar seolah mengejek itu. Kak Wira berdiri di belakangku sambil bersedekap. Aku mengulas senyum tipis. “Hehe …”
“Gue nanya, malah ketawa.”
“Enggak dari mana-mana kok.” Aku berjongkok dan mengikat tali sepatuku.
Kak Wira tak lagi menyahut, namun ikut berdiri di sebelahku dan memasang sepatunya. “Mau ke mana?”
Mungkin menurut Kak Wira aku masih hilang akal seperti waktu itu dan dengan mudahnya menjawab pertanyaannya. Sekarang aku sudah bodo amat dan tidak ingin bertingkah mirip Kak Bunga hanya untuk membuatnya menjauh. “Kira-kira apa untungnya buat gue untuk jawab pertanyaan lo?” tantangku.
Kak Wira berpindah menghalangi jalan keluar satu-satunya. “Beberapa hari lalu, lo terus tebar senyum dan mendadak jadi orang paling ramah. Tapi kenapa lo tiba-tiba berubah dan jauhin gue, perasaan gue enggak ada salah.”
Aku memasang tampang pura-pura terkejut. “Siapa yang jauhin lo, Kak?”
Kak Wira manggut-manggut.
“Gue tuh lagi fokus nulis cerita baru, Kak. Makanya kebanyakan di kamar,” bohongku.
“Anggap aja gue percaya.” Kak Wira akhirnya berbalik, membuka pintu, dan aku mengekor di belakangnya.
Belum juga melangkah melewati pintu, Kak Wira berhenti dan berbalik lagi. Otomatis aku juga berhenti.
“Ngapain lo ngikutin gue?” tanyanya.
Aku melongo. “Ya gue juga mau keluar! Bukan ngikutin!” teriakku frustrasi.
“Oh,” sahutnya pendek.
Kalau dia bermaksud membuatku mendidih pagi-pagi, dia berhasil. Bukan cuman karena tuduhannya, tetapi balasannya yang terlalu singkat itu.
“Pagi, Wira.”
Oh, ada Kak Bunga.
Kak Bunga berdiri di depan unitnya sembari tersenyum cerah ke arah Kak Wira. Namun saat matanya beralih ke arahku, ujung bibirnya langsung menekuk ke bawah.
Aku menutup pintu lalu melirik Kak Wira, ingin tahu reaksinya. Jika diperhatikan, Kak Wira sama sekali tidak terkejut dengan kemunculan Kak Bunga pagi-pagi begini. Kemungkinan sapaan pagi semacam ini sudah menjadi rutinitas yang dilakukan Kak Bunga. Menunggu dan menyapanya. Sungguh usaha yang sia-sia.
“Yel, ayo.” Kak Wira tiba-tiba menggandeng tanganku tanpa izin.
“Hah?” Aku menatap tanganku, Kak Wira, dan Kak Bunga bergantian.
Belum sempat satu dua kata keluar dari mulutku, Kak Wira menarikku seakan Kak Bunga tidak ada di sana. Langkah Kak Wira yang panjang menyulitkanku mengimbanginya hingga aku harus berlari kecil.
Sembari tetap melangkah, Kak Wira sedikit menunduk lalu berbisik, “Ingat, sekarang lo pacar gue.”
Maksudnya? Baru saja aku ingin melayangkan protes ketika Kak Wira mengendik ke belakang, aku menengok samar dan akhirnya tahu Kak Bunga mengikuti kami. Aku memutar bola mata, jadi aku harus terus bergandengan tangan sampai berpisah jalan dengan Kak Bunga, begitu?
Menyusahkan.
Memasuki lift, Kak Bunga ikut tanpa ragu. Aku dan Kak Wira berdiri di depan sementara Kak Bunga mengambil tempat di sudut belakang. Sebenarnya aku tidak mau berburuk sangka Kak Bunga mengikuti. Siapa tahu Kak Bunga juga ada keperluan di bawah atau mau cari makan, kan? Tapi sepertinya Kak Wira enggan berniat berpikir positif.
“Yel, kamu tadi belum jawab mau ke mana.”
Aku menoleh dengan muka mengernyit lalu menarik tanganku.
Kamu? Ow, menjijikkan sekali. Aku butuh sesuatu untuk membersihkan telingaku dari kata kotor yang barusan menerobos masuk.
Karena sudah sepakat, aku terpaksa ikut dalam sandiwara menjijikkan ini. Aku mengatupkan gigi dan bertanya, “Harus banget ya aku jawab?”
Kak Wira menatapku dengan mata dan bibir yang tersenyum. Coba tebak kira-kira dia sedang berakting atau bersungguh-sungguh? “Wajar kan aku nanya. Jadi, kamu mau ke mana?” ulang Kak Wira.
“Aku mau pulang, ketemu Mama Papa,” jawabku mirip desisan.
“Mau kuantar?”
Untuk aku yang terbiasa menerima perlakuan tidak menyenangkan dan ketidak ramahannya, pemandangan kali ini benar-benar langkah. Seperti menemukan Kak Wira versi lain.
“Haha, gu—,” aku memejamkan mata, hampir saja salah. Oh, astaga aku benar-benar benci menggunakan aku-kamu dengannya, “aku bisa sendiri kok, Kak.”
“Emm, ya udah.”
Dua kata terakhir kuanggap penutup percakapan pura-pura kami. Jadi aku berhenti menoleh ke arahnya dan meluruskan pandangan ke depan meski tidak ada yang bisa dilihat. Namun mataku langsung terbelalak ketika kurasakan tangan seseorang menyentuh pinggangku. Dan bukan hanya itu, kini pucuk kepalaku dikecup!
Kecup!
Jujur saja, selain berpikir untuk menonjok laki-laki di sebelahku ini, sesaat aku berusaha mengingat kapan terakhir kali aku keramas. Oh, kemarin. Setelah tenang rambutku tidak bau, emosiku kembali tersulut.
Siapa sangka bayaran untuk ilmu yang dia berikan harus seekstrem ini.
Dentingan lift menghentikanku membayangkan diri sedang menghajar Kak Wira. Aku mengembuskan napas dan mengingatkan diri untuk tidak gegabah. Berusaha menghajarnya hanya sia-sia belaka, kekuatannya jelas jauh di atasku.
Mungkin dengan satu tamparan atau tonjokan sudah cukup. Jika lebih dari itu, bisa-bisa aku yang dibanting.
Sekali lagi, Kak Wira menggandeng tanganku dan menuntunku keluar. Tidak mendengar langkah kaki di belakang sana, aku menengok dan mendapati Kak Bunga masih berada di dalam lift hingga pintunya tertutup. Ternyata dia benar-benar cuma mengikuti Kak Wira.
Melewati lobi, keadaan aman tanpa orang berlalu lalang, aku menarik tanganku dan dengan mulus meluncurkan kepalan tanganku menuju perutnya. Berhasil! Kak Wira meringis tanpa suara dan menatapku tajam.
Aku melotot balik. “Kak, 300ribu! Gue enggak mau tau!”
Masih memegang perutnya, Kak Wira tersenyum kecil. “Bukannya kontrak kita cuman berlaku di dalam apartemen?”
Peraturan dari mana itu? Lagi-lagi manusia ini membuatku emosi. Aku sangat ingin menyangkalnya karena aku yang menulis kontraknya, t-tapi yang dikatakan Kak Wira tidak sepenuhnya salah.
Kak Wira tersenyum menang. “Lagi pula ini bagian dari sandiwara. Ingat?”
Arggghh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]
RomanceAriel Ananda, perempuan tulen walau namanya lebih cocok untuk laki-laki. Mengambil keputusan besar untuk keluar dari rumah. Alasannya, keadaan yang tidak mendukung profesinya sebagai penulis. Wira Hermawan, editor disalah satu penerbitan yang sangat...