Chapter 25 - jati diri Kak Wira

23.1K 3K 97
                                    


Kesalahpahaman masih terus berlanjut😂
Happy reading❤️



🐢🐢🐢




Hanya ada satu orang yang terpikir olehku mendengar pintu diketuk. Kak Bunga. Aku yang baru saja menyelesaikan urusan di kamar mandi, mematung di depan pintu kamarku. Apa aku yang harus menyambutnya?

Mau tidak mau kayaknya memang harus aku yang berurusan dengan Kak Bunga. Kalau menunggu Kak Wira, dia tidak mungkin keluar dari kamarnya.

Aku terdiam begitu pintu kubuka. Tebakanku salah. Aku tidak menyangka tamu yang datang di Minggu siang ini adalah Bambang. Laki-laki itu juga cuma diam sama sepertiku, hanya kelopak matanya yang bergerak.

Aku menarik ujung bibirku ke atas dan bergeser agar Bambang bisa lewat. "Oh, ayo masuk."

Bambang balas tersenyum lalu mengangguk patah-patah. "Oh, iya."

"Cari Kak Wira, kan?" tanyaku saat Bambang duduk di ruang depan.

Bambang mendongak dan mengangguk lagi. "Iya, gue ada janji."

Berarti aku salah memilih hari. Aku tidak sampai memikirkan waktu kencan Kak Wira bersama Bambang. Jangan sampai Bambang menganggap aku berniat menyabotase Kak Wira. "Dia di kamar, masuk aja."

Bambang melongo. "Hah?"

"Hah?"

Bambang menggeleng cepat. "Enggak usah, gue tunggu di sini."

Kan? Bambang menjaga jarak di antara kami. Dari aku membuka pintu, Bambang tampak canggung dan terus berusaha menyudahi obrolan denganku. Lebih baik aku menyingkir dari hadapannya. "Oh, oke. Gue buatin minum kalau gitu."

Bambang tersenyum kikuk. "Makasih."

Sebentar.

Aku tidak tahu selera Bambang dan tidak sempat menanyakan apa yang ingin dia minum. Aku membuka lemari atas meski tahu isinya cuma kopi instan dengan satu rasa milik Kak Wira. Kalau dipikir-pikir, kayaknya selera Bambang bukan minuman pahit semacam ini. Tapi aku juga tidak punya teh.

"Yel, ngapain?"

Aku tersentak lalu berbalik cepat. Kak Wira yang telah berpakaian rapi berdiri di belakangku. Dia masih menatapku menunggu jawaban sambil menyugar rambutnya dan membungkusnya dengan topi.

"Mau buat minum buat Bambang."

"Enggak usah, gue mau pergi sekarang. Sori gue enggak bisa ngajarin lo hari ini."

"Jangan minta maaf, Kak. Gue ngerti kok," kataku dan tersenyum tenang. Dibanding aku, tentu Bambang jauh lebih penting dan aku sangat paham itu.

"Oke." Tangan Kak Wira tiba-tiba terulur namun aku bergerak cepat menarik kepalaku menjauh. "Ah, sori."

Melihat Kak Wira yang juga tampak terkejut, kemungkinan tangannya itu refleks bergerak seperti kemarin.

Untungnya kemarin aku ingat meminta denda karena menyentuh tanganku, tapi karena dia meminta keringanan lagi-lagi kami berdebat. Kak Wira beralasan melakukannya secara spontan agar aku dengar dan dia tidak harus menjelaskan dua kali.

Sementara aku mempertahankan apa yang telah disepakati di dalam kontraknya. Sengaja maupun tidak disengaja, denda harus tetap berlaku. Sampai akhirnya karena tidak ada yang mau mengalah, aku memintanya membayar setengah harga.

"Oh, enggak apa-apa." Aku mengalihkan pandangan sampai Kak Wira menghilang dari hadapanku.

**

Ada saatnya aku yang senang mendekam di rumah ini ingin menjelajahi dunia luar. Seperti sekarang ini. Pemicu pertama adalah selama tinggal di sini aku tidak pernah keluar jauh-jauh. Kedua, tulisanku baru saja tamat dan aku butuh sedikit hiburan—bukan sekadar nonton di rumah atau tidur sepuasnya. Ketiga, bimbingan yang harusnya dilakukan siang ini tidak jadi karena Kak Wira ada kencan.

Masalahnya teman dekatku hanya ada beberapa biji jadi aku tidak punya banyak pilihan. Yang paling dekat ada dua orang, tapi aku tidak yakin mereka bisa jika kuajak hari ini. Keduanya telah menikah dan memiliki anak.

Di tengah keputusasaanku, ponsel yang berada digenggamanku bergetar. Dari Kak Mega. Aku membiarkannya selama beberapa detik sebelum mengangkatnya. "Halo, Kak?"

"Ril, Wira ada enggak? Dia enggak angkat telepon gue."

Jelas tidak digubris, Kak Wira kan sedang menikmati waktu bersama Bambang. "Enggak ada, Kak. Dia keluar."

"Tumben, sendiri?"

"Sama Bambang, Kak."

"Dia bilang enggak mau ke mana?"

"Enggak bilang, tapi bukannya udah jelas mereka ngedate."

Kak Mega tertawa keras di ujung sana. "Sama Bambang?" Kak Mega tertawa lagi. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku karena tawa Kak Mega semakin membahana. "Bisa saja lo."

"Coba hubungin Bambang aja, Kak," saranku ketika Kak Mega mulai tenang.

"Enggak usah, deh. Gue ketemu lo aja, ini udah mau nyampe ke apartemen lo."

Benar saja, tidak sampai 10 menit Kak Mega sudah duduk di meja makan bersamaku. Tujuannya ke sini adalah membawa oleh-oleh dari suaminya untuk Kak Wira. Mengetahui itu, aku jadi bertanya-tanya sedekat apa hubungan antara Kak Wira dan keluarga kecil Kak Mega.

Untungnya pertanyaanku segera terjawab, tanpa diminta Kak Mega mulai bercerita awal mula dia akhirnya mengenal Kak Wira.

"Mereka itu dekat banget pas masa bandel-bandelnya. Sampe akhirnya suami gue tobat duluan terus nikah sama gue. Nah Wira yang masih luntang-lantung gue rekomendasiin di tempat gue kerja dan itu atas permintaan suami tercinta. Makanya mereka masih sohib banget sampai sekarang walaupun jarang ketemu."

Aku manggut-manggut, tahu Kak Mega masih ingin melanjutkannya.

Kak Mega tertawa pelan. "Padahal gue yang ajak dia kerja, sekarang dia malah seenaknya merintah-rintah gue. Enggak tau balas budi emang itu orang."

Aku masih diam.

"Tapi lo tenang aja, sekarang Wira udah jadi anak baik. Makanya pertama kali gue usulin kalian tinggal bareng, gue bilang Wira enggak mungkin macem-macem," kata Kak Mega sambil menikmati cimol yang sempat dia beli dalam perjalanan.

"Kak Wira kan emang enggak suka sama cewek, Kak," ucapku tanpa sadar. Kukira hanya terucap dalam hati, tapi malah keluar dari mulutku.

Kak Mega melirikku dengan mulut mengangga. "Kayaknya gue salah denger, Ril. Lo ngomong apa barusan?"

"Kak Wira sama Bambang kan ..." aku membuat dua tanda kutip di sisi kepalaku.

Kak Mega tiba-tiba terbatuk, aku segera menuangkan air dan menyodorkannya. Kak Mega berhasil minum seteguk namun batuknya masih berlanjut hingga mukanya memerah. "Jadi, yang lo bilang ditelepon bukan bercanda?" tanya Kak Mega susah payah.

Aku mengangguk.

"Ariel, Wira suka sama cewek," ungkap Kak Mega saat batuknya berhenti. "Sebelum kerja bareng gue, dia bahkan sering deket sama cewek."

Tidak mungkin, aku tidak percaya. Jangan-jangan Kak Mega tidak mau kalau sampai jati diri Kak Wira yang sebenarnya tersebar karena aku tahu yang sebenarnya. Iya, kan? Mereka dekat makanya Kak Mega bela Kak Wira.

"Ril, jangan sampe lo bilang ini di depannya Wira. Dia bisa ngamuk tau enggak." Kak Mega memperingatkan.

Ngamuk apanya? Walau sempat marah, setelahnya Kak Wira pasrah dan tidak lagi mempermasalahkannya.

"Pokoknya jangan, Ril. Bahaya kalau dia marah."

Biar Kak Mega berhenti, aku akhirnya mengangguk. Kali ini aku akan pura-pura percaya dan menurut.

Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang