Selama dua hari, aksi menghindari Kak Wira masih terus berlanjut. Sebenarnya aku sudah tidak semarah saat pertama kali dia akhirnya datang, tapi aku mau kasih dia pelajaran. Takutnya dia besar kepala, menganggap aku begitu mencintainya karena dengan mudah memaafkan.
Soal bagaimana aku menghindar sementara kami tinggal bersama, itu memang agak sulit. Apalagi aku dan Kak Wira nyaris seharian berada di apartemen. Yap, sekarang dia jadi pengangguran dan sepertinya belum ada tanda-tanda mendapatkan pekerjaan baru.
Saat pagi, aku baru keluar dari kamar saat Kak Wira keluar melakukan rutinitasnya. Dalam satu jam itu, aku berusaha menyelesaikan urusanku. Lalu mendekam di kamar sampai matahari meninggi.
Memasuki waktu jam makan siang, meski tahu Kak Wira memasak, aku memilih makan di luar dan bersembunyi lagi. Malamnya, karena tidak mungkin makan di luar untuk kedua kalinya, aku terpaksa ke dapur menyeduh mi instan.
Memikirkan hal yang sama harus aku lakukan lagi hari ini membuatku tanpa sadar menghela napas. Gara-gara Kak Wira, aku jadi tidak konsentrasi mengkhayal. Baru saja aku ingin lanjut mengetik kata demi kata, ponsel yang berada di sebelah laptopku menunjukkan notifikasi.
Aku mengintipnya, dari Kak Mega.
Ril, tadi pagi enggak tau gimana adiknya Wira tau kontak dan hubungin gue. Katanya, dia mau ketemu sama lo. Kalian saling kenal?
Selesai membacanya, aku segera menyambar ponselku dan menghubungi Kak Mega. “Halo, Kak? Gue enggak ganggu, kan?”
“Enggak, ini lagi istirahat kok.”
Aku membasahi bibirku. “Emm, soal yang tadi, Kak.”
“Oh iya, jadi gimana? Biar gue yang sampein ke dia atau lo mau ambil kontaknya biar bisa komunikasi langsung?”
“Enggak usah, Kak. Bilang aja gue mau.”
“Ya udah, nanti gue kirimin tempat sama waktunya.”
Untungnya, Kak Mega tidak mengajukan pertanyaan bagaimana aku mengenal adik Kak Wira atau semacamnya. Atau bisa jadi sebelumnya Dina sudah menjelaskannya pada Kak Mega.
Tapi dibandingkan itu, aku lebih penasaran dengan tujuan Dina ingin bertemu denganku. Yang bisa dipastikan dia lakukan tanpa sepengetahuan Kak Wira.
**
“Dina?”
Perempuan mungil berambut sebahu yang tengah menekuri ponsel di tangannya itu, mendongak ke arahku yang berdiri di seberang meja. Dia buru-buru bangkit sambil menunjukkan senyumnya. “Kak Ariel?”
Aku mengangguk, menarik kursi, lalu duduk di sana.
“Makasih banyak kakak udah sempat-sempatin datang ke sini.”
Sejenak aku memerhatikan fitur wajahnya. Mulai dari mata, hidung, bibir, bahkan bagaimana Dina tersenyum. Dia sedikit banyak memang mirip Kak Wira, tapi entah bagaimana Dina tidak kelihatan dingin. Dina ini lebih ke cute. Mirip anak kucing yang minta perutnya dielus-elus.
“Kak?”
Suara Dina menyadarkanku. “Oh, sebenarnya aku memang pengen ketemu sama kamu,” kataku spontan. Di detik berikutnya aku baru sadar apa yang barusan aku katakan.
“Huh?”
Kan? Dina jadi bingung. “Kak Wira pernah cerita soal kamu, makanya aku penasaran dan mau lihat kamu secara langsung.”
Ujung bibir Dina tertarik semakin tinggi. “Aku juga pengen banget ketemu Kak Ariel.”
Gantian aku yang bingung. Alisku terangkat sebagai pertanyaan bagaimana kronologis sampai dia ada niat bertemu denganku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]
Roman d'amourAriel Ananda, perempuan tulen walau namanya lebih cocok untuk laki-laki. Mengambil keputusan besar untuk keluar dari rumah. Alasannya, keadaan yang tidak mendukung profesinya sebagai penulis. Wira Hermawan, editor disalah satu penerbitan yang sangat...