chapter 42 - saatnya melepaskan

20.9K 2.7K 91
                                    

Kali ini masih dengan narasi yang buanyak.

Happy reading❤️






🐢🐢🐢






1 tahun kemudian …

Sebelum alarm yang aku setel pukul enam pagi berbunyi, aku sudah bangun. Mungkin jika ponselku bisa bicara, dia akan mengomel yang kurang lebih seperti ini ‘Kalau bisa bangun sendiri, kenapa harus nyetel-nyetel gue. Kesannya gue jadi enggak berguna!

Lalu aku akan membalasnya, ‘Untuk jaga-jaga, siapa tahu gue kebablasan.

Ya, itu bukan alibi yang dibuat-buat. Walaupun beberapa bulan ini aku berhasil bangun pagi, tapi siapa yang tahu tiba-tiba aku terlambat bangun. Kecolongan sehari itu bisa jadi awal dari kembalinya kebiasaan lamaku.

Setelah sepuluh menit mengumpulkan nyawa, aku turun dari tempat tidur dan melakukan peregangan ringan. Dirasa cukup, aku lalu membasuh muka dan mengganti pakaian untuk segera jalan-jalan santai di sekitaran gedung apartemen.

Kalau tidak salah, sudah lima bulanan ini aku menambahkan kegiatan olahraga ringan dalam keseharianku. Dan aku menyesal baru melakukan sekarang. Tubuhku yang dulunya berat kubawa ke mana-mana dan selalu ada rasa malas untuk bergerak. Setelah rutin jalan beberapa kilometer setiap hari, tubuhku jadi lebih enteng dan berat badanku turun perlahan.

Terkadang jika sempat, biasanya Arman ikut bergabung. Catat, hanya sesekali. Dua kali dalam sebulan sudah termasuk rekor untuknya, karena memang laki-laki itu lebih senang menghabiskan sisa waktu sebelum berangkat kerjanya dengan bersembunyi di balik selimut daripada membakar kalori.

Ngomong-ngomong soal hubungan kami, bisa dibilang untuk saat ini, kami disebut berteman. Aku lupa kapan tepatnya, tapi yang kuingat hanya bagaimana hingga akhirnya kami sedikit demi sedikit menjadi akrab.

Ada bulan-bulan di mana aku malas melakukan segala hal, termasuk memasak. Jadi, agar aku tidak mati kelaparan, aku makan di luar. Pertemuan demi pertemuan mulai terjadi di warung makan. Belum lagi jika aku keluar untuk menjemput paket, kami beberapa kali bertemu di lift.

Soal aku yang pernah mendengarnya bicara kasar dan membahas namaku, itu sudah lama aku lupakan. Lagipula Arman pernah meminta maaf. Tidak ada alasan bagiku menolak keinginannya menjalin pertemanan denganku.

Sekitar jam tujuh, aku pulang ke apartemen. Lalu lanjut bersih-bersih dan … memberi makan ikan hiasku. Aku menempatkan dua ekor ikan Molly yang kubeli dengan harga murah ini di akuarium tempat Romeo dan Juliet dulu tinggal.

Setelah Romeo dan Juliet mati, sebenarnya aku tidak ingin mengganti posisi mereka. Tapi aku juga tidak bisa membuang akuariumnya begitu saja. Makanya daripada kosong, aku memutuskan memelihara ikan.

Romeo dan Juliet tidak meninggalkanku bersamaan. Romeo pergi lebih dulu, lalu tak sampai sebulan Juliet menyusulnya. Aku pikir juga akan berakhir sama seperti Juliet yang ditinggal Romeonya. Tapi ternyata aku bisa bertahan sampai sekarang.

Rutinitas pagiku kemudian berlanjut menyeduh kopi instan dan menyiapkan sarapan. Emm, karena ada nasi sisa semalam, jadi aku akan membuat nasi goreng saja. Bahan-bahannya telah siap diolah, namun dering ponsel yang kuletakkan di meja makan menarik perhatianku.

“Halo, Bam.”

Kak, gue ada di depan.

Masih dengan ponsel yang menempel di telinga, aku segera membuka pintu. Aku mengulas senyum melihatnya berdiri di depan unitku. “Seperti biasa, dari Kak Mega,” katanya sambil menyodorkan kantong plastik yang ditentengnya.

Aku menurunkan ponselku dan mengambil alih kantong plastiknya. “Sampein terima kasih gue ke Kak Mega, Bam.”

Sejak Kak Wira menghilang dan kami bersama-sama berusaha mencarinya, sejak itu pula hubungan kami jadi lebih dekat. Aku dan Bambang jadi tak secanggung dulu, sementara Kak Mega melimpahkan perhatian yang dulu diberikan ke Kak Wira padaku.

Contohnya ini. Sesekali Kak Mega mengirimkan makanan padaku melalui Bambang.

Chat aja, Kak.”

“Iya, gue chat, tapi terima kasih gue melalui lo juga harus sampe,” kataku.

“Iya, iya.” Bambang acuh tak acuh. “Ngomong-ngomong, unit sebelah masih kosong aja?”

Aku mengikuti arah pandang Bambang. Unit yang dimaksud Bambang adalah unit yang pernah ditinggali Kak Bunga. Sebulan setelah Kak Wira pergi, Kak Bunga memilih pindah. Mungkin dia tahu Kak Wira tidak akan pernah kembali, makanya Kak Bunga berhenti menunggu di sini.

Harusnya aku juga begitu.

“Hm, masih. Kenapa? Mau jadi tetangga gue?” tanyaku.

“Enggak deh, gue masih nyaman tinggal sama orangtua gue.”

Bambang bukan anak manja, tapi dia itu anak semata wayang makanya orangtuanya tidak begitu setuju dia buru-buru hidup terpisah. Mungkin karena itu Bambang akhirnya pasrah dan berakhir nyaman.

“Padahal kalau lo tinggal di sini, perjalanan lo ke kantor jadi lebih singkat.” Sebenarnya aku tidak serius membujuk Bambang, tapi kalau akhirnya dia mau ya bagus. Aku jadi punya kenalan yang tinggal di sebelah unitku.

Bambang menghela napas. “Gimana kalau Bang Wira aja yang tinggal di sini?” gumam Bambang, namun aku bisa mendengarnya.

Ternyata Bambang masih berharap orang itu kembali.

“Ah, sorry, Kak,” ucap Bambang.

Aku mengulas senyum tipis. “Kenapa minta maaf segala sih? Enggak apa-apa. Lo mending berangkat sekarang.”

Bambang meringis. “Ya udah, sarapannya di makan, Kak.” Kemudian berlalu dari hadapanku.

Di dalam, sebelum menyantap sarapan dari Kak Mega, aku menyimpan bahan-bahan yang tadi kukeluarkan dari kulkas. Selesai sarapan dan menghabiskan kopi, aku bersantai sejenak sembari membalas komentar-komentar yang ditinggalkan pembaca di tulisanku.

Komentar-komentar mereka yang kadang lucu, ikut marah saat protagonis ditindas, ikut sedih, atau berdebar, selalu menjadi penyemangatku saat pagi hari. Sekaligus mendorongku untuk terus menciptakan karya yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Puas berinteraksi dengan mereka, sekarang waktunya mandi.

Tanganku terulur ingin meraih sikat gigi, namun tubuhku malah mematung. Mataku selalu saja tertuju pada sikat giginya. Sejujurnya, meski sejak dua bulan lalu mengaku menyerah dan tidak ingin lagi menunggu Kak Wira, nyatanya aku masih berharap.

Sikat gigi, samponya masih kusimpan dengan baik. Setiap hari aku membersihkan sikat giginya agar tak berdebu. Aku menyetok dan meminum kopi instan kesukaannya tiap pagi. Aku meniru rutinitasnya agar tak lupa dengannya dan suatu hari ketika dia pulang, dia akan memujiku.

Dan alasan aku melakukan semua itu hanya satu. Karena dia.

Tapi kini, hari ini, aku sadar telah benar-benar lelah menunggunya. Selama ini aku berharap tanpa ada kepastian sama sekali dan sampai detik ini pun, tidak ada jalan yang kutemukan untuk bisa menemukannya.

Aku harus berhenti.

Besok, aku berjanji pada diriku sendiri untuk membuang barang-barang Kak Wira yang tersisa di apartemen ini. Aku harus membuang kenangan yang tak seberapa lama itu bersama barang-barangnya.

Aku, harus memulai hidup baru, tanpanya.




🐢🐢



Mari berdoa untuk Romeo dan Juliet agar tenang di sana. Aamiin🙏

Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang