Tes ombak dulu, setelah libur lumayan lamaaa
🐢🐢🐢
Pintu kamar dibuka dan aku melongo ke dalam. Rupanya dia tidak bohong. Kamar yang dijadikannya gudang ini pengap karena selalu dalam keadaan tertutup, belum lagi ada beberapa kotak sepatu yang berserakan dan rak buku yang membuat kamarnya terlihat makin sempit.
Tanpa aba-aba, Wira lalu menutup pintu dan menguncinya. Mulutnya tetap terkunci rapat saat dia melangkah ke kamarnya. “Malam ini kamu tidur di kamar saya, biar saya yang tidur di sofa.”
Walau menyebalkan, setidaknya dia masih punya hati nurani tidak membiarkanku tidur di sofa. Atau yang terburuk, dia mengajakku tidur di kamar yang sama. Aku melirik sofa yang tak jauh dari posisiku berdiri dan sejenak bertanya-tanya. Laki-laki ini terbilang tinggi, sementara sofa ini mungkin hanya muat setengah badannya.
Aku menoleh saat Wira menghela napas.
“Cuma malam ini. Besok langsung beresin kamar itu. Kotak sepatunya kamu pindahin ke kamar saya, kalau rak bukunya—”
“Biarin aja. Lagian saya di sini cuma sebentar. Repot kalau dipindah-pindahin.”
“Oke, terserah kamu,” katanya acuh tak acuh.
Wira yang tidak terlalu peduli dengan kehadiranku justru melegakan bagiku. Lebih baik bersikap asing satu sama lain lalu jika waktunya tiba, aku akan pindah dan semoga tidak bertemu lagi dengannya.
Aku masuk ke kamarnya setelah Wira mengambil laptop, bantal, dan selimutnya. Begitu pintu kukunci, mataku mulai menyisir seisi kamar. Untuk ukuran laki-laki, kamarnya jauh lebih rapi dari perempuan—aku contohnya. Sama halnya dengan ruang depan, dalam kamar ini tidak banyak perabotan, pajangan, atau foto di dinding yang akhirnya malah kelihatan sesak.
Hanya ada lemari, tempat tidur, dan meja kerjanya. Barang-barang di atas meja kerjanya pun cuma ada tiga buku yang ditumpuk, wadah pulpen pensil, dan sticky note—mungkin. Aku tidak berniat mendekat memastikan hanya untuk memuaskan rasa penasaranku.
Akhirnya aku membaringkan tubuhku. Waktunya istirahat dan mari lupakan sejenak tentang masalah yang terjadi.
***
Jika biasanya aku terbangun karena teriakan atau tangisan keponakanku, kali ini tidak. Aku sadar ujung bibirku tertarik walau kedua mataku masih sepenuhnya terpejam. Tahu begini, harusnya aku pindah dari lama. Hidup tenang dan tanpa gangguan.
Ketukan di pintu kembali terdengar. Mau tidak mau aku bangun karena tahu siapa orang di luar sana.
Wira berdiri di depan pintu dengan handuk di pundaknya. “Bisa keluar sebentar?”
“Hah?”
Wira menghela napas dengan wajah kesal. “Saya mau ambil baju ganti. Kecuali kalau kamu mau lihat saya cuma handukan habis mandi.”
Mataku langsung segar mendengar ancamannya. Buru-buru aku keluar dan menjauh darinya. Lupakan penilaianku semalam, dia tetaplah laki-laki menyebalkan dan aku tidak menyukainya.
“Oh iya. Cepet beresin kamar kamu, saya enggak mau tersiksa lagi tidur di sofa,” katanya sebelum masuk ke kamar.
Aku mendengus. Siapa juga yang maksa dia tidur di sofa? Bukan aku yang minta, dia sendiri yang menawarkan diri. Dengan perasaan dongkol, aku masuk ke kamar sebelah dan mulai membersihkan. Padahal untuk sekadar cuci muka atau minum pun belum. Nasib, nasib.
Hampir dua jam lamanya aku menyulap kamar ini agar bisa dihuni nanti malam. Oh, tidak. Aku tidak perlu menunggu malam, setelah ini aku akan mandi dan melanjutkan tidurku tanpa gangguan. Semalam aku tidur jam tiga pagi dan dibangunkan jam tujuh, yang artinya tidurku belum cukup.
![](https://img.wattpad.com/cover/316953728-288-k357374.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]
RomantiekAriel Ananda, perempuan tulen walau namanya lebih cocok untuk laki-laki. Mengambil keputusan besar untuk keluar dari rumah. Alasannya, keadaan yang tidak mendukung profesinya sebagai penulis. Wira Hermawan, editor disalah satu penerbitan yang sangat...