chapter 9 - tato rasi bintang

26.9K 3K 105
                                    

Happy reading❤️



🐢🐢🐢

Seperti rutinitas sebelumnya, aku bangun tengah malam dan akan menulis hingga besok pagi. Kali ini aku bangun sejam lebih lambat dari biasanya. Padahal kuingat-ingat, tidak ada kegiatan berat yang aku lakukan di siang hari hingga membuat waktu tidurku jadi lebih panjang.

Aku meregangkan badan sembari melangkah menuju kamar mandi. Saat melewati meja makan, aku tidak bisa tidak menoleh karena ada kertas berwarna hijau yang begitu mencolok. Jelas itu bukan sticky note yang aku tinggalkan. Yang kupakai warna pink pastel.

Jadi sudah pasti itu catatan yang ditinggalkan Kak Wira. Sejauh ini aku masih berpikir positif. Catatan itu mungkin berisi ucapan terima kasih darinya. Aku mendekat dan mencabutnya untuk membaca dari dekat.

'Terima kasih, tapi masakan kamu bau langu. Jangan masak lagi.'

Langu katanya? Aku tertawa, lebih tepatnya menertawakan diri sendiri. Konyol karena aku sempat berprasangka baik terhadapnya. Aku meremas kertas di tanganku dan membuangnya ke tempat sampah.

Harusnya aku tidak perlu merasa bersalah dan dengan percaya diri memasak untuk laki-laki itu. Mulai sekarang aku mesti menyadarkan diri bahwa aku tidak berbakat dalam hal masak-memasak.

Akhirnya aku melanjutkan rencanaku ke kamar mandi dengan kata langu yang terus berputar dalam kepalaku. Sumpah, aku benci orang itu.

**

Bahkan hingga malam pun aku masih ingat jelas setiap kata yang dia tulis, untungnya sepulang kerja dia datang bersama perempuan yang kutemui saat pertama kali di sini. Jadi aku menahan diri untuk tidak menampakkan wajah tidak bersahabat.

Perempuan itu mengajakku duduk berdua di ruang depan, sementara Kak Wira menghilang ke kamarnya. "Waktu itu kita belum sempat kenalan," katanya sambil mengulurkan tangan, "Gue Mega."

Aku meraih tangannya. "Ariel, Kak."

Kak Mega tertawa kecil. "Iya, gue tau."

Sangat berbanding terbalik dengan laki-laki itu. Lagi-lagi aku bertanya-tanya sendiri, bagaimana kronologisnya sampai mereka bisa berteman. Belum lagi perempuan di unit sebelah, bagaimana dia bisa suka sama laki-laki yang kepribadiannya 180° berbeda darinya.

Pesona apa yang dimiliki laki-laki menyebalkan itu?

"Gimana selama tinggal bareng Wira?"

Aku meringis. Kenapa mendadak menanyakan kabarku selama tinggal bersama manusia menyebalkan itu? Mungkin seandainya aku tidak memasak untuknya dan catatan itu tidak pernah ada, aku akan menjawab bahwa aku baik-baik saja.

Laki-laki itu memang tidak pandang bulu mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Entah itu untuk Kak Bunga ataupun aku.

"Dilihat dari ekspresi lo, kayaknya enggak baik, ya?" tebak Kak Mega.

Aku mengangguk lemah. Terima kasih karena sudah mengerti meski aku tidak mengatakannya. Andai saja teman tinggalku adalah Kak Mega, mungkin hidupku saat ini akan jauh lebih tenteram.

"Makanya malam ini gue datang. Gue mau bahas masalah kalian," Kak Mega mengangkat bahu, "karena bagaimanapun gue cukup punya andil bikin kalian sampai terpaksa tinggal bareng."

Aku diam, padahal aku berharap bisa keluar dari sini secepat mungkin.

"Sori karena gue harus ngomong ini, tapi belum ada yang minat. Kayaknya kebanyakan orang lebih milih tinggal sendiri atau tinggal sama orang yang mereka kenal daripada orang asing."

Di antara kebanyakan orang itu, ada aku yang dengan beraninya mengambil risiko tinggal bersama orang asing. Bukan cuma Kak Mega, di sini aku juga salah.

"Sebenarnya kita punya banyak temen di tempat kerja," kalimat Kak Mega terhenti ketika Kak Wira keluar dari kamar dengan pakaian santai. Kak Mega baru melanjutkan setelah Kak Wira duduk di sebelahnya, "tapi enggak ada yang mau tinggal sama dia."

Itu artinya tidak ada yang tahan dengan wataknya. Aku bisa mengerti karena sudah merasakannya selama seminggu lebih tinggal bersama. Memang sebaiknya demi menjaga mental, aku har-

Hei, dia punya tato!

Tadinya aku tidak sadar, tapi ketika dia bersedekap tato di lengan kanan atasnya terlihat. Aku tidak tahu pasti, mungkin itu rasi bintang? Kenapa selama ini aku tidak tahu? Aku berusaha menggali ingatanku sejauh ini, selain jarang bertemu aku baru ingat Kak Wira selalu mengenakan baju lengan ¾ atau lengan panjang sekalian.

 Aku tidak tahu pasti, mungkin itu rasi bintang? Kenapa selama ini aku tidak tahu? Aku berusaha menggali ingatanku sejauh ini, selain jarang bertemu aku baru ingat Kak Wira selalu mengenakan baju lengan ¾ atau lengan panjang sekalian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oke, sekarang jadi masuk akal.

"Saran gue, kenapa lo enggak coba tawarin ke temen-temen lo?"

Suara Kak Mega berhasil menghentikan kegiatanku mengamati tato Kak Wira. Saat aku mengangkat pandangan, mataku dan Kak Wira malah tak sengaja bertemu. Dia mengernyit, sepertinya sadar aku memerhatikan lengannya.

Aku berpura-pura tidak melihatnya dan mengalihkan pandangan ke arah Kak Mega. Tapi tunggu, pertanyaannya apa tadi? Kenalan Kak Wira tidak ada yang mau? Oh, bukan. Kak Mega menyarankan menawarkannya ke temanku.

"Temen gue cuma ada 12 orang, Kak," kataku jujur.

"12?" ulang Kak Mega.

Aku mengangguk. 12 orang yang kumaksud di sini adalah mereka-mereka yang akrab denganku. Kalau sekadar kenal aku menolak menyebutnya teman.

"Sosmed?"

"IG, tapi dua tahun lalu udah gue hapus. Kontak WA gue adanya 12 orang dan rata-rata cewek, sisanya keluarga."

Bagiku tidak ada alasan untuk menyimpan kontak banyak orang. Kalaupun suatu saat butuh, ada grup alumni yang bisa gunakan untuk mencarinya. Sementara keputusan menghapus sosial media, agar aku berhenti melihat kehidupan orang lain dan membandingkannya dengan hidupku.

"Oh, oke," ucap Kak Mega singkat.

Kulihat Kak Wira geleng-geleng sebelum beranjak dari duduknya, menuju meja makan. Lagi-lagi mataku terpaku pada tatonya. Seumur hidup ini menjadi pertama kalinya aku bertemu dan berinteraksi langsung dengan orang yang memiliki tato.

Wajar, kan? Temanku bisa dihitung jari, jarang keluar rumah, dan dunia pekerjaanku tidak menuntutku bertemu orang baru. Aku bukannya takut, hanya sedikit terkejut. Lagi pula tato Kak Wira termasuk kecil, bukan tato yang sampai terlihat membungkus lengannya.

Malahan aku suka.

"Gimana kalau kita makan sebelum lanjutin pembahasan ini? Lo belum makan, kan?" tanya Kak Mega.

Aku mengangguk kaku, ya aku memang belum makan. Tapi dia tidak bermaksud mengajakku makan bersama, kan?

"Ayo! Gue beli makanan buat kita bertiga," ajak Kak Mega.

Kalau aku mengiakan, malam ini perdana aku makan satu meja bersama Kak Wira setelah seminggu lebih. Yang jadi pertanyaan, apa aku bisa menelan makanan di hadapannya? Mengingat di meja itu aku menemukan sebuah catatan yang membuatku tak ingin memasak untuk beberapa waktu ke depan.

Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang