prolog

55K 4.4K 90
                                    

Dengan koper besar dan tas ransel yang beratnya minta ampun, aku berdiri di depan gedung tinggi yang sebentar lagi akan menjadi tempat tinggalku. Sebelah tanganku yang bebas terangkat menghalangi terik matahari lalu mendongak. Senyumku mengembang, akhirnya impianku hidup mandiri menjadi kenyataan.

Puas menatap gedung, aku melanjutkan langkahku. Memasuki lift sembari menggeret koperku yang berisi pakaian dan beberapa pasang sepatu. Barangku yang lain ada di dalam tas yang besarnya hampir menutupi punggungku. Ada alat mandi, skincare, laptop, buku catatan, dan barang-barang kecil lainnya.

Sebenarnya barangku masih banyak yang kutinggal di rumah tapi aku memilih tidak membawanya. Aku tidak mau merepotkan diri sendiri dan memenuhi kamarku dengan barang yang tidak begitu penting.

Dari dulu aku punya ingin mempunyai kamar sendiri dan mendekorasinya sesuai keinginan. Minimalis dengan cat putih, cukup diisi tempat tidur, meja kerja yang bisa dialih fungsikan menjadi meja rias, dan lemari pakaian.

Aku tidak suka ruangan yang diisi terlalu banyak barang, sementara di rumah aku harus berbagi kamar dengan kakak ketigaku. Diyas—di keluargaku memanggil tanpa embel-embel kakak bukan masalah.

Dia adalah penentu tatanan perabotan dalam kamar. Kalaupun aku memberi saran untuk mengubah letak cermin misalnya, kernyitan di keningnya akan muncul dan tanpa perasaan menyampaikan ketidaksetujuannya. Jelek katanya.

Dari situ aku belajar pasrah dan membebaskannya. Terserah mau dia susun tempat tidur dan lemari ke atas atau cermin digantung dilangit-langit. Yang bisa kulakukan hanya berharap dan berusaha agar secepatnya punya kamar sendiri. Entah orangtuaku yang berbaik hati menambah kamar atau aku yang pindah.

Dan hari ini menjadi salah satu hari bersejarah dalam 25 tahun, doaku akhirnya terkabul.

Ujung bibirku terangkat samar ketika aku sampai di depan pintu nomor 1070. Setelah memasukkan sandi, mendorong pintu, aku melongok menyisir seisi apartemen. Senyumku semakin lebar melihat keadaan apartemen yang bersih dan rapi.

Tanpa berlama-lama lagi, aku masuk dan sekali lagi mematung dengan mata menjelajah liar. Aku amat syukur karena menemukan teman tinggal yang memiliki selera sama denganku. Lihatlah! Perabotannya tidak banyak dan tidak ada barang-barang kecil yang diletakkan di atas meja TV dan makan.

Aku menaruh tas ranselku dan berjalan ke dua kamar yang bersebelahan. Tidak bisa dipungkiri, aku penasaran dengan teman sekamarku nanti, Mira. Aku ingin tahu bagaimana dia dari kamarnya. Walaupun punya dua kamar, Mira mengajakku sekamar karena kamar satunya sudah jadi gudang.

Aku tidak masalah. Selama aku tidak mendengar suara tangisan atau teriakan keponakanku, aku bisa bertahan. Kalaupun tidak nyaman berada di kamar berdua bersama Mira, aku bisa menulis di sofa ruang depan. Nyaman kok.

Ah, terkunci. Sepertinya Mira belum sepenuhnya percaya padaku. Aku mengangkat bahu lalu melirik jam di pergelangan tanganku. Janjinya Mira akan tiba jam lima, tapi sudah lewat setengah jam dia belum datang. Padahal aku sengaja datang agak terlambat.

Akhirnya aku memutuskan makan sembari menunggunya. Aku mengeluarkan mie cup dari ransel dan membawanya ke dapur. Saat mie selesai kuseduh, aku mendengar pintu yang ditutup. Itu pasti Mira!

Aku buru-buru keluar namun langkahku terhenti ketika melihat sosok yang ada di sana. Aku mengerjap dua kali saat netraku bertemu dengan laki-laki kurus berkacamata itu. Tatapan tidak bersahabatnya menatapku dan barang bawaanku berganti.

“Ariel?” sahutnya ragu.

Dia tahu namaku! Mataku melebar, jangan-jangan..

“Mira?”

Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang