chapter 28 - jaga jarak aman

23.5K 3.1K 67
                                    

Happy reading❤️



🐢🐢🐢




Kak, kayaknya gue mau pindah. Iklannya dipasang lagi, ya?

Pesan yang kukirim ke Kak Mega mendapat balasan dengan cepat, padahal aku sudah siap menunggu. Karena aku mengganggunya dijam kerja.

Kak Mega tidak langsung mengiakan—tentu saja, tapi malah bertanya alasanku. Dan jangan pikir aku akan mengatakan apa yang terjadi semalam meski itulah alasannya. Jadi aku berbohong berubah pikiran dan ingin tinggal seorang diri. Sayangnya Kak Mega tidak merespons bahkan sampai Kak Wira pulang dan langsung menyerangku dengan pertanyaan.

Kini aku tahu kenapa Kak Mega tidak menggubrisku.

“Kenapa lo tiba-tiba mau pindah?”

Aku yang tengah sibuk mengaduk sayur di depanku hanya menoleh singkat. “Enggak tau, gue ngerasa lebih cocok tinggal sendiri.”

“Pasti gara-gara semalam,” gumam Kak Wira namun aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Aku memutar bola mata, tidak berniat menyahut atau melirik ke arahnya. Seharian ini tidak melihatnya saja bayangan semalam masih suka muncul tiba-tiba, apalagi jika aku melihatnya langsung.

“Oke, gue ngerti. Sekarang kita bahas yang belum selesai pagi tadi.”

Dia tidak lupa rupanya.

“Semalam gue nyium lo, kan?”

Aku melongo dan refleks menoleh ke arahnya. Dibanding bertanya, yang keluar dari mulutnya barusan lebih cocok disebut pernyataan. Mana dia mengucapkannya dengan santai pula, seolah-olah insiden ciuman itu sesuatu hal yang biasa.

Bagi dia, mungkin iya. Tapi aku?

Kak Wira mengalihkan pandangan sebentar lalu kembali menatapku. “Gue tahu kebiasaan gue, jadi itu yang paling mungkin. Apalagi Mega bilang semalam dia  hubungin lo, tapi tiba-tiba mati.”

Iya, karena itu pula ponselku nyaris retak.

Kak Wira menghela napas setelah aku mengangguk samar. “Terus kenapa enggak minta denda?”

“Karena lo mabuk,” cicitku, kembali menunduk menatap sayur di depanku. Harusnya sayurnya sudah kuangkat, tapi jika kumatikan aku tidak punya alasan menghindari tatapannya.

“Dikontrak sengaja maupun tidak sengaja.”

“Enggak usah,” kataku ingin dia cepat-cepat selesai membahasnya. Ini kenapa aku tidak mau menagih denda atas kejadian semalam, karena dengan begitu kami jadi membahasnya.

“Sori, Yel,” ucap Kak Wira setelah hening cukup lama.

Aku menoleh mendengar permintaan maafnya yang terdengar tulus. Agak kaget juga, dia tahu caranya meminta maaf. “Lain kali gue enggak akan ngizinin lo masuk kalau mabuk, biar lo nginap di tempatnya Kak Bunga,” ancamku walau aku tahu dia tidak mungkin takut.

Kak Wira mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ini bukan pertama kalinya aku melihatnya tersenyum, tapi efeknya tetap sama. Bukan berdebar, tapi lebih ke takjub. Dia punya senyum manis yang bisa membuatnya tampak ramah di mata orang-orang, namun yang sering ditunjukkan malah tatapan tidak bersahabat.

“Enggak ada lain kali, sori.”

Aku cuma mengangguk dan mulai menata makan malam di atas meja.

“Tapi waktu itu gue enggak ngomong yang aneh-aneh, kan?” tanya Kak Wira ketika ikut membantuku.

Aku membeku di sisi meja. Tentu ada. Dibanding ciuman itu, fakta bahwa Kak Wira normal justru lebih mengejutkan. “Enggak.”

“Kayaknya lo bohong lagi,” kata Kak Wira penuh kecurigaan.

“Gue enggak bohong!” balasku.

Lagi-lagi, seperti tadi pagi, Kak Wira maju mendekat dengan tatapan mengintimidasi. Jika disuruh memilih, aku lebih suka Kak Wira yang bermulut pedas daripada dia yang saat ini seakan ingin menyerangku.

“Satu meter!” Aku memperingatkan sambil mengambil langkah mundur.

“Itu peraturan dari mana?” tanyanya.

Aku berkacak pinggang. “Dari gue barusan.”

“Jangan tambah-tambahin kontraknya.”

“Kenapa gue enggak boleh sementara lo boleh?”

“Kapan gue tambahin?” Kak Wira menunjuk kontrak yang tertempel di kulkas. “Kontraknya masih segitu-gitu aja.”

“Patungan buat makan,” kataku.

“Itu kesepakatan yang dibuat di luar kontrak.”

Dengan cepat aku mundur ketika Kak Wira mengambil satu langkah maju.

“Gue enggak mabuk, tapi lo tetep bikin jarak sama gue. Bukannya wajar gue curiga lo bohong?” Kak Wira mendekat sekali lagi.

Stop!” teriakku.

Aku menengok ke belakang. Satu-satunya tempat aku bisa lari darinya hanya kamar mandi dan aku tidak akan masuk ke sana. Aku menghela napas, kuputuskan mengatakan yang sebenarnya sebelum Kak Wira benar-benar memojokkanku.

“Lo bilang lo normal!” kataku cepat karena Kak Wira bersiap mengambil langkah mendekat.

Kak Wira mengernyit. “Gue kan udah sering ngomong, apa yang bikin lo kaget?”

“Kemarin gue enggak percaya. Lagian siapa suruh lo tindih-tindihan sama Bambang. Bikin orang salah paham.”

“Itu enggak sengaja dan lo yang enggak mau denger penjelasan dari gue.”

“Iya, oke! Gue percaya sekarang. Enggak usah maju!” Aku memperingatkan lagi. Entah orang ini tidak sadar atau bagaimana, kakinya itu selalu saja mencoba melangkah.

“Karena sekarang di mata lo gue normal, lo jadi takut dekat-dekat sama gue?” Kak Wira tersenyum geli.

“Iya!”

Kak Wira cuma geleng-geleng kepala lalu akhirnya meninggalkanku. Bagus. Kesempatan ini bisa kugunakan untuk makan sementara dia berada di kamarnya. Jadi selesai makan aku langsung masuk ke kamar, menghindarinya hingga besok.

Sayangnya, belum juga satu suap masuk ke mulutku, Kak Wira tiba-tiba muncul. Dia tersenyum miring kemudian duduk di hadapanku.

“Udah gue duga, lo makan duluan biar bisa menghindar dari gue,” katanya sambil menyendokkan nasi, lauk, dan sayur ke piringnya.

Kalau tahu, terus kenapa malah keluar? Harusnya dia mendekam saja di kamar dan membiarkanku tenang. Manusia ini kayaknya memang sengaja menggangguku karena kini dia tahu aku takut.

Berpura-pura tuli, aku mengangkat piringku menuju ke ruang depan. Aku duduk sendiri di sana dan menyantap makan malamku. Tidak lama, Kak Wira malah ikut bergabung dan duduk di sebelahku.

Aku mendelik. “Kak, satu meter.” Dan tahu bagaimana responsnya? Dia cuma mengendikan bahu acuh tak acuh. Untung aku perhitungan, kalau tidak piringku sudah melayang ke wajahnya.

Pasrah dan memilih untuk mengalah, aku membawa piringku lagi dan pindah ke meja makan. Masa bodo dengan pamali tidak boleh berpindah saat makan, keselamatanku jauh lebih penting.

Lagi-lagi, belum lama aku duduk tenang Kak Wira menghampiriku. Aku terang-terangan menunjukkan wajah masamku. Dan yang membuatku semakin jengkel adalah dia tersenyum puas alih-alih sadar bahwa aku ingin menjauh darinya.

“Apa sih?”

Aku menghela napas. “Kak, gue mau makan.”

Kak Wira terkekeh. Lah? Makin aneh. “Makan aja, yang larang siapa?”

“Ya lo jangan ngikutin gue,” kataku frustrasi.

Kak Wira mengunyah makanan di mulutnya sambil menatapku lurus-lurus. Lalu mendadak senyum kecil muncul di wajahnya. “Lo sadar enggak sih kalau lo itu lucu?”

Wah, sakit nih manusia.



Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang