“Nyusahin lo.”
Sudah kuduga. Aku tidak boleh buru-buru menilai kebaikannya, karena di balik itu ada kata-kata tajam yang mengikuti atau dia punya alasan kenapa sampai repot-repot menjemputku. Alasan paling mungkin adalah lapar.
“Ayo!”
Aku menghampirinya, ikut bergabung di bawah payung dan melangkah pelan menerjang hujan. Sepayung berdua bersama Kak Wira adalah hal yang tidak pernah sekalipun terbayang di kepalaku, mengingat sifatnya yang cukup menguras kesabaran.
Sebisa mungkin aku menjaga jarak dengannya namun tanpa harus merelakan bahuku kehujanan. Aku tidak mau saja dia mengeluh dan berakhir dengan dia meninggalkanku karena lengan kami bergesekan.
“Lo kenapa sih ngejauh mulu!” seru Kak Wira tiba-tiba.
Kakiku berhenti mengayun lalu menoleh ke arahnya. Mataku yang terbuka lebar mengerjap dua kali. Aku salah apa lagi?
“Payungnya enggak muat!” katanya.
Kayaknya dia tidak ikhlas menjemputku. Dari tadi bawaannya marah terus. Mungkin memang seharusnya orang ini dibalas pakai nada tinggi yang sama. “Kenapa enggak bawa dua?”
Kak Wira mengernyit tak suka. “Mau pinjam punya siapa? Lo ya dijemput malah marah-marah, enggak ada terima kasih-terima kasihnya sama sekali.”
Aku berkacak pinggang dan mengangkat dagu menantangnya. “Lo yang duluan marah!”
Kak Wira kembali memosisikan tubuhnya menghadap ke depan dan melanjutkan langkahnya. Mau tidak mau aku mengikutinya.
“Ya makanya jangan jauh-jauh!” Lengan bajuku ditariknya hingga lengan kami menempel, aku menoleh dengan mata melotot, jangan bilang dia lupa lagi sama kontraknya.
“Gue enggak nyentuh lo, ya,” katanya seakan tahu arti tatapanku.
Perjalanan pulang menuju apartemen akhirnya dihabiskan dengan saling diam. Lagi pula tidak ada hal penting yang mesti dibicarakan, selain itu siapa sih yang ngobrol di bawah derasnya hujan?
Kecuali yang tadi, itu pun bukan termasuk ngobrol tapi bertengkar. Ya anggap saja begitu.
Sesampainya di apartemen, aku segera menaruh minyak di pantry lalu masuk ke kamar mengganti pakaianku. Tidak sampai basah memang, tapi jaket dan celanaku lumayan lembap terkena percikan hujan.
Keluar dari kamar, di saat yang sama Kak Wira juga keluar dari kamarnya. Mataku memerhatikannya dari ujung kepala hingga kaki. Kalau tidak salah ingat, itu bukan pakaian yang dikenakannya tadi.
“Apa?” sahutnya dengan sangat tidak ramah.
Aku memaksakan senyumku kemudian menggeleng. Lebih baik aku segera memasak biar dia bisa cepat-cepat makan. Mungkin karena lapar, mood-nya jadi naik turun. Tanpa mengatakan apa pun, aku berjalan ke pantry sementara Kak Wira memilih duduk bersama laptopnya di ruang depan.
Selesai menggoreng tahu, aku lanjut memotong terong lalu melumurinya dengan tepung ketika Kak Wira tiba-tiba berada di sebelahku. Dia mengangkat ponsel milikku, menunjukkan layarnya. Nama Kasih terpampang di sana.
“Mau diangkat?” tanya Kak Wira.
Mumpung dia lagi baik, aku mengulas senyum tipis lalu meminta tolong padanya. Tanganku yang berlumuran tepung tidak memungkinkanku memegang ponsel. Mau dicuci juga sayang. “Tolong nyalain speakernya dong, Kak.”
Kak Wira mengangguk samar dan tanpa protes menurutiku lalu menaruh ponselku. Kupikir dia akan pergi setelah itu, tapi dia malah beralih membantuku mengaduk sayur toge di wajan dan memasukkan beberapa macam sayur yang telah kupotong-potong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]
RomanceAriel Ananda, perempuan tulen walau namanya lebih cocok untuk laki-laki. Mengambil keputusan besar untuk keluar dari rumah. Alasannya, keadaan yang tidak mendukung profesinya sebagai penulis. Wira Hermawan, editor disalah satu penerbitan yang sangat...