Happy reading❤️
🐢🐢🐢
“Aaaah!”
Refleks kedua tanganku terangkat, memeluk diriku sendiri. Mataku yang terbuka lebar menatapnya tidak percaya. “Apa lo bilang? Tidur di kamar lo?”
Kak Wira bangkit dari duduknya, namun tidak mencoba untuk mendekat satu langkah pun. Dia mengambil napas, sepertinya ingin membantah makanya aku buru-buru menyela, “Wah, lo parah, Kak.”
“Yel, cuma tidur.” Kak Wira mengembuskan napas panjang. “Gue enggak minta kita ngapa-ngapain.”
Mataku yang tadi melotot, kini memicing. “Siapa yang bisa jamin lo enggak apa-apain gue?”
Tinggal seatap saja bikin aku was-was, dia malah memintaku tidur di kamarnya! Dua manusia berbeda jenis kelamin dan astaga, aku tidak sanggup membayangkan lebih jauh. Walaupun kami menjalin hubungan, tapi aku juga punya batas yang tidak boleh dilewati.
“Ariel.”
“Tunggu.” Aku mengernyit. “Jadi ini alasan lo baik-baikin gue seharian ini?” Aku menutup mulutku yang mengangga saking kagetnya, sekaligus merinding. Kan! Di dunia ini tidak ada kebaikan yang gratis, pasti ada alasan dibaliknya.
Gratis itu berbahaya.
Kak Wira menggeleng cepat. “Enggak. Yel, jangan ambil kesimpulan sendiri.”
Aku mengangkat dagu menantangnya. “Kalau bukan apa yang gue pikirin, terus apa?”
Hening. Entah berapa detik kami saling diam dan hanya beradu tatap, sampai akhirnya Kak Wira bersuara. “Oke, anggap gue enggak ngomong apa-apa,” katanya lalu kembali duduk di kursinya.
Melihat ekspresi terakhir yang Kak Wira tunjukkan membuatku merasa ada hal lain, bukan seperti yang aku tuduhkan. Aku bingung bagaimana menjelaskan raut wajahnya. Pasrah, kebingungan, lelah, atau masa bodo? Di mataku semua bercampur jadi satu.
Aku menduduki kursi di sebelah Kak Wira.
Kak Wira menoleh dan bertanya, “Kenapa enggak masuk?”
Aku mengunci tatapanku dengannya. “Kak, lo ada masalah?”
“Lo merasa gue ada masalah?” Kak Wira tersenyum kecil.
Aku mengangguk samar. “Soalnya Kak Wira yang gue lihat hari ini agak berbeda. Apalagi,” sengaja kuberi jeda sebentar, “dia minta gue tidur di kamarnya.”
Masih dengan senyum di wajahnya, Kak Wira memutus netranya denganku untuk di arahkan ke depan sembari menyandarkan punggungnya. “Sori.”
Satu kata itu tidak menjawab pertanyaanku. Justru satu kata itu seakan-akan menyimpan banyak keresahan yang enggan Kak Wira katakan. “Jadi?”
“Enggak ada masalah,” jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
“Bohong.”
Kak Wira melirikku singkat. “Gue enggak bohong.”
“Kak, lo itu orang yang teramat jujur sampai perasaan orang lain pun enggak lo pikirin. Tapi kenapa sekarang lo enggak bisa jujur sama gue?” desakku. Aku tidak bisa tidak ikut campur. Di mulutnya, Kak Wira memang bilang tidak. Tapi dari matanya, Kak Wira seakan memohon seseorang untuk tetap berada di dekatnya.
Kak Wira menggenggam tanganku yang ada di lututku. “Jawaban gue tetap sama.”
“Ya udah, gue enggak tanya lagi,” kataku pasrah. Mungkin Kak Wira belum atau butuh waktu untuk memutuskan membaginya denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]
RomanceAriel Ananda, perempuan tulen walau namanya lebih cocok untuk laki-laki. Mengambil keputusan besar untuk keluar dari rumah. Alasannya, keadaan yang tidak mendukung profesinya sebagai penulis. Wira Hermawan, editor disalah satu penerbitan yang sangat...