Chapter kali ini hampir semua narasi, ya. Maap kalo bosen😁
Happy reading❤️
🐢🐢🐢
Seminggu berlalu, keberadaan Kak Wira belum berhasil diketahui.
Suami Kak Mega—yang juga teman Kak Wira, Kak Mega, dan Bambang, nyatanya masih belum cukup untuk setidaknya menemukan satu petunjuk tentang tempat persembunyian Kak Wira.
Satu-satunya kemungkinan adalah Kak Wira menemui Dina, adiknya. Namun itulah yang jadi masalah berikutnya, tidak ada satu pun yang tahu di mana rumah Nenek Kak Wira sekaligus tempat tinggal Dina.
Seketika, aku menyalahkan diri sendiri. Kenapa saat itu aku harus merasa tidak boleh menerobos batas yang mungkin membuat Kak Wira enggan bercerita. Kenapa saat itu aku tidak bersikap egois saja dan menanyakan di mana Dina tinggal. Kenapa aku—
Aku menghela napas dan berhenti menyikat tempurung Romeo. Ya, percaya atau tidak, sekarang aku bisa membedakan Romeo dan Juliet. Meski terlihat mirip, mereka berdua punya pola tempurung yang sedikit berbeda. Harusnya aku memamerkan hal ini pada Kak Wira, sayangnya dia lagi ada di sini.
Aku tersenyum pahit dengan tatapan fokus pada Romeo. Tiba-tiba saja hari di mana aku pertama kali bertemu Romeo Juliet dan memberi mereka nama berkelebat cepat di kepalaku.
“Kasih kura-kuranya nama.”
“Romeo, Juliet.”
“Romeo yang mana?”
“Ini.”
“Tau dari mana kura-kuranya cewek atau cowok?”
“Enggak tau, pokoknya yang satu Romeo, satunya lagi Juliet.”
“Ah, mata gue keluar keringat,” gumamku melucu, berusaha menghibur diri sendiri. Aku meletakkan Romeo di dalam akuarium lalu menyeka air mata yang tanpa izin mengalir di pipiku.
Jika melihat Romeo dan Juliet membuatku teringat Kak Wira, mungkin sebaiknya aku berhenti. Aku membuka lemari gantung untuk mencari mi instan, namun mataku justru tertuju pada kopi kesukaan Kak Wira.
Aku sengaja membiarkannya di sana, tidak membuangnya, tidak pula menyeduhnya. Karena aku masih berharap Kak Wira pulang.
Sebungkus mi instan telah berada di tanganku, tapi mendadak aku membeku ketika melihat notebook bersampul kuning tergeletak di dekat kompor. Cukup lama aku terdiam, hingga akhirnya aku mengembalikan mi instan ke dalam lemari.
Meski tidak ada di sini, Kak Wira masih mampu mencegahku menikmati makanan kesukaanku.
Notebook yang berisi penuh resep makanan yang dicetak dan ditempel rapi, disertai catatan tambahan yang ditulisnya sendiri menjadi temanku seminggu ini. Aku tidak tahu kapan Kak Wira menyiapkannya. Namun satu yang kutahu, dia telah mempersiapkannya seakan tahu akan pergi meninggalkanku.
Setelah mengintip isi kulkas dan memilih menu yang sesuai dengan bahan yang ada, aku mulai memasak meski sebenarnya aku tidak begitu nafsu makan. Tapi bukan berarti aku dengan bodohnya membiarkan diriku kelaparan.
Lagi-lagi aku teringat Kak Wira.
Ketika mencari mangkuk untuk sayur yang selesai kubuat, yang kudapati malah mangkuk biru dan merah muda pemberian Ali. Meski awalnya enggan menggunakannya, di saat aku dan Kak Wira akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih, mangkuk itu jadi sering dipajang di meja makan.
Kali ini pun, walaupun Kak Wira tidak bersamaku, aku akan tetap menggunakannya. Ya, meski itu berarti kepalaku harus terus penuh tentang Kak Wira di saat aku makan.
Kupikir, bayangan akan Kak Wira akan berakhir begitu aku beres makan. Aku lupa ketika masuk ke kamar mandi dan menangkap dua sikat berada di wadah yang sama, percakapan kami kala itu terngiang lagi.
“Ini dua-duanya buat gue, kan, Kak?”
“Satunya punya gue.”
“Hah?”
“Itu promo, makanya gue ambil. Lo minta yang murah, kan?”
Semua yang berada di apartemen ini, selalu mengingatku pada Kak Wira. Satu-satunya yang bisa kulakukan untuk berhenti memikirkannya secara berlebihan, hanya pindah dari sini. Tapi sekali lagi, aku masih berharap Kak Wira pulang. Jangan sampai tempat ini kosong begitu dia kembali.
Tiba-tiba suara samar ketukan pintu segera menyadarkanku. Setelah menyeka mataku yang sedikit berair, aku melangkah cepat ke ruang depan, ingin memastikan aku tidak salah dengar. Aku berdiri dalam diam selama beberapa detik lalu ketukan itu kembali terdengar.
Ujung bibirku terangkat tinggi, aku nyaris berlari menghampiri pintu ketika bayangan Kak Wira yang ada di luar sana muncul di kepalaku. Dengan gerakan cepat, aku menarik pintu.
Senyum mengembangku seketika lenyap saat bukan mendapati sosok Kak Wira, melainkan lelaki paruh baya. Tubuhnya kurus dan tinggi dengan wajah yang tidak terawat. Jaket dan celana yang dikenakannya pun tampak lusuh.
Aku memerhatikan wajahnya cukup lama, mencoba mengais ingatan orang-orang yang kukenal. Sayangnya, aku tidak menemukannya. Dia bukanlah orang yang kukenal.
Perlahan, aku mundur lalu menarik pintu hingga menjadi setengah tertutup.
“Bapak siapa, ya?” tanyaku.
Laki-laki paruh baya itu tersenyum kaku. “Wira. Dia tinggal di sini, kan?”
Kedua mataku terbuka lebar. Orang ini kenal Kak Wira! Dadaku yang seminggu ini serasa dihimpit, mendadak lega mengetahui ada orang lain yang mengenal Kak Wira. Aku baru saja berniat membuka pintu lebih lebar, tapi ingatan itu segera muncul.
“Atau dia pernah tinggal di sini?” tanya laki-laki paruh baya itu lagi.
Aku memerhatikan mata laki-laki di hadapanku ini, persis seperti milik Kak Wira. Apa aku bisa menyimpulkan bahwa laki-laki ini adalah orangtua Kak Wira? Yang katanya sosok yang tidak Kak Wira harapkan hadir kembali dihidupnya.
Kalau orang ini datang untuk meminta maaf, harusnya bukan ekspresi semacam itu yang ia pasang. Dibandingkan menyesal, matanya justru terlihat berbinar seakan sebentar lagi bertemu sumber uangnya.
Aku mengernyit. Sejujurnya, aku benci pikiran ini, tapi bagaimana jika ini benar? Kak Wira meninggalkanku karena orang ini?
Dia takut orang ini menyakitiku? Dia takut orang ini memanfaatkanku? Ya, mungkin dia berhasil. Sayangnya, justru kepergiaannya jauh lebih menyakitiku.
“Saya tinggal sendiri. Kayaknya Bapak salah nomor,” kataku lalu berniat menutup pintu. Namun secepat itu pula laki-laki paruh baya ini menahannya.
“Atau Wira tinggal di lantai ini?” tanyanya tidak menyerah.
“Saya enggak kenal sama yang namanya Wira.” Dengan sisa kekuatan yang nyaris habis karena terus menangisi Kak Wira, aku mendorong pintu hingga tertutup.
Sekarang aku tahu alasannya pergi, tapi sayangnya aku tetap tidak tahu di mana Kak Wira bersembunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]
RomanceAriel Ananda, perempuan tulen walau namanya lebih cocok untuk laki-laki. Mengambil keputusan besar untuk keluar dari rumah. Alasannya, keadaan yang tidak mendukung profesinya sebagai penulis. Wira Hermawan, editor disalah satu penerbitan yang sangat...