Happy reading❤️
🐢🐢
Di luar dugaan, kebaikan Kak Wira masih berlanjut hingga pagi ini. Lagi-lagi dia masuk ke kamarku seenak jidatnya dan membangunkanku. Dan tujuannya membangunkan yang tertidur nyenyak adalah menyuruhku sarapan.
Tanpa menunggu jawabanku, Kak Wira membantuku duduk dengan menarik tanganku. Dia menyentuhku lagi. Apa aku harus melanjutkan hitungan yang kemarin? Biar dia bangkrut sekalian.
"Masih pusing?"
Aku menggeleng. Baiklah, ini terakhir kalinya aku memaklumi. Niatnya baik, jadi aku tidak boleh memanfaatkannya. "Udah enakan kok."
"Ya udah, nih makan." Kak Wira menyerahkan mangkuk berisi bubur.
Aku menatap mangkuk yang kini berada di tanganku. Bukannya ini mangkuk couple pemberian Ali waktu itu? Kalau tidak salah ingat, aku menyimpannya agak dalam agar tidak ada yang menemukannya.
"Kenapa? Enggak suka?"
Aku mengangkat pandangan. "Suka."
Bubur ayam ini jauh lebih baik daripada bubur tanpa rasa di rumah sakit yang disajikan tiap pagi untuk pasien. Mana mungkin aku tidak suka. Ditambah lagi Kak Wira sendiri yang berbaik hati membelinya.
Setelah sembuh, aku janji akan mengganti uang dan membalas kebaikannya.
"Lo enggak usah minum obat lagi, istirahat aja," katanya namun mata dan jarinya fokus pada ponselnya.
Aku diam, memerhatikan Kak Wira yang larut dalam dunianya sendiri. Namun tiba-tiba bola matanya bergerak ke arahku. Mungkin selama tiga detik netra kami terkunci satu sama lain, baru setelah itu Kak Wira menyimpan ponselnya dan menatapku sepenuhnya.
"Kenapa? Mau tagih 700ribu yang semalam?" tanyanya.
Aku mendengus. "Enggak, gue bercanda, Kak. Masa gue minta denda sama orang yang udah rawat gue."
"Bercanda, tapi kalau gue kasih beneran lo ambil, kan?"
"Mau, lah! Rezeki enggak boleh ditolak, Kak," balasku.
"Itu bukan rezeki, lo meras gue namanya."
Meski sebulan telah berlalu, aku belum juga terbiasa dengan cara Kak Wira menatap. Pandangannya yang tidak goyah, tajam, dan lurus, selalu berhasil membuatku ingin buru-buru membuang muka. "Kak, udah jam 8," kataku mengalihkan topik sekaligus biar dia pergi dari hadapanku sekarang juga.
Dari sudut mataku, Kak Wira mengangguk samar lalu bangkit dari duduknya. "Hubungin gue kalau lo kenapa-napa."
"Gue udah baikan, Kak."
Kak Wira memicingkan mata. "Iyain aja kenapa sih?"
Kayaknya alasanku jatuh sakit bukan hanya dua faktor yang kupikirkan kemarin, tapi juga karena stres menghadapi laki-laki ini. Aku menoleh kemudian menjawab sesuai yang dia mau. "Iya, Kak."
Menjelang siang, aku merasa tubuhku telah kembali seperti semula. Pusing maupun lemas, semuanya sudah hilang. Karena itu, aku langsung mandi dan lanjut memasak untuk makan siang.
Emm, menggoreng telur masih termasuk memasak, kan?
Ponsel yang kutaruh di meja makan bergetar bersamaan saat aku mematikan kompor. Setelah memindahkan telur dadarku ke piring, aku menghampiri ponselku yang terus bergetar. Dari Kak Wira.
"Halo, Kak?" sapaku ragu.
"Gimana?"
"Gimana apanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]
RomanceAriel Ananda, perempuan tulen walau namanya lebih cocok untuk laki-laki. Mengambil keputusan besar untuk keluar dari rumah. Alasannya, keadaan yang tidak mendukung profesinya sebagai penulis. Wira Hermawan, editor disalah satu penerbitan yang sangat...