chapter 29 - sisi lain

23.7K 3K 60
                                    

Happy reading❤️




🐢🐢🐢




Benar, ya. Satu-satunya alasan orang-orang ingin mengubah pola hidupnya jadi lebih baik itu karena jatuh sakit. Dan aku sedang mengalaminya.

Bangun tidur aku baik-baik saja, aku ke kamar mandi lalu minum segelas air. Namun setelah itu mendadak jantungku berdetak tidak beraturan, pandanganku berputar, dan keringat dingin membanjiri wajahku.

Untungnya aku masih sadar dan mampu berjalan menuju kursi di ruang depan. Di sana aku segera membaringkan tubuh dan menutup kedua mataku. Selama beberapa detik aku mengatur napas hingga detak jantungku kembali normal. Keringat pun ikut berhenti keluar dari pori-poriku.

Tanpa membuka mata, aku menghapus butiran peluh di kening dan leherku sambil menerka-nerka pola hidupku mana yang kira-kira menjadi penyebabnya.

Apa jam tidurku yang tidak beraturan?

Makanan yang kukonsumsi?

Atau keduanya? Sepertinya ini yang paling masuk akal. Aku menghela napas, penyesalan memang selalu datang terakhir. Mulai besok aku akan merombak jam tidurku. Kalau tidak, apa yang kualami barusan bisa jadi makin parah.

Cukup lama berbaring, aku bangkit walau kepalaku pusing dan tubuhku serasa lemas. Tidak ada yang bisa kumintai tolong, jadi mau tidak mau aku harus mengurus diriku sendiri. Untungnya masih ada lauk sisa semalam yang kujadikan menu makan siangku. Setelah menghabiskannya, aku ke kamar dan membaringkan tubuhku.

Sebenarnya aku punya beberapa macam obat yang Kasih pernah bawa untukku, tapi aku tidak tahu aku ini sakit apa. Mau dibilang sakit kepala, kepalaku tidak berdenyut-denyut. Masuk angin juga bukan. Menghubungi Kasih juga bukan pilihan tepat, dia sedang bekerja dan aku tidak mau dia khawatir lalu segera datang menjengukku.

Jadi kuputuskan beristirahat dan berharap aku membaik malam nanti.

**

Jam 5 aku terbangun dan sayangnya kondisiku masih sama. Tubuhku malah semakin lemas. Aku meraih ponselku, bermaksud menghubungi Kak Wira untuk makan di luar karena aku tidak bisa memasak untuknya.

Dan aku baru ingat tidak punya kontaknya.

Aku memejamkan mata. Sebulan tinggal bersama, saling berbagi cerita, makan malam bersama, bahkan ciuman—oh ralat dia yang menciumku, tapi nomor yang bisa dihubungi saja aku tidak tahu. Akhirnya aku beralih mengirim pesan ke Kak Mega, meminta kontak Kak Wira.

Kak, ini gue Ariel.

Hari ini gue enggak bisa masak, lo makan di luar atau beli aja, ya

Selesai mengirim pesan, aku menjauhkan ponselku dan kembali memejamkan mata. Bukan melanjutkan tidur, aku hanya ingin memejamkan mata untuk meredakan pusing. Namun ternyata aku malah kehilangan kesadaran dan bertualang lagi dialam mimpi.

Rasanya belum lama aku tertidur ketika samar-samar aku mendengar seseorang memanggil namaku. Kak Wira? Ah, tidak mungkin. Dalam kontrak, dia tidak kuperbolehkan masuk ke kamarku.

“Ariel?” Suaranya terdengar lagi, kali ini lenganku juga ikut ditepuk pelan. “Yel.”

Dia menyentuhku? Kalau itu Kak Wira, dia harus bayar denda.

“Bangun, Yel.”

Mataku terbuka cepat. Sosok pertama yang kulihat benar Kak Wira, dia duduk di tepi tempat tidurku. Seandainya aku tidak sakit, kakiku sudah melayang menendangnya agar menjauh dariku.

“Jangan panggil gue Iyel, kita bukan keluarga,” ucapku pelan.

“Lo sakit?” Kak Wira tidak menghiraukanku lalu mendaratkan telapak tangannya di dahiku. “Enggak panas.”

Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang