chapter 13 - RIP

27.2K 3.2K 75
                                    

Hari ini Wira cuma nongol sebentar, tapi ... Ah, sudahlah. Kalian baca aja.

Happy reading❤️




🐢🐢🐢



Hujan.

Untuk beberapa saat pandanganku terpaku ke arah balkon di mana aku bisa melihat hujan turun lumayan deras. Kayaknya menu makan siangku hari ini adalah mi. Selain karena cuacanya mendukung, juga karena aku tidak tega pada kurir yang membawa makananku hujan-hujan begini.

Membayangkan aku akan menambahkan telur, potongan cabe, jeruk nipis, membuatku buru-buru ke kamar mandi untuk cuci muka. Semua kulakukan dengan cepat karena perutku sudah meraung minta diisi.

Beres dengan urusan di kamar mandi, aku mulai memasak makan siangku. Tidak perlu waktu lama, aku sudah duduk di ruang depan ditemani film yang kuputar dilaptop. Tinggal sendiri memang yang terbaik.

Aku jadi bertanya-tanya sendiri, kapan aku bisa pindah dari tempat ini?

Menghadapi Kak Wira saja aku kewalahan, malah ditambah kehadiran Kak Bunga. Aku yang tidak ada hubungannya dengan mereka berdua, justru didorong untuk ikut terlibat. Harusnya dulu saat Kak Bunga bertanya hubunganku dan Kak Wira, aku jawab saja pacar. Biar dia berhenti menggangguku.

Tok tok!

Aku menghela napas. Orang yang baru saja aku pikirkan, ada di luar sana. Tanpa perlu mengecek, aku tahu dia Kak Bunga. Aku hanya menoleh singkat ke arah pintu lalu kembali menikmati mi dan filmku.

Sesuai perintah Kak Wira, jangan hiraukan Kak Bunga. Bohong kalau aku bilang tidak penasaran kenapa Kak Wira sangat menjaga jarak, tapi aku sadar pertanyaan semacam itu termasuk privasi. Jadi, ya cukup nurut aja.

Kukira Kak Bunga akan menyerah, ternyata dia cukup gigih. Menjelang sore, pintuku diketuk lagi, bahkan samar-samar aku mendengarnya memanggil namaku. Aku jadi takut dia datang lagi, mana aku punya paket yang sedang dalam perjalanan ke sini.

Bisa-bisa aku papasan dengannya saat turun.

Pukul 5 lewat 20 menit, paketku tiba di lobi. Aku membuka dan menutup pintu sepelan mungkin, ketika lewat di depan unitnya pun aku masih berusaha melangkah pelan. Meski sebenarnya suara langkah berat pun tidak mungkin tembus ke dalam, kan?

Tapi karena keburu takut, segala usaha aku lakukan.

Aku baru bisa bernapas lega begitu sampai di lobi. Masalahnya aku masih harus kembali ke atas dan sekali lagi mengendap-endap seperti pencuri.

“Makasih, Mas.”

Tepat saat aku berbalik, seseorang berdiri di belakangku. Jaraknya yang terlalu dekat membuatku tersentak, niat ingin mundur aku malah kehilangan keseimbangan. Aku spontan memeluk paketku, memejamkan mata, dan pasrah menunggu tubuhku bertemu lantai keras.

Oh? Seseorang melilit pinggangku!

Mataku terbuka cepat. Hal pertama yang kulihat adalah wajah tampan dengan jarak yang cukup dekat. Oh, ralat. Dibanding tampan, dia lebih cocok disebut manis? Kulit putih mulus, tatapan mata cerah, dan wajah yang kecil.

Emm, ngomong-ngomong posisi antara aku dan laki-laki ini persis seperti adegan klise yang kadang kutemukan dalam cerita yang kubaca. Dan jujur, pernah juga aku masukkan dalam cerita yang kutulis.

“Tangan gue udah enggak kuat,” erang laki-laki itu.

“Maaf, maaf.” Aku buru-buru berdiri.

Laki-laki itu tersenyum sambil memijit lengan kanannya. Oke, aku tidak sepenuhnya merasa bersalah, malah agak tersinggung. Ini antara aku yang berat atau laki-laki ini yang lemah? Tapi meski begitu aku tetap harus berterima kasih, kalau tidak ada dia mungkin cuma rintihanku yang kini terdengar.

Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang