chapter 20 - dijemput

24.1K 3K 67
                                    

Dua chapter ini buat bayar absen di hari Rabu sama Jumat, ya😁
Jadi aku masih utang jatah chapter di hari Senin. Nanti upload sekalian sama yang untuk hari Rabu. Hehe

Happy reading❤️




🐢🐢🐢




Di tengah dilema menentukan akhir dari cerita yang kutulis, aku yang duduk di balkon menengok begitu mendengar suara pintu terbuka. Aku mengernyit melihat Kak Wira di sana lalu mengintip jam di sudut laptop yang kupangku.

Jam empat.

Harusnya dia belum pulang.

Aku menengok lagi dan hampir melompat dari kursi karena Kak Wira berdiri di dekatku sambil bersandar di pintu. Sadar matanya mengarah ke layar laptopku, aku refleks menutupnya dengan kedua tanganku.

Aku berdeham pelan. "Ini masih sore loh, Kak."

Kak Wira mengangkat pandangannya dan kini menatapku. "Gue juga tau."

"Terus kenapa lo pulang?"

Kak Wira memicingkan mata. "Ada larangan gue enggak boleh pulang ke rumah gue sendiri?"

Aku mengulas senyum tipis, sepertinya pertanyaanku salah. "Enggak ada yang larang, cuman aneh aja."

Kak Wira tidak membalasnya, dia malah menyodorkan kresek yang di bawanya. Karena warnanya hitam, jadi aku tidak tahu apa isinya. Aku mendongak menatapnya dan kresek itu bergantian. "Sayur buat Romeo Juliet?" tebakku.

"Buat makan malam," jawabnya.

Ujung bibirku terangkat bersamaan dengan aku yang mengambil kresek dari tangannya. Ada angin apa sampai Kak Wira repot-repot beli makanan un—

Ujung bibirku menukik turun setelah melihat isinya. Bukan makanan siap santap yang kutemukan, tapi tahu dan dua buah terong—mentah tentu saja.

Aku berdiri dan meletakkan laptopku di kursi. "Ini apa?"

"Lo masak itu buat makan malam."

Aku mengerjap beberapa kali. Oke, aku tahu aku tidak salah dengar, tapi ini tidak lucu sama sekali "Kak, kontrak kita cuma bagi tugas bersih-bersih apartemen, bukan masak. Selain itu, lo enggak suka masakan gue," kataku mengingatkan.

Kak Wira melipat kedua tangannya di depan dada. "Emm, setelah gue pikir matang-matang lo harus belajar masak."

Aku mengernyit.

Kenapa Kak Wira terus mengatakan hal yang tidak masuk akal? Sejak awal dia memang aneh. Pulang lebih cepat dari biasanya, beli bahan makanan, sekarang menyuruhku belajar masak seakan-akan aku uta soal memasak.

Atau jangan-jangan laki-laki di depanku ini bukan Kak Wira? Beberapa kali aku pernah baca pengalaman perempuan yang di datangi laki-laki mirip suaminya, padahal suaminya bekerja atau berada di luar kota. Perlahan mataku turun memeriksa kakinya. Tidak melayang.

Aman.

Eh, tapi, aku dan dia kan bukan suami istri. Oke, lupakan.

"Dengar." Kak Wira meluruskan punggungnya. "Kita bukan lagi dua orang yang cuma tinggal selama sebulan, tapi untuk seterusnya. Dan elo, dengan pekerjaan yang penghasilannya enggak tetap harusnya belajar hemat. Kenapa? Biar lo tetap bisa bayar sewa. Gue enggak sekaya itu untuk bayar semua uang sewa dan biarin lo tetap tinggal."

Kali ini masuk akal, tapi aku tidak suka mendengarnya keluar dari mulut orang ini. Apalagi aku masih ingat jelas dia mengomentari masakanku dengan sangat jujur. Sekarang dia malah menyuruhku masak. Tapi tunggu, tujuan dia beli bahan lalu aku yang masak apa?

"Oke, gue masak, tapi gue bisa beli bahan sendiri. Ini punya lo," kataku menyodorkan kreseknya.

"Enggak."

"Apanya yang enggak?"

"Gue juga udah pikirin ini, ayo masuk." Kak Wira berbalik menuju meja makan.

Apa aku harus menurutinya?

"Oi!" panggilnya.

Aku melongo. Oi? Manusia satu ini benar-benar bikin darah tinggi. Dia tahu namaku, malah panggil oi? Kayaknya yang diperlakukan baik sama dia cuma Bambang. Dengan perasaan dongkol, aku masuk dan duduk di hadapannya.

Kak Wira mencondongkan tubuhnya ke depan dan meletakkan dua tangannya di meja setelah beberapa saat diam. "Menurut gue, ada baiknya kita patungan beli bahan makanan dan bagi tugas masak."

Mataku menyipit curiga. "Kenapa?"

"Hemat. Buat lo," Kak Wira menunjukku kemudian menunjuk dirinya sendiri, "buat gue juga. Bayangi lo beli makan tiap hari—"

"Enggak tiap hari," selaku, "kadang gue makan mi instan atau telur."

"Tapi dengan kita pantungan dan masak sendiri, jauh lebih hemat."

Jadi maksudnya aku dan laki-laki ini untuk seterusnya akan makan bersama? Walau hanya makan malam karena aku tidak sarapan dan siangnya dia masih bekerja, tetap saja rasanya aneh kalau harus duduk di meja makan bersamanya tiap hari.

"Kita bisa coba seminggu dan lo bisa bandingin pengeluaran lo sebelumnya," katanya lagi.

Aku diam, sibuk menghitung jumlah kasar pengeluaranku. "Kalau gue makan mi instan atau telur aja, malah jauh lebih hemat buat gue. Tinggal tambah nasi, mi-nya bisa jadi lauk sekaligus sayur."

Kak Wira mengusap kasar wajahnya. "Lo yakin enggak bakalan bosen?"

"Kayaknya sih enggak, apalagi mi kan enggak cuma satu rasa, Kak."

Kak Wira menyandarkan punggungnya di kursi dan bersedekap. "Mending lo masak aja."

"Gue belum setuju!"protesku. Enak saja dia main perintah-perintah.

"Kita bahasnya besok aja." Kak Wira bangkit dari duduknya meninggalkanku.

Padahal belum ada keputusan akhir, dia malah pergi dan tidak lama lewat lagi sambil membawa handuk menuju kamar mandi. Aku mendengus. Mataku lalu melirik kresek yang di atas meja, kayaknya malam ini aku masak saja. Lumayan uang atau stok mi-ku tidak menipis.

Selesai memotong tahu dan terong, aku membuka lemari untuk mencari minyak goreng. Sayangnya, tidak kutemukan. Punyaku maupun punya Kak Wira. Sepertinya aku harus keluar, kecuali aku dan Kak Wira bersedia makan tahu dan terong rebus.

Aku mengetuk pintu kamar mandi. "Kak, minyaknya habis jadi gue keluar dulu!"

"Apa?" teriak Kak Wira dari dalam.

"Gue mau keluar, minyak abis!" ulangku lebih keras.

"Oke," balasnya.

Pamitku bukan karena aku merasa perlu, tapi aku tidak mau dia sampai berpikir aku kabur karena tidak ingin memasak.

Selesai memakai jaket dan mengganti celana, aku keluar ke balkon dan mendongak menatap langit. Agak mendung, tapi kayaknya tidak sampai hujan. Aku mengangguk mantap dan memutuskan tidak perlu membawa payung.

Dan aku segera menyesal.

Aku baru saja menyelesaikan pembayaranku di kasir ketika hujan turun seakan ditumpahkan. Kalau aku nekat menerobos hujan, baru setengah jalan aku sudah basah kuyup. Tidak ingin mengambil risiko, aku memilih duduk di salah satu kursi di depan minimarket. Menunggu hujan sedikit reda baru aku terobos.

Mau minta tolong laki-laki itu juga tidak bisa. Aku memang bawa ponsel, tapi aku tidak punya kontaknya. Aku menghela napas, mengasihani diriku sendiri yang terjebak dan entah kapan bisa pulang.

Bahkan sekarang aku tidak lagi sendiri. Ada pengendara motor yang ikut meneduh karena bukannya mereda, hujannya malah makin deras. Mataku menjelajah ke arah jalan saat bosan mengutak-atik ponselku, namun saat itulah aku melihat laki-laki yang tidak asing. Dengan payung hitam dan handuk kecil yang tersampir di lehernya.

Aku mengucek kedua mataku, takut salah lihat.

Tetap sama dan sosok itu makin dekat. Hingga dia berdiri di dekat tempatku duduk. Kak Wira kenapa sampai punya inisiatif menjemputku?

Dicari : Teman Sekamar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang